Sunday 20 July 2008

Krisis Politik Turki

Diam-diam tanpa banyak publikasi media massa internasional, negeri Turki akhir-akhir ini tengah menghadapi ketegangan politik yang setiap saat dapat berujung pada kudeta militer dan kerusuhan sosial massif.

Ketegangan itu berpuncak pada tanggal 1 Juli lalu saat polisi Turki menangkap 23 tokoh terkenal Turki yang diduga tengah merencanakan kudeta terhadap pemerintahan Perdana Menteri Erdogan dari Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP). Disusul seminggu kemudian dengan kejadian penyerangan di depan Kantor Konsulat Amerika di Istambul yang merengut nyawa enam orang termasuk personil polisi.

Para tokoh yang ditangkap diduga tergabung dalam sebuah kelompok rahasia Ergenekon. Mereka terdiri dari anggota militer termasuk beberapa mantan jendral, jurnalis, hakim, pengusaha dan tokoh-tokoh politik sekuler. Misi utama kelompok itu adalah mengembalikan Turki sebagai negara sekuler yang mereka anggap terancam oleh kiprah partai AKP yang Islamis. Penangkapan itu menyusul rangkaian aksi serupa yang telah dilakukan pemerintah sejak bulan Juni tahun lalu setelah ditemukannya sejumlah peledak di sebuah tempat milik anggota Ergenekon.

Perlu dicatat bahwa dalam konteks Turki saat ini polisi adalah aparatus pemerintah. Sedangkan militer adalah institusi yang berseberangan secara politik dengan pemerintah. Sedangkan pengadilan adalah lembaga yudikatif yang secara tradisional, bersama dengan militer, menjaga prinsip sekularisme Turki. Institusi lain pendukung pemerintah dan berseberangan dengan militer-pengadilan adalah Presiden dan Parlemen yang didominasi oleh anggota dari partai AKP.

Menurut media-media massa pendukung pemerintah, media-media massa kelompok anti militer dan media-media massa kelompok sosialis, Ergenekon tengah merencanakan serangkaian aksi-aksi untuk mendestabilisasikan negara dan berujung pada kudeta militer terhadap pemerintah. Di antara aksi-aksi itu adalah demonstrasi besar-besaran di 40 kota. Di antara aksi tersebut akan diwarnai penembakan terhadap demonstran yang dilanjutkan dengan pembunuhan terhadap beberapa tokoh politik terkenal.

Semuanya itu merupakan puncak perseteruan antara kalangan sekuler dukungan militer dengan kelompok Islam yang memanas kembali paska kemenangan partai Islam AKP dalam pemilu tahun 2002 disusul dengan terpilihnya Abdullah Gul, tokoh AKP, menjadi presiden tahun lalu yang mengakhiri dominasi kalangan sekuler di kursi kepresidenan.

Sejak 40 tahun terakhir telah terjadi empat kali kudeta militer terhadap pemerintah karena dianggap melanggar konstitusi. Kudeta terahir terjadi tahun 1997. Bagi kalangan sekuleris, dasar negara sekuler adalah harga mati yang tidak bisa ubah, bahkan bila perubahan itu melalui cara demokrasi sekalipun. Pandangan itu bahkan telah menjadi semacam phobia atau bahkan penyakit paranoid, karena bahkan hanya sebuah jilbab penutup kepala, dianggap sebagai ancaman yang harus disingkirkan jauh-jauh, seperti terjadi tahun 2003 saat Presiden dan para jendral memboikot acara kenegaraan karena istri ketua parlemen Bülent Arinc hadir dengan mengenakan jilbab. Hal itu pula yang terjadi tahun 2007 lalu saat kalangan sekuler berusaha mengganjal Abdullah Gul menjadi presiden karena sang istri adalah wanita muslimah yang berjilbab.

Dan setelah kegagalan upaya legal untuk menjegal amandemen konstitusi yang membolehkan wanita berjilbab di universitas negeri, kalangan sekularis melakukan upaya–upaya rahasia untuk mendelegitimasi pemerintah guna memberi alasan melakukan kudeta.

Di antara anggota Ergenekon yang ditangkap terdapat Jendral Veli Kucuk, anggota kelompok militer rahasia yang sering menculik politisi Kurdi. Ia tercatat juga terkait dengan pembunuhan seorang hakim tahun 2006. Ergenekon juga diduga kuat sebagai pelaku peledakan atas kantor koran Cumhuriyet tahun yang sama, pembunuhan wartawan Hrant Dink tahun 2007 serta pembunuhan penulis Necip Hablemitoglu tahun 2002. Seorang pengacara anggota Ergenekon, Yasin Aydin, kini tengah disidang sebagai tersangka pembunuh Hrant Dink. Ergenekon juga diduga telah merencanakan pembunuhan terhadap pemenang hadiah Nobel, sastrawan Orhan Pamuk hingga menyebabkan Pamuk mengasingkan diri ke luar negeri.

Selain itu juga ditemukan indikasi hubungan antara Ergenekon dengan upaya kudeta militer yang batal dilakukan tahun 2004 dan 2005 terhadap pemerintahan Erdogan. Tahun lalu majalah Nokta mempublikasikan bocoran buku harian milik mantan Panglima AL Admiral Ozden Ornek. Menurut buku harian itu beberapa jendral dipimpin oleh Sener Aydin merencanakan dua operasi militer terpisah tahun 2004 dan 2005 untuk mengkudeta pemerintah. Jendral Eruygur, salah seorang yang ditangkap polisi tanggal 1 Juli lalu merupakan salah seorang yang banyak disebut dalam buku harian tersebut.

Awalnya Ornek mengaku buku harian tersebut benar. Namun setelah berita itu menjadi isu politik yang sangat panas, Ornek membantahnya. Namun bagaimanapun berdasarkan penelitian berbagai pihak independen dinyatakan bahwa buku tersebut asli adanya.

Kini, setelah pendulum politik bergerak menjauh, kalangan sekuler terus melakukan perlawanan. Media-media massa utama yang merupakan pendukung tradisional sekularisme berusaha mendiskreditkan pemerintah dengan menuduh rangkaian penangkapan tersebut sebagai melanggar demokrasi di negeri itu. Koran Cumhuriyet pada tanggal 2 Juli lalu misalnya menulis: penyidikan Ergenekon telah berubah menjadi operasi untuk memberangus oposisi. Sedangkan Turkish Daily News mempertanyakan legalitas penyidikan. Namun upaya paling serius kalangan sekuler adalah tuntutan hukum atas legalitas pemerintahan PM Erdogan yang dianggap telah melanggar konstitusi negara. Apalagi diketahui bahwa lembaga yudikatif Turki, selain militer, adalah institusi yang paling ketat menjaga sistem sekularisme Turki. Mahkamah Konstitusi kini tengah memproses tuntutan itu. Bila dikabulkan, maka AKP bisa dibubarkan dan para tokohnya termasuk Perdana Manteri Erdogam dan Presiden Abdullah Gul, dikenakan hukuman larangan melakukan kegiatan politik.

Baru-baru ini suratkabar Taraf melaporkan bocoran pertemuan rahasia antara Osman Paksut, wakil ketua Mahkamah Konstitusi dengan Jendral Ilker Basbug pada tanggal 4 Maret lalu. Pertemuan tersebut terjadi hanya berselang dua hari setelah partai-partai sekularis mengajukan tuntutan ke Mahkamah Konstitusi.

Ancaman kudeta militer

Turki sudah berpengalaman dalam soal kudeta militer. Namun kali ini ancaman itu terasa sangat serius. Aksi kekerasan di depan kantor konsulat Amerika di Istambul tanggal awal Juli lalu membuktikan seriusnya masalah itu.

Selain kasus Ergenekon, pemerintah PM Erdogan telah terlibat dalam “perang rahasia” melawan militer. Meski terus mendapat tekanan dari kalangan sekularis dukungan militer, Erdogan dengan bersembunyi di balik implementasi persyaratan keanggotaan Uni Eropa, secara sistematis berusaha mengurangi kekuatan militer. Salah satu upaya itu adalah menghapuskan pengawasan militer terhadap media massa dengan menghilangkan unsur militer dalam lembaga sensor media massa, RTUK. Selain itu undang-undang yang mengancam kebebasan pers juga dihapuskan dalam konstitusi. Dan langkah strategis yang paling serius adalah mereformasi lembaga Dewan Keamanan Nasional yang selama ini menjadi kekuatan politik kalangan militer. Bila langkah ini berhasil, maka lembaga ini hanya akan diisi oleh para pejabat sipil dan hanya menyisakan satu kursi untuk kepala staff gabungan militer. Sebelumnya semua kepala staff angkatan masuk dalam keanggotaan lembaga ini. Selain itu pimpinan lembaga ini diisi oleh pejabat sipil. Reformasi militer lain yang dilakukan Erdogan adalah penghapusan Pengadilan Keamanan Negara.

Namun yang mungkin menjadi hal yang paling menyakitkan kalangan militer adalah ketentuan baru yang mengharuskan anggaran militer ditetapkan oleh pemerintah. Sebelumnya hal ini menjadi hak mutlak militer. Tidak heran bila karenanya militer menaruh kebencian yang sangat kuat kepada Erdogan, selain sentimen yang telah berakar kuat di kalangan militer terhadap segala sesuatu yang berbau Islam.

Selain berita tentang pertemuan rahasia pemimpin militer dan Mahkamah Konstitusi membahas tuntutan pembubaran AKP, Taraf juga mempublikasikan dokumen rahasia yang berisi detil rencana aksi penggulingan pemerintah yang diawali dengan kerusuhan massal dan diakhiri dengan kudeta militer.

Dalam dokumen yang disebut sebagai Activity Table disebutkan: Perlunya meningkatkan hubungan antara militer dengan kalangan akademisi, hakim agung, wartawan dan artis yang mempunyai kemampuan pengendalian opini publik. Kondisi dan kesempatan yang tepat akan diciptakan di tingkat Kepala Staff Gabungan, Deputi Kepala Staff Gabungan, para komandan, dan Sekretaris Jendral Staff Gabungan. Para pembentuk opini harus memiliki kualitas yang dibutuhkan untuk membela langkah-langkah militer.

Pelajaran Bagi Indonesia

Apa yang terjadi di Turki merupakan salah satu riak-riak dari apa yang diramalkan Samuel Huntington sebagai Perang Peradaban (Clash of Civilization), yaitu perang antara kebudayaan Barat melawan kebudayaan Islam.

Setelah dikalahkan oleh Barat sejak abad pertengahan dan berpuncak pada jatuhnya kekuasaan kekhilafahan Turki tahun 1920 dan tenggelam dalam alam penjajahan fisik dan mental, Islam kini muncul kembali sebagai sebuah kekuatan sosial-politik dan budaya. Di negara-negara yang mayoritas rakyatnya beragama Islam, telah muncul kesadaran umum untuk kembali kepada nilai-nilai agama. Tidak terkecuali di Indonesia. Namun barat tentunya tidak menginginkan munculnya kekuatan Islam yang dapat mengancam eksistensinya. Dengan dalih menjaga demokrasi, sekularisme, kebebasan, persamaan hak, ekonomi bebas hingga isu perang melawan terorisme, mereka berusaha keras membendung aspirasi politik Islam.

Meski mungkin disanggah oleh sebagian kalangan yang khawatir terjadinya perpecahan di Indonesia, riak-riak kecil Perang Kebudayaan sebenarnya sudah terjadi di Indonesia dengan intensitas yang lebih kecil daripada di Turki. Bentrokan antara massa Islam dengan massa AKKBP di Monas beberapa waktu lalu adalah riak-riak kecil itu.

No comments: