Tuesday 22 July 2008

SPEKULAN “GILA” DAN KRISIS NUKLIR IRAN

Siapa orang yang cukup “gila” dengan berjudi mempertaruhkan uang senilai Rp 45 triliun untuk suatu hal yang kemungkinan terjadinya sangat kecil? Orang-orang pasti menganggap tidak ada orang yang cukup “gila” untuk hal itu. Lagi pula hampir pasti tidak ada orang “gila” yang punya uang senilai Rp 45 triliun. Namun kenyatannya tidaklah demikian.

Sebagaimana termuat dalam situs kantor berita American Free Press bulan Agustus tahun lalu, para pelaku pasar saham dunia khususnya di Eropa dikagetkan dengan ulah spekulan “gila” yang melakukan transaksi derivatif put senilai $4,5 miliar atau hampir setara Rp 45 triliun. Dengan transaksi itu spekulan tersebut berharap dalam waktu satu bulan (sampai tanggal 21 September, pen) pasar saham Eropa akan anjlok paling tidak hingga 33%. Bila harapan itu terwujud ia akan mengantongi keuntungan senilai Rp 20 triliun. Sebaliknya jika tidak terjadi maka ia harus menanggung kerugian senilai Rp 10 triliun. Para pelaku bursa saham Eropa menyebut spekulan yang namanya dirahasiakan tersebut sebagai Bin Laden, mengingat hanya kejadian besar seperti serangan World Trade Center (atau kejadian lain yang lebih hebat lagi) yang mampu membuat pasar saham Eropa anjlok 33%. Kebalikan transaksi put adalah call dimana spekulan bertaruh atas kenaikan harga-harga saham.

Para pelaku bursa saham yakin bahwa spekulan tersebut memiliki informasi yang sangat rahasia tentang berbagai intrik bisnis dan politik global yang hanya dimiliki oleh segelintir orang. Namun mereka hanya bisa menebak-nebak peristiwa besar apa yang bakal terjadi berkaitan dengan transaksi yang tidak masuk akal tersebut. Apakah bencana alam besar, serangan teroris setara tragedi WTC, atau pemerintah Cina yang nekad menggelontorkan cadangan devisanya ke pasar uang global sebagai respons atas kerugian yang dideritanya karena krisis kredit perumahan di Amerika. Pemerintah dan pengusaha Cina telah banyak menanamkan investasinya di Amerika. Akibat krisis kredit perumahan di Amerika akhir-akhir ini, Cina diperkirakan mengalami kerugian hingga US$10 miliar.

Para pelaku pasar uang tentu masih ingat benar ulah spekulan Yahudi George Soros tahun 1997 yang telah menimbulkan krisis moneter di negara-negara Asia Timur. Di saat negara-negara Asia Timur membutuhkan mata uang dolar untuk membayar hutang jangka menengah mereka yang jatuh tempo, George Soros memborong dolar di pasar uang Asia sehingga dolar melonjak nilainya dan menghantam perekonomian negara-negara Asia Timur termasuk Indonesia. Dalam waktu beberapa hari saja hutang luar negara Indonesia yang sebagian besarnya dalam bentuk dolar, secara riel melonjak beberapa kali lipat. Selain itu krisis tersebut juga menghancurkan perekonomian hingga membutuhkan waktu bertahun-tahun dan pengorbanan besar untuk memulihkannya.

Perlu diperhatikan bahwa hutang-hutang luar negeri jangka menengah negara-negara Asia Timur mengalami peningkatan tajam setelah beberapa penulis Yahudi seperti John Naisbit, Alvin Tofler dan kawan-kawan dengan dibantu media-media massa barat dan digaungkan lagi oleh media-media massa lokal, “memprovokasi” negara-negara Asia untuk melakukan pembangunan besar-besaran melalui buku-buku seperti Megatrend, Future Shock, Third Wave, dll. Buku-buku itu semuanya menyanjung-nyanjung kawasan Asia Timur sebagai kawasan paling pesat perkembangannya dan bakal menjadi pusat perekonomian dunia masa depan, sehingga mendorong para pemimpin negara-negara Asia Timur untuk melakukan pembangunan besar-besaran. Ongkos pembangunan itu tentu saja dari “hutang berbunga ganda luar negeri” yang disamarkan oleh media-media massa lokal sebagai “bantuan luar negeri”.

Begitu ampuhnya John Naisbit dan Alvin Tofler menghipnotis sasarannya hingga di negara-negara Asia Timur, termasuk Indonesia terjadi demam “pembangunan berbasis bantuan luar negeri”. Buku mereka laris bak kacang goreng. Para pejabat sipil dan militer, profesional, dosen dan mahasiswa merasa ketinggalan jaman kalau tidak membaca buku tersebut. Berbagai seminar dan forum ilmiah-pun digelar khusus membahas buku-buku tersebut dengan publikasi besar-besaran media massa lokal. Kedatangan John Naisbit dan Alvin Tofler di Indonesia pun disambut bagaikan artis Hollywood. Presiden SBY pun termasuk salah seorang pengagum Tofler. Dalam pidato kenegaraan menyambut Hari Teknologi Nasional tahun 2005 misalnya, beliau dengan bangganya beliau menyebut nama Tofler beberapa kali.

Dampak riel yang masih dirasakan akibat krisis moneter tahun 1997 adalah raibnya dana BLBI ratusan triliun rupiah yang hilang dicuri para konglomerat hitam setelah disodorkan di atas nampan oleh para birokrat pemerintah yang korup. George Soros sendiri, menurut para analis, mengantongi keuntungan bersih sekitar Rp 9 triliun, yaitu selisih nilai baru (setelah mengalami kenaikan) dolar yang dimilikinya dikurangi nilai dolar saat diborongnya (sebelum kenaikan). Namun keuntungan paling besar tentunya adalah para bankir pemberi pinjaman yang nilainya boleh jadi ratusan triliun rupiah. John Naisbit dan Alvin Tofler sendiri cukup mendapatkan “recehannya”. Sedangkan media massa lokal, organiser dan narasumber acara-acara seminar dan forum ilmiah sudah cukup puas mendapatkan remah-remahnya.

Tujuh tahun yang lalu sebelum tragedi WTC juga terjadi keanehan di pasar modal. Menurut CBS News pada tanggal 6 September 2001 terjadi lonjakan transaksi atas saham American Airlines dan United Airlines, dua meskapai penerbangan yang terlibat dalam serangan WTC. Pada saat itu, demikian CBS News, terjadi transaksi put atas saham kedua maskapai tersebut hingga 25 lipat dari kondisi normal. Pelaku transaksi tersebut adalah spekulan yang berasal dari bank terbesar Jerman Deutsche Bank. Saat itu Deutsche Bank baru saja membeli bank Banker’s Trust yang jabatan wakil presdirnya dipegang oleh AB Krongard. Pada bulan Maret 2001 Krongard diangkat oleh Presiden Bush sebagai Direktur Eksekutif CIA.

Setelah bursa saham dibuka kembali setelah ditutup akibat tragedi WTC saham United Airlines dan American Airlines melorot 40% dan Deutsche Bank meraup keuntungan besar. Lebih mengherankan lagi adalah saham Morgan Stanley dan Merrill Lynch, dua perusahaan terbesar yang berkantor di WTC juga mengalami booming transaksi put menjelang Tragedi WTC

Yang menarik untuk dianalisa adalah fakta bahwa CIA ternyata sudah mengetahui kemungkinan rencana serangan terhadap WTC. Dalam sebuah briefing dengan Presiden Bush bulan Agustus 2001 bahkan kemungkinan serangan itu khusus dibahas. Lagipula CIA memiliki kontak kuat dengan Osama bin Laden mengingat ia adalah mantan binaan CIA sendiri. Namun semua fakta itu tidak pernah menjadi bahan penyidikan karena Presiden Bush sendiri tidak pernah mengijinkan dibentuknya komisi independen penyidik tragedi WTC. Alih-alih membentuk komisi penyidik independen, Presiden Bush justru menginisiasi UU Patriot Act yang salah satu pasalnya melarang semua penyidikan dikaitkan dengan perusahaan-perusahaan asing yang melayani bandara-bandara tempat tinggal landasnya pesawat-pesawat jet yang terlibat dalam serangan WTC. Beberapa perusahaan asing tersebut, khususnya yang melayani jasa keamanaan yang bertanggung jawab atas masuk keluarnya orang dan barang di bandara-bandara tersebut, ternyata milik warga Israel.

Penulis menduga spekulan “Bin Laden” melakukan aksinya berdasarkan perhitungan bahwa Amerika menyerang Iran karena alasan pengembangan senjata nuklir oleh negara Teluk Persia itu. Pada bulan-bulan Agustus dan September memang terjadi spekulasi kuat tentang aksi tersebut menyusul ancaman Amerika yang semakin kuat kepada Iran termasuk aksi penggelaran pasukan sekutu di Teluk Persia dan aksi penyusupan militer Inggris ke perairan Iran. Hanya sentimen anti-perang rakyat Amerika saja yang membuat Presiden Bush menunda rencana tersebut. Apalagi setelah kalangan intelegen Amerika mengumumkan hasil investigasinya atas program nuklir Iran dan menyebutkan Iran telah menghentikan program nuklirnya sejak tahun 2003.

Sampai saat ini tidak ada perubahan yang signifikan dari saham-saham di bursa-bursa saham Eropa dan dipastikan spekulan “Bin Laden” mengalami kerugian besar. Namun apalah artinya kerugian Rp 10 triliun dibandingkan kekayaan yang telah dipupuk oleh para penguasa sektor keuangan dunia selama puluhan hingga ratusan tahun. Tagihan mereka kepada pemerintah Amerika saja mencapai 9 triliun dolar atau sekitar Rp 90.000 triliun (sampai saat ini hutang pemerintah Amerika mencapai angka US$ 9 triliun, pen). Lagi pula mereka masih optimis Presiden Bush masih cukup “gila” untuk melakukan aksinya menyerang Iran sebelum masa jabatannya berakhir.

No comments: