Monday 21 July 2008

Bahaya Transaksi Derivatif

“At the same time we must intensively patronize trade and industry, but, first and foremost, speculation, the part played by which is to provide a counterpoise to industry: the absence of speculative industry will multiply capital in private hands and will serve to restore agriculture by freeing the land from indebtedness to the land banks. What we want is that industry should drain off from the land both labor and capital and by means of speculation transfer into our hands all the money of the world, and thereby throw all the GOYIM into the ranks of the proletariat. Then the GOYIM will bow down before us, if for no other reason but to get the right to exist”. (Protokol 6-6 Protocols of Learned Elders of Zion)

Membaca tulisan Fajar AS berjudul “Spekulan, Malapetaka Bahan Makanan & BBM Global” di harian Waspada 12 Juni 2008, saya teringat pada tulisan saya di sebuah harian nasional terbitan Batam setahun lalu berjudul “Ancaman Transaksi Derivatif”. Kedua tulisan sama-sama mencermati bahaya transaksi-transaksi spekulasi (derivatif) terhadap perekonomian global. Perbedaannya hanyalah data. Bila dalam tulisan saya tercatat GNP global masih sekitar $ 40 triliun, maka tahun lalu (dalam tulisan Fajar AS, pen.) sudah meningkat menjadi $ 48 triliun. Sementara itu nilai transaksi derivatif tahun 2006 masih sekitar $ 380 triliun, maka untuk tahun 2007 (tulisan Fajar AS, pen.) nilainya sudah membengkak menjadi $ 516 triliun.

Saya sangat setuju dengan misi yang disampaikan dalam tulisan itu. Terlepas penilaian saya bahwa tulisan Fajar AS sama sekali tidak memberikan analisis tentang korelasi antara transaksi spekulasi, malapetaka bahan makanan & BBM global serta hubungan antara subsidi pemerintah sebesar Rp 2.300 triliun dengan kesejahteraan rakyat, atau kalaupun sudah tersedia strategi pembangunan yang tepat darimana subsidi sebesar itu dikeluarkan pemerintah sementara untuk APBN yang hanya berkisar ratusan triliun saja pemerintah harus berhutang sana-sini.

Transaksi derivatif adalah transaksi-transaksi spekulatif atas turunan (derivate artinya adalah turunan, pen.) dari komoditi-komiditi riel. Contohnya adalah saham yang merupakan turunan dari asset-asset riel perusahaan, surat-surat berharga yang juga merupakan derivatif dari asset-aseet riel yang dijaminkan, termasuk juga uang kertas yang merupakan derivatif dari cadangan emas suatu negara.

Sebenarnya kekhawatiran mengenai dampak transaksi derivatif sudah lama disampaikan banyak orang. Pada tahun 1995-an misalnya majalah terkemuka Amerika, Newsweek menulis tentang bahaya transaksi ini. Kekhawatiran Newsweek adalah perkembangan kuantitas (jenis-jenis transaksi) dan kualitas (nilai transaksi) yang tidak terkira, jauh melampaui nilai transaksi riel (ini bisa terjadi karena sebuah derivasi dapat ditransaksikan berulang-ulang oleh banyak orang dan dengan berbagai jenis transaksi, tanpa batas). Dengan trend yang tidak berubah maka suatu saat perekonomian akan kolaps. Saat itu terjadi ketika para spekulan bosan memegang portofolio fiktif (saham, sertifikat, surat berharga lain termasuk uang kertas) dan menukarnya dengan portofolio riel (tanah, rumah, perhiasan, property, komoditi, makanan, dsb). Pada saat itu ternyata nilai portofolio riel jauh lebih sedikit dibandingkan nilai portofolio fiktif turunannya sehingga memicu kenaikan harga barang-barang yang tidak terkira.

Pada saat itulah terjadi depresi besar yang dampaknya tidak bisa dibayangkan. Jika fenomena Depresi Besar (Great Depression) tahun 1930-an saja, dimana perekonomian belum sebesar dan terintegrasi seperti sekarang, telah memicu terjadinya Perang Dunia II, maka boleh jadi depresi besar berikutnya akan memicu Perang Dunia III.

Dunia sebenarnya telah beberapa kali mengalami krisis atau depresi ekonomi akibat ulah para spekulan selain peristiwa Depresi Besar. Yang paling terkenal tentu saja Krisis Moneter tahun 1997 yang melanda kawasan Asia Timur. Fenomena ini sebenarnya sudah diawali sejak akhir dekade 1980-an saat dunia dilanda demam buku-buku karangan John Naisbitt dan Alvin Tofler seperti Megatrend, Future Shock, Third Wave dll. Buku-buku itu menghipnotis penduduk negara-negara Asia Timur dengan harapan yang melambung tentang kesejahteraan. Buku-buku itu menyebutkan Asia Timur adalah kawasan paling pesat pertumbuhan ekonominya dan bakal menjadi pusat perekonomian dunia.

Hal ini mendorong negara-negara di kawasan ini untuk memaksakan pembangunan besar-besaran. Dan karena tidak memiliki modal, negara-negara itu, terutama Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Filipina, menggantungkan pembangunannya pada pinjaman dan “bantuan” luar negeri. Sebagian besar pinjaman itu berjangka waktu menengah yang jatuh temponya akhir dekade 1990-an. Dan pada saat negara-negara itu membutuhkan dolar untuk membayar hutangnya, para spekulan terlebih dahulu telah memborong dolar di pasar uang Asia sehingga nilai tukar dolar melambung tinggi. Pada saat itulah terjadi krisis moneter di kawasan Asia Timur.

Karena harus mengeluarkan jauh lebih besar resource-nya untuk membayar hutang, negara-negara Asia Timur mengalami depresi. Sampai saat ini pun dampak itu masih dirasakan Indonesia yang ditunjukkan dengan pendapatan per-kapita rakyat yang tidak pernah mencapai angka sebelum krisis. Apalagi bila mengingat sebagian anggaran pembangunan harus disisihkan hanya untuk membayar bunga hutang BLBI milik para konglomerat pengemplang yang harus ditanggung pemerintah dan dibebankan kepada rakyat. Nilainya mencapai Rp 35 triliun setahun, jumlah yang sangat besar untuk membantu para pengusaha kecil, atau untuk membangun sejuta rumah sederhana bagi rakyat miskin.

Besaran nilai transaksi-transaksi derivatif dan hasilnya pasti tidak pernah terbayangkan orang kebanyakan. Misalnya saja bagaimana Bill Gates hanya dalam waktu satu bulan, antara Agustus 2007 dan September 2007, mendapat tambahan kekayaan sebesar 3,29 miliar dolar (sekitar 32 triliun rupiah) tanpa kerja karena harga saham Microsoft naik 6,58 dolar per-saham di bursa saham New York. George Soros, yang oleh PM Malaysia Mahathir Mohammad dituduh sebagai spekulan penyebab krisis moneter 1997, dikabarkan mendapatkan keuntungan hingga $ 900 juta karena aksi borong dolarnya meski Soros sebenarnya hanyalah seorang highly paid professional atau front runner dari para pemilik modal sebenarnya. Eksistensi Soros tidak jauh berbeda dengan Rupert Murdoch yang bergerak di bidang pers atau Donald Trump yang bergerak di bidang property dan hiburan.

Namun transaksi spekulatif derivatif adalah zero sum game. Tidak menciptakan nilai tambah apapun. Keuntungan salah satu pihak merupakan kerugian pihak yang lain. Surat kabar American Free Press tahun lalu pernah menulis, seorang spekulan “gila” melakukan transaksi derivatif put senilai $4,5 miliar atau lebih dari Rp 40 triliun. Dengan transaksi itu spekulan tersebut berharap dalam waktu satu bulan (sampai tanggal 21 September 2008) pasar saham Eropa akan anjlok hingga 33%. Bila ekspektasi itu terwujud ia akan mengantongi keuntungan senilai Rp 20 triliun. Sebaliknya jika tidak terjadi maka ia harus menanggung kerugian senilai Rp 10 triliun. Para pelaku bursa saham Eropa menyebut spekulan yang namanya dirahasiakan tersebut sebagai Bin Laden, mengingat hanya kejadian besar seperti serangan World Trade Center (atau kejadian lain yang lebih hebat lagi) yang mampu membuat pasar saham Eropa anjlok 33%. Dipastikan spekulan itu rugi Rp 10 triliun karena ekspektasinya tidak tercapai.

Para analisis memperkirakan spekulan tersebut berani mempertaruhkan hartanya karena percaya Amerika akan menyerang Iran (saat itu konflik Amerika-Iran seputar program nuklir Iran tengah memuncak) sehingga mengakibatkan krisis energi dunia yang berimbas pada melorotnya indeks saham bursa-bursa saham dunia.

Namun apalah artinya Rp 10 triliun jika spekulan tersebut ternyata adalah salah satu pemilik obligasi pemerintah Amerika yang nilainya mencapai $ 9 triliun, atau hampir senilai Rp 90.000 triliun. Total kewajiban pemerintah Amerika (termasuk hutang) saja bahkan mencapai $ 50 triliun. Dipastikan sebagian besar dari kewajiban itu adalah disebabkan transaksi derivatif. Jumlah itu tidak akan pernah terlunasi meski ditanggung oleh seluruh rakyat Amerika.

Sebagian orang sangat yakin seyakin besok matahari terbit dari timur bahwa para spekulan-lah yang telah membuat harga komoditas dan BBM melambung berlipat-lipat sementara jumlah permintaan tidak pernah naik signifikan mengingat kenaikan penduduk dunia hanya berkisar 1-2% setahun. Sebagian orang tahu bahwa bursa minyak dunia New York yang menentukan harga minyak dunia sebenarnya berada di Rockefeller Center, kantor milik keluarga raja minyak Rockefeller. Sedangkan bursa emas London yang menentukan harga emas dunia berada di kantor keluarga Rothschild di London.

Mencermati fenomena transaksi spekulatif rasanya kurang afdhol jika tidak menyebut sebuah dokomen rahasia Protokol Zion yang bocor ke publik tahun 1905 di Rusia. Meski banyak yang menuduh dokomen ini rekayasa, namun banyak pula yang percaya dokumen itu asli dibuat oleh sekelompok orang tertentu (Yahudi) untuk menguasai dunia melalui skenario-skenario yang canggih, matang, juga keji. Keaslian dokumen tersebut dapat dianalisis berdasarkan fakta-fakta sejarah yang terjadi yang kejadiannya mirip dengan skenario pada Protokol Zion, seperti revolusi komunisme di Rusia (1908), Depresi Besar (1929-1930-an), Perang Dunia (1911-1918), runtuhnya negara-negara kerajaan Eropa (paska Perang Dunia), fenomena negara-negara yang terjerat hutang berkepanjangan dsb.

Dokumen itu juga menyinggung secara rinci mengenai transaksi derivatif. Disebutkannya bahwa perekonomian global harus berdiri di atas dasar spekulasi karena hanya dengan ini dapat dijamin kekayaan akan dikuasai oleh para pemilik modal. Tanpa spekulasi maka secara alamiah perekonomian akan tumbuh dan membuat semua orang sejahtera. Dan ini tidak diinginkan oleh orang-orang Yahudi karena merasa sebagai manusia istimewa pilihan Tuhan mereka menganggap paling berhak mewarisi dunia. Dengan spekulasi yang menghancurkan ekonomi maka kesejahteraan dapat dihilangkan dan kekayaan ekonomi berpindah tangan dalam sekejab ke tangan mereka.(Dimuat di Harian Batam Pos, 2007)

No comments: