Monday 21 July 2008

Pelajaran dari Haiti


Kekurangan pangan merupakan sebuah masalah yang tengah menjadi perhatian dunia akhir-akhir ini selain krisis minyak. Ekonom Malthus bahkan sudah mengeluarkan postulatnya seratus tahun lebih, yaitu bahwa pertumbuhan penduduk seperti deret ukur tidak sebanding dengan pertumbuhan sumber daya alam yang hanya seperti deret hitung sehingga manusia cenderung berada dalam ancaman kekurangan pangan.

Berbagai negara saat ini tercatat tengah dilanda kekurangan pangan: Korea Utara, Pakistan, Afghanistan, Burkina Faso, Cameroon, Pantai Gading, Mesir, Guinea, Mauritania, Mexico, Moroko, Senegal, Uzbekistan, Yaman dan masih banyak lagi. Indonesia pun tidak kalah mengkhawatirkannya dibandingkan negara-negara tersebut di atas. Kasus kelangkaan kedelai dan kasus meninggalnya keluarga Basse di Makassar belum lama ini seolah-oleh memberi legitimasi bahwa Indonesia, negara yang sejak dahulu dikenal sebagai negara subur makmur itu kini tengah dilanda krisis pangan.

Namun krisis yang paling ekstrem terjadi di Haiti. Karena krisis tersebut maka terjadi kerusuhan besar-besaran di seluruh negeri yang berbuntut jatuhnya pemerintahan Perdana Menteri Jacques-Eduard Alexis.

Media-media massa pada umumnya menyebutkan krisis pangan dunia akhir-akhir ini terjadi karena berbagai faktor seperti naiknya harga BBM dunia (yang mendorong naiknya biaya produksi pangan), perubahan iklim, kenaikan permintaan oleh negara-negara berpenduduk padat seperti Cina dan India, serta adanya pengalihan produksi pangan untuk produksi biofuel. Analisis media-media massa itu tidak pernah menghasilkan kesimpulan yang jelas.

Sebenarnya penulis tidak setuju dengan pendapat Malthus, atau pendapat-pendapat yang melegitimasi faktor-faktor tersebut di atas sebagai penyebab terjadinya krisis pangan. Penulis percaya bahwa manusia telah diberikan kemampuan untuk mengatasi berbagai kekurangan dengan akalnya. Teknologi yang dimiliki manusia telah memungkinkan produksi pangan dunia malampaui kebutuhan. Dengan teknologi, tanaman bahkan dapat hidup dan berproduksi di media yang paling ekstrim sekalipun seperti padang pasir.

Penulis lebih percaya pada kesalahan tata niaga dan kebijakan ekonomi di tingkat nasional, regional hingga global yang dikendalikan oleh kepentingan sekelompok pemilik modal yang hanya mementingkan keuntungan pribadi tanpa memikirkan nasib masyarakat. Contoh nyatanya adalah kasus korupsi yang dilakukan Kabulog Widjanarko Puspoyo. Widjanarko tentu bekerja tidak sendirian. Ia hanya menjalankan apa yang dikehendaki para pemilik modal yang mengambil keuntungan dari bisnis tata niaga beras di Indonesia.

Dan bila sumber sumber masalah itu sudah diketahui, maka masalah kekurangan pangan dapat dipastikan tidak pernah terjadi. Misalnya saja kita tidak perlu repot-repot memikirkan mengekspor beras karena produksi beras nasional belum cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan. Motif apa di balik wacana ekspor beras di berbagai media massa nasional belum lama ini kalau bukan motif keuntungan pribadi para pelaku bisnis beras. Dan bila ekspor beras benar-benar dilakukan maka sudah barang tentu ketahanan pangan nasional akan semakin rentan saja.

Kasus yang sama sebenarnya terjadi pada komoditi minyak bumi maupun minyak goreng. Bagaimana mungkin Indonesia bisa mengalami kelangkaan BBM dan minyak goreng sementara Indonesia adalah salah satu negara penghasil BBM dan kelapa sawit utama dunia. Mengapa sebagian besar hak eksploitasi minyak diberikan kepada asing. Mengapa sebagian besar dari produksi minyak mentah Pertamina (sisa dari hasil eksploitasi minyak mentah yang sebagian besarnya dikuasai asing) harus diekspor ke luar negeri dengan harga murah dan Pertamina mengimpor kembali minyak olahan dari luar negeri dengan harga tinggi?

Lebih detil mengenai krisis pangan penulis mengambil contoh kasus Haiti. Tiga puluh tahun lalu Haiti adalah negara swasembada beras. Tahun 1986, setelah tumbangnya rejim korup Jean Claude Duvalier, IMF memberikan pinjaman kepada Haiti senilai 24,6 juta dolar karena Duvalier melarikan kas negara ke luar negeri. Namun pinjaman itu disertai persyaratan-persyaratan yang memberatkan perekonomian Haiti. Persyaratan dimaksud adalah penurunan tarif impor beras sehingga pasar Haiti lebih terbuka bagi produk beras dari luar negeri.

Hanya dalama dua tahun beras impor dari Amerika membanjiri Haiti dan para petani lokal kehilangan penghasilannya. Beras Amerika lebih rendah harganya karena pemerintah Amerika memberikan subsidi. Sebagian lagi beras Amerika yang beredar di Haiti adalah beras yang berlabel “bantuan kemanusiaan”. Kesemuanya mematikan para petani.

Namun meski para pemilik modal sudah berhasil menguasai bisnis beras Haiti, mereka tetap tidak pernah puas. Pada tahun 1994, Amerika melalui lembaga-lembaga donor IMF dan Bank Dunia memaksa Presiden Jean Bertrand Aristide untuk lebih lebar lagi membuka pasar Haiti bagi produk luar negeri. Begitu teganya Amerika memperlakukan Haiti, negara kecil paling miskin di Amerika Latin dengan pendapatan per-kapita kurang dari 400 dolar. Saat ini Haiti, negara yang 35 tahun lalu berswasembada beras, adalah pengimpor beras terbesar dari Amerika dengan jumlah mencapai 240.000 metrik-ton per-tahun.

Cato Institute, sebuah lembaga penelitian Amerika pernah melaporkan bahwa beras adalah komoditi yang mendapat subsidi besar-besaran dari pemerintahnya dengan total subsidi mencapai 1 miliar dolar setahun. Akibatnya adalah ratusan juta petani di negara-negara miskin kehilangan pekerjaannya karena beras produksinya tidak dapat bersaing dengan beras Amerika. Dan saat negara lain menjadi tergantung kepada beras Amerika, para kapitalis Amerika mempermainkan harga beras sesukanya. Dan inilah yang terjadi di Haiti.

Ironisnya, pada saat Amerika melalui IMF dan World Bank menekan Haiti untuk menurunkan tarif impor, Amerika sendiri menerapkan tarif impor yang sangat tinggi, antara 3 sampai 24 persen, sehingga produk asing tidak bisa masuk.

Ketergantungan Haiti atas Amerika tidak saja pada komoditi beras, melainkan juga gula. Padahal Haiti dahulu dikenal sebagai produsen gula utama dunia. Saat ini kebutuhan gula Haiti dipenuhi oleh produksi gula Amerika yang diproduksi di Dominika dan Florida.

Di seluruh dunia diperkirakan terdapat sekitar 1 miliar penduduk hidup di bawah angka kemiskinan. Akibat krisis pangan dunia akhir-akhir ini dikhawatirkan sebanyak 850 penduduk terancam kelaparan. Selain itu sebanyak 33 negara di dunia terancam mengalami krisis sosial karena kekurangan pangan. Demikian pernyataan Presiden World Bank Robert Zoelich baru-baru ini.

Dalam kasus Haiti, Amerika memang mengulurkan bantuan, tetapi tetap dengan reserve. Berbeda dengan Venezuela, negara musuh Amerika, yang tanpa reserve mendrop 350 ton makanan ke Haiti, bantuan Amerika dengan syarat: dibeli dari petani Amerika, dibungkus di Amerika dan dikirim dengan kapal Amerika yang biayanya memakan separoh dari total nilai bantuan. Total bantuan Amerika untuk mengatasi krisis pangan dunia “hanya” 200 juta dolar.

Keprihatinan atas tata niaga perdagangan dunia yang tidak fair itu sempat dinyatakan oleh Presiden Brazil President Brazil Luiz Inacio Lula da Silva usai mengunjungi Haiti. Katanya, “Negara-negara kaya harus mengurangi subsidi dan tarif agar negara-negara terbelakang bisa mendapatkan keuntungan dari perdagangan. Jika dunia tidak menyelesaikan sistem perdagangan yang tidak fair ini, setiap saat akan terjadi kerusuhan seperti di Haiti.

No comments: