Suatu hari di akhir bulan September 2001, aku tengah dalam perjalanan dari Batam ke Singapura menggunakan kapal ferry cepat bersama MPh, seorang tokoh buruh nasional yang terkenal. Perjalananku ini adalah dalam rangka menemaninya melakukan beberapa agenda kegiatan. Yang pertama adalah menemui seorang tokoh senior GAM di lobi Hotel Hyatt yang terletak di kawasan Orchard Road. Adapun agenda kedua adalah menemui para pelaut Indonesia yang mangkal di pelabuhan Clifford Pier yang tengah terancam mata pencahariannya karena tidak memiliki kualifikasi pelaut yang ditetapkan International Maritime Organization (IMO) sebagai konsekuensi penerapan Asean Free Trade Area (AFTA).
Sebagai seorang wartawan simpatisan gerakan buruh sekaligus anggota MPP Partai Buruh Sosial Demokrat (PBSD) Batam, aku mempunyai kesempatan mendampingi MPh yang pada masa pemerintahan Orde Baru pernah meringkuk dalam sel tahanan karena keberaniannya menentang rejin Soeharto itu. Saat itu MPh menjabat sebagai Wakil Presiden International Labour Federation.
Saat itu dunia baru saja digemparkan dengan Tragedi WTC 11 September. Setelah ngobrol berbagai hal termasuk keterlibatan MPh dalam gerakan mendukung Gus Dur sebelum lengser dari jabatannya, aku sempat menanyakan kepadanya tentang pandangan politiknya sebagai pimpinan organisasi buruh terhadap Tragedi WTC.
“Saya secara pribadi dan atas nama Federasi Buruh Internasional mengutuk keras aksi penyerangan terhadap WTC,” jawab MPh atas pertanyaan yang aku ajukan kepadanya.
Aku langsung mempertanyakan pernyataan tersebut karena aksi penyerangan WTC sebagai simbol kapitalisme yang merupakan musuh politik gerakan buruh itu, mustinya disukuri oleh aktifis gerakan buruh. Namun MPh ngotot bahwa aksi tersebut harus dikutuk dengan alasan akibat aksi tersebut ribuan buruh (bukan komprador kapitalis) yang meninggal atau kehilangan pekerjaannya.
Meski pun masih belum puas dengan jawaban tersebut aku tidak melakukan perdebatan lebih lanjut. Namun pertanyaan tersebut kembali mengganggu pikiranku beberapa waktu kemudian, saat Inggris yang dipimpin oleh Partai Buruh di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Tony Blair ikut-ikutan Amerika menyerang Afghanistan sebagai buntut Tragedi WTC. Bagiku tidaklah masuk akal, sebuah pemerintahan sosialis “membela” kepentingan negara kapitalis dengan membabi buta. Logika yang terbalik. Sebagai musuh, mustinya orang-orang Inggris yang diperintah oleh regim partai buruh bergembira dengan hancurkan WTC yang merupakan simbol paling kuat paham kapitalisme. Pikirku pasti adalah yang salah pada salah satu dari dua hal ini, yaitu teori dialektika politik-nya Karl Marx yang menyebutkan selalu terjadinya adu kekuatan antara kalangan buruh melawan kapitalis, atau pikiranku sendiri yang telah tertipu oleh pendapat peletak dasar sosialisme-komunisme itu.
Dan seiring berjalannya waktu, kemudian aku sadar (sesadar bahwa Tragedi WTC adalah sebuah rekayasa strategis oleh para kapitalis) bahwa aku telah tertipu oleh Yahudi Karl Marx, seperti halnya jutaan manusia lain baik yang masih hidup ataupun yang sudah meninggal.
Selama puluhan tahun manusia di seluruh dunia terseret dalam polarisasi paham politik kapitalisme-komunisme. Manusia di seluruh dunia, selama puluhan tahun manghabiskan energi, uang, waktu, tenaga, pikiran bahkan nyawa jutaan orang yang mati karena perang antara penganut paham komunis melawan kapitalis di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Suatu pengorbanan yang tidak terhingga nilainya. Kanyataannya adalah, ketika pemimpin komunis Rusia di awal abad 20 berapi-api mengorbankan kebencian kepada kapitalisme, mereka menerima kucuran dana jutaan dolar dari para kapitalis Amerika dan Inggris. Dan selama itu pula para kapitalis Amerika dan negara-negara barat lainnya intens menjalin hubungan bisnis dengan para bos Partai Komunis di berbagai negara. Dan kini, setelah komunisme hancur di Rusia dengan cara yang sungguh tidak masuk akal, para mantan “gembong komunisme” berpindah haluan menjadi pendukung paling kuat kapitalisme. Dengan kata singkat, komunisme sebenarnya adalah ciptaan kaum kapitalis sendiri.
Ini adalah beberapa judul headline di Harian New York Times di tahun 20-an di saat permusuhan komunis-kapitalis sedang mencapai momentumnya. Simak baik-baik: “Amerika melakukan perdagangan dengan Rusia meskipun dilarang”, ”Minyak Sovyet ditawarkan kepada perusahaan Amerika”, “Amerika bekerja pada ladang minyak Rusia”, “Jaminan Sovyet dalam persetujuan awal Inggris untuk mengembangkan ladang minyak telah dicapai”.
Selain itu selama Perang Dingin antara kapitalis melawan komunis, yayasan-yasaan milik kapitalis Amerika mengucurkan jutaan dolar dananya ke lembaga-lembaga dan individu-individu pendukung komunisme.
Pengorbanan yang dialami ummat manusia akibat polarisasi komunis-kapitalisme sebagaimana sudah disebutkan, tidak ternilai jumlahnya. Namun sebaliknya bagi para kapitalis hal itu menjadi sumber pendapatan yang tidak ternilai. Karena polarisasi itu negara-negara di seluruh dunia harus menghabiskan sumber daya yang dimilikinya untuk belanja perlengkapan militer yang dibuat oleh para kapitalis. Sering kali mereka harus berhutang (dengan beban bunga, commitment fee, dan biaya-biaya tambahan lainnya yang mencekik leher) kepada lembaga-lembaga keuangan internasional yang sebenarnya milik para kapitalis. Amerika sendiri contohnya, pada saat berakhirnya Perang Dingin, harus menanggung hutang hingga US$ 4 Triliun kepada para pemilik modal. Jumlah itu semakin menggunung seiring dengan kebijakan anggaran pemerintah yang boros dengan belanja militer yang nilainya mencapai ratusan miliar dolar setiap tahun serta akibat defisit neraca perdagangan internasional yang nilainya tidak kalah besar. Jumlah hutang sebesar itu tidak akan terbayarkan meskipun ditanggung bersama-sama oleh 300 juta rakyat Amerika selama beberapa generasi.
Kemunafikan juga terjadi di Aljazair dan Turki, dua negara mayoritas berpenduduk Islam yang diperintah oleh rejim non-Islam. Saat partai Islam FIS memenangkan pemilu yang demokratis di Alajazair, rejim fasis yang berkuasa dengan dukungan penuh negara-negara barat mengambil-alih kekuasaan dengan cara kotor dan vulgar. Demikian juga saat pemerintahan dari partai Islam yang memenangkan pemilu yang demokratis di Turki hendak melaksanakan aspirasi ummat Islam, mereka dikudeta oleh militer dan para politisi sekuler.
Mengingat itu semua tidaklah heran bila kemudian kita melihat terjadinya kemunafikan yang vulgar sebagaimana ditunjukkan oleh dukungan pemerintahan Partai Buruh Inggris kepada Amerika, atau sebagaimana sikap MPh yang mengecam penyerangan WTC.
Dalam konteks sosial politik di Indonesia, kemunafikan yang vulgar ditunjukkan oleh para aktivis perempuan. Dahulu mereka sering berkoar-koar tentang perlunya dibuat peraturan yang melindungi wanita dari eksploitasi seksualitas. Namun saat ummat Islam berjuang menggolkan UU APP, mereka mati-matian menentangnya. Kemunafikan juga diperlihatkan oleh para orang-orang yang sering disebut “media-media massa terkontaminasi Yahudi” sebagai pejuang demokrasi seperti Gunawan Mohammad, Cak Nur, Todung Mulya Lubis, Alwi Shihab, Ulil Absar Abdalla, Dawam Rahardjo dan rekan-rekannya. Mereka begitu bersemangat membela “musuh negara” Sydney Jones yang dicekal oleh pemerintah karena dianggap merugikan kepentingan nasional. Namun saat warga negara Indonesia yang terhormat seperti Tamsil Linrung difitnah sebagai teroris dan dianiaya oleh pemerintah Filipina, mereka diam seribu bahasa.
Saat Front Pembela Islam (FPI) berjuang menentang kemaksiatan, mereka menuduhnya sebagai organisasi “preman berjubah” dan menuntut polisi untuk membubarkannya. Mereka yang selama ini berkoar-koar membela kebebasan mengekspresikan aspirasi dan kebebasan berserikat itu kini tidak ada bedanya dengan penganut fasisme Nazi. Kemunafikan juga ditunjukkan oleh “lokomotif demokrasi Indonesia” YLBHI yang didirikan dan “dipimpin” oleh Adnan Buyung Nasution. Hanya karena direkturnya, Munarman, bersimpati terhadap Hizbut Thahrir Indonesia, ia harus diberhentikan dari jabatannya. Padahal semua orang tahu, Adnan Buyung sendiri mendekatkan diri ke ICMI saat Habibie berkuasa hingga oleh rekan-rekannya sesama “pejuang demokrasi” ia sempat dianggap pengkhianat. Kemunafikan juga ditunjukkan secara vulgar oleh tokoh nasional Frans Seda. Non-muslim yang oleh Harian Kompas sering disanjung sebagai seorang negarawan dan nasionalis sejati itu pernah mengancam akan memisahkan Provinsi NTT dari Indonesia dan menggabungkan diri dengan Timor Leste hanya karena Fabianus Tibo Cs dieksekusi mati.
Namun menurut penulis tidak ada kemunafikan yang lebih besar dari penolakan sebagian orang-orang Islam terhadap penerapan Syariat Islam, yang menganggap bentuk negara Indonesia sekarang ini adalah bentuk yang sudah final dan paling ideal. Padahal faktanya adalah Indonesia, dengan bentuk pemerintahan sekarang ini tidak pernah mampu bangkit dari keterpurukan sosial ekonomi dan tidak pernah mampu menghapuskan budaya korupsi.
No comments:
Post a Comment