Suatu hari di tahun 1990-an, aku tengah melihat nilai ujian mata kuliah Ekonomi Indonesia yang diajar oleh Dr Boediono (mantan Kepala Bappenas, Menkeu, Menko Ekuin, kini menjabat Gubernur BI). Aku sangat optimis bahwa nilai ujian aku tidak mengecewakan karena aku bisa menjawab pertanyaan dengan baik dengan disertai data-data dan analisa yang cukup. Namun aku terkejut dan kecewa karena nilai yang aku dapatkan tidak seperti harapan. Aku hanya dapat nilai C, sementara rata-rata temanku mendapat nilai B.
Dengan tertunduk aku berjalan pulang. Di tengah jalan aku bertemu temanku, Gunawan, yang “cengar-cengir” melihat ke arahku. Dan sebelum aku mengatakan apa yang ada di pikiranku, ia sudah berkata: “Kan sudah saya ingatkan, jangan gunakan buku Sritua Arief (seorang pemikir ekonomi sosialis dari Universitas Nommensen Medan) sebagai referensi,” katanya.
Aku heran sekaligus penasaran dengan perkataan Gunawan, dan sebelum aku mencecarnya dengan pertanyaan-pertanyaan ia langsung memberikan penjelasan. Menurutnya nilai mengecewakan yang aku dapatkan disebabkan pandangan yang berbeda secara ekstrim antara Dr Budiono dan Dr Sritua Arief. Menurutnya Dr Budiono adalah agen kapitalis yang mendukung prinsip persaingan bebas tanpa campur tangan pemerintah, sementara Dr Sritua Arief adalah seorang idealis yang cenderung pada paham sosialis yang menginginkan peran pemerintah dalam menggerakkan perekonomian demi kepentingan rakyatnya. Sebagai salah satu dalilnya Gunawan menyebutkan track record pendidikan Dr Budiono yang di antaranya adalah di Wharton School, sebuah sekolah bisnis elit di Amerika.
Seiring berjalannya waktu, pandanganku semakin terbuka tentang peranan agen-agen kapitalis yang bekerja untuk para pemilik modal dari luar-negeri dengan bekerja sebagai teknokrat seperti Dr Boediono atau anggota Mafia Barkeley yang mengendalikan perekonomian Indonesia setelah Soeharto berkuasa. Dan kesadaran tersebut semakin tebal setelah munculnya buku Confessions of an Economic Hit Man yang ditulis John Perkins. Buku yang sebenarnya sudah terbit tahun 2004 namun baru diterjemahkan ke bahasa Indonesia tahun 2005 itu semakin menanamkan kesadaran aku bahwa selama ini kita telah ditipu mentah-mentah oleh para kapitalis asing dan kroni-kroninya dan telah dikondisikan sedemikian rupa untuk tidak bisa melawan.
Tulisan berikut ini adalah rangkuman dari wawancara John Perkins dengan Amy Goodman yang dimuat dalam situs internet Democracy Now, Selasa 9 November 2004. John Perkins mendefinisikan dirinya sebagai bekas "economic hit man", yaitu profesional bergaji tinggi yang kerjanya menipu negara-negara miskin di seluruh dunia hingga triliunan dolar dengan memberikan pinjaman yang tidak mungkin terlunasi kemudian memerasnya sebagai kompensasi ketidakmampuan membayar. 20 tahun sebelum menulis buku Confession of an Economic Hit Man (pengakuan seorang economic hit man), ia telah mencoba menulis buku tersebut dengan judul yang mirip, "Conscience of an Economic Hit Man" atau kesadaran seorang economic hit man. Buku tersebut didekasikan untuk dua orang klient yang ia hormati: Jaime Roldos, Presiden Ecuador, dan Omar Torrijos, Presiden Panama. Keduanya meninggal dalam sebuah kecelakaan yang menurut Perkins, direkayasa oleh dinas rahasia Amerika, CIA, karena menolak tunduk pada para kapitalis Amerika yang ingin menguasai dunia.
"Kami, economic hit man, gagal mengamankan Roldos dan Torrijos, maka tipe lain dari hit man, yaitu agen-agen pembunuh CIA yang selalu berada di belakang kami, beraksi," kata Perkins.
Perkins menambahkan dirinya telah dibujuk untuk menghentikan penulisan buku tersebut, dengan suap wanita dan harta, serta ancaman, dan ia terbujuk. Namun beberapa kejadian di dunia membuatnya mulai dan mulai lagi untuk menulis. Kejadian-kejadian itu adalah invasi Amerika ke Panama tahun 1980, Perang Teluk I tahun 1990, ekspedisi Amerika di Somalia tahun 1994, dan kemunculan Osama bin Laden paska tragedi WTC 2001. Namun karena ancaman dan suap yang semakin intens, ia berhenti menulis. Sampai akhirnya, setelah kesadaran untuk mengungkapkan kebenaran tidak lagi bisa dicegah, ia menerbitkan bukunya itu dengan judul "Confessions of an Economic Hit Man".
Perkins direkrut oleh dinas rahasia Amerika, National Security Agency (NSA) saat masih kuliah bisnis tahun 60-an. Namun meski resminya bekerja untuk dinas rahasia negara, sebenarnya ia bekerja untuk perusahaan swasta. Dari tahun 1971 sampai 1981, sebagai agen NSA ia bekerja untuk perusahaan konsultan internasional Chas T. Main yang berbasis di Boston, dengan missi utama membangun kerajaan Amerika dengan membuat situasi dimana sebanyak mungkin kekayaan luar negeri masuk ke negara dan perusahaan-perusahaan dan pemerintah Amerika. Menurutnya missi tersebut berhasil gemilang. Hanya dalam waktu 50 tahun sejak PD II dengan tanpa banyak mengeluarkan senjata (kecuali kasus tertentu seperti di Irak) mereka berhasil membawa Amerika membangun kekuasaan yang tak tertandingi sepanjang sejarah. Kekuasaan tersebut, berbeda dengan kekuasaan-kekuasaan lainnya di masa lalu, diperoleh dengan manipulasi ekonomi, penipuan, pelanggaran hukum, maupun rayuan untuk meniru gaya hidup .
Metode economic hit man dimulai 1950, saat Kermit Roosevelt, cucu mantan presiden Teddy Roosevelt, berhasil menggulingkan Mossadegh, Perdana Menteri Iran yang memerintah Iran melalui pemilu demokratis. Mossadegh harus digulingkan karena berani menabuh genderang perang terhadap para kapitalis barat dengan menasionalisasi perusahan minyak milik Amerika dan Inggris. Penggulingan berhasil tanpa harus melalui kudeta berdarah, cukup mengeluarkan dana beberapa juta dolar untuk membayar jendral-jendral, komprador-komprador dan politikus oportunis yang diketuai oleh Shah Iran. Masalahnya adalah Kermit adalah agen CIA, pegawai pemerintah Amerika. Jika terbongkar kedoknya, Amerika bakal kesulitan, sangat memalukan. Maka diputuskan, dinas-dinas rahasia seperti NSA dan CIA digunakan untuk merekrut profesional potensial seperti Perkins dan mengirimkannya sebagai tenaga ahli di perusahaan konsultan atau perusahaan konstruksi. Bila terbongkar, pemerintah Amerika tidak bisa dipersalahkan begitu saja.
Mengenai aktivitasnya sebagai econoic hit man ia menjelaskan, selaku konsultan dirinya lebih banyak bekerja sebagai makelar proyek dan tukang lobi yang menawarkan pinjaman kepada pemerintah negara-negara miskin dengan dana yang disediakan oleh World Bank, IMF, atau bank-bank komersial Amerika dan Eropa. Pinjaman yang diberikan sangat besar nilainya, katakanlah beberapa miliar dolar, atau setara beberapa puluh triliun rupiah. Dari nilai pinjaman itu 90% di antaranya secara efektif balik lagi ke Amerika melalui jasa konsultan dan perusahaan-perusahaan kontraktor Amerika yang mengerjakan proyek-proyek yang dibiayai dana pinjaman tersebut, seperti Halliburton atau Bechtel Corp. Untuk memuluskan aksinya perusahaan-perusahaan tersebut menarik kerjasama dengan segelintir penguasa lokal dan perusahaan-perusahaan milik keluarga mereka. Sedangkan sebagian besar penduduk lainnya harus menanggung beban hutang yang menumpuk disertai bunganya yang mencekik.
Negara seperti Ecuador harus mengeluarkan lebih dari separoh anggaran negaranya hanya untuk membayar hutang. Sedangkan Indonesia harus mengeluarkan sekitar Rp 100 triliun setahun hanya untuk membayar pokok hutang dan bunganya, jauh lebih tinggi dari anggaran yang dikeluarkan untuk pembangunan. Dengan hutang yang menumpuk itu negara-negara pengutang relatif telah menjadi negara jajahan.
“Jika kami membutuhkan minyak, kami akan datang ke pemerintah Ekuador dan mengatakan: Lihat kalian belum bisa melunasi hutang kalian, jadi biarkan perusahaan-perusahaan minyak kami mengambil minyak yang ada di hutan Amazon. Dan saat ini kami sedang menjarah hutan Amazon,” kata Perkins.
Adapun mengenai alasannya menulis buku tersebut, Perkins mengatakan, “Karena negara ini (Amerika) harus sadar. Rakyat negeri ini harus tahu bagaimana kebijakan luar negeri dijalankan, bagaimana bantuan luar negeri yang sebenarnya, bagaimana perusahaan-perusahaan bekerja, kemana saja pajak yang dibayarkan rakyat mengalir. Aku tahu kita akan menuntut perubahan.”
Selain kasus-kasus tersebut di atas, Perkins juga mengungkap kasus-kasus menarik lainnya, seperti hubungan keluarga kerajaan Saudi dengan penguasa Amerika, serta faktor yang mendasari penyerbuan Amerika ke Irak.
Menyusul krisis energi akibat embargo minyak oleh OPEC tahun 1974 yang disulut oleh perang Yom Kippur antara Arab melawan Israel, Amerika Serikat bertekad untuk mencegah hal ini terulang karena bisa menghancurkan ekonomi Amerika. Oleh karena itu Departemen Keuangan mengirimkannya ke Saudi Arabia sebagai tulang punggung OPEC, untuk membujuk keluarga kerajaan Saudi. Dan hasilnya adalah kesepakatan: Arab Saudi akan menginvestasikan uangnya ke Amerika, Amerika melalui perusahaan-perusahaan konstruksinya membangun infrastruktur Arab Saudi dari hasil investasi yang diperoleh. Kesepatan lainnya adalah Amerika menjamin kelangsungan kekuasaan keluarga kerajaan Saudi. Namun yang paling penting bagi Amerika adalah bahwa Saudi menjamin pasokan minyak ke Amerka.
Jadi kalau sekarang kita lihat Arab Saudi menjadi lunak terhadap Israel dan Amerika, termasuk mengijinkan pasukan Amerika bercokol di tanah haram, itu tidak lain karena keberhasilan kerja para economic hit man.
Adapun yang terjadi di Irak berbeda dengan Saudi. Saddam Hussein yang diharapkan bisa menjadi boneka Amerika dengan imbalan yang sama, menolak. Amerika sudah memutuskan untuk menghabisi Saddam dengan menggunakan agen-agen rahasianya. Namun Saddam tidak kalah cerdik, ia memerintahkan semua pengawal pribadinya berdandan dan berpenampilan persis seperti dirinya sehingga usaha CIA mendekatinya gagal. Maka diluncurkanlah senjata terakhir, yaitu ribuan muda-mudi Amerika yang tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, yang kini harus berkubang dalam pertempuran yang mematikan di Irak.
Adapun mengenai kematian Presiden Panama Omar Torrijos, Perkins menjelaskan: Pada saat Amerika diperintah oleh Presiden Jimmy Carter di tahun 70-an, Panama dan Amerika menandatangani Perjanjian Kanal (Canal Treaty) dimana Amerika akan menyerahkan pengelolaan Terusan Panama kepada pemerintah Amerika dengan imbalan tertentu. Namun kemudian Torrijos yang melihat kerugian dalam perjanjian itu mengadakan perundingan diam-diam dengan Jepang untuk membangun kanal permukaan laut (sea-level canal). Hal ini mengecewakan Bechtel Corporation yang sudah digadang-gadang bakal memenangkan tender. Presdir Bechtel saat itu adalah George Schultz dan wakilnya Casper Weinberger. Saat Ronald Reagan menjadi presiden Amerika, ia merekrut Schultz sebagai Menlu dan Weinberger sebagai Menhan. Selanjutnya mereka berdua menekan Torrijos untuk melanjutkan negosiasi Amerika-Panama dan menghentikan negosiasi dengan Jepang, namun Torrijos menolak. Maka CIA pun beraksi dan meninggallah Torrijos dalam kecelakaan pesawat yang dipicu oleh ledakan bom yang dipasang dalam tape recorder.
“Hampir semua kalangan inteligen Amerika Latin tahu penyebab kecelakaan itu. Namun tentu saja kita tidak pernah mendengar hal itu di sini (Amerika),” kata Perkins.
No comments:
Post a Comment