Sunday, 30 August 2009

ANTARA MULYANI DAN BERNANKE



Indonesian Free Press -- Saat tulisan ini di buat di dunia perbankan tanah air tengah terjadi sebuah tragedi yang disebabkan oleh sebuah kejahatan sistematis yang melibatkan pejabat keuangan, manajemen perbankan dan para pemilik modal. Tragedi itu adalah pemberian talangan kepada Bank Century oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani senilai Rp 6,7 triliun.

Belajar dari krisis monenter 1997 dan krisis finansial global tahun lalu saya sudah memperkirakan krisis likuiditas Bank Century akan diakhiri dengan pemberian dana talangan oleh pemerintah. Maka sempurnalah sudah sebuah skendario kejahatan sistematis besar-besaran dengan nilai kejahatan yang luar biasa besar. Setelah dana masyarakat dikeruk secara massif, masyarakat pula yang harus menalanginya.

Dengan Rp 4 triliun saja Indonesia bisa membangun jembatan Suramadu yang super megah. Dengan Rp 6,7 triliun jalan lintas Sumatera yang di banyak titik berlubang bak kubangan kerbau (apalagi jalan lintas di pulau lain), bisa disulap menjadi mulus. Cina sudah membangun jalur kereta api ke pegunungan Himalaya sementara Indonesia yang lebih dahulu merdeka dan memiliki kekayaan alam yang melimpah, tidak memiliki jalan raya antar propinsi yang layak kecuali di Pulau Jawa.

Ada satu pola penanganan dalam modus kriminal ini. Tingkat pertama adalah dengan menahan manajemen dengan alasan kesalahan manajemen. Tingkat kedua, jika ternyata penanganan tingkat pertama gagal menghentikan kasus karena jumlah yang dikuras terlalu banyak dan kerusakan pada struktur keuangan bank terlalu parah, adalah dengan menahan para pejabat keuangan eselon I (dirjen atau direktur bidang Bank Indonesia) dan mantan pejabat keuangan setingkat menteri/Gubernur BI. Tingkat ketiga, jika tekanan publik terlalu kuat, adalah dengan menahan para pejabat keuangaan setingkat menteri, tentunya setelah diberhentikan dari jabatannya. Tingkat keempat adalah menahan para pemilik modal perbankan. Namun biasanya penanganan kasus ini hanya menyentuh tingkat ketiga karena pada tingkat keempat pemilik modal telah melarikan diri ke Singapura, surganya para koruptor Indonesia dan negeri dimana dinas inteligen Israel memiliki markas besar operasional untuk kawasan Asia.


Sementara itu di belahan bumi yang lain, tepatnya di Amerika, juga terjadi sebuah tragedi yang sejenis dengan terpilihnya kembali Ben Shalom Bernanke sebagai gubernur bank sentral Amerika, The Fed.

Bernanke lah yang bersama menteri keuangan era Presiden George W. Bush, Hank Paulson, menjadi arsitektur pemberian talangan (bail out) kepada sektor keuangan dengan nilai mencapai triliunan dolar (puluhan ribu triliun rupiah). Talangan itu diberikan pemerintah dan The Fed kepada sektor keuangan yang mengalami kesulitan likuiditas setelah sebagian besar dana masyarakat dikeruk dan diselewengkan oleh sebuah konspirasi yang dilakukan para pemilik modal dengan menggunakan tangan pejabat pemerintah dan para manajer keuangan.

Ironisnya adalah dengan talangan yang luar biasa besar itu Bernanke tidak mengetahui (lupa atau pura-pura lupa?) siapa saja yang sudah mendapatkan dana talangan. Hal ini terungkap pada sebuah dengar pendapat di Capitol Hill bulan lalu. Angggota Congress (DPR) Alan Grayson menanyakan kepada Bernanke, siapa saja penerima dana talangan The Fed senilai $1,5 triliun.

I don’t know,” jawab Bernanke santai. "Satu setengah triliun dolar dan Anda tidak tahu kemana uang itu?" kata Grayson marah.

Tapi hanya itu yang bisa dilakukan Grayson. Upaya lebih serius telah dilakukan oleh anggota Congress lainnya, Ron Paul, yang bulan lalu mengajukan draft undang-undang Federal Reserve Sunshine Act untuk membuat the Fed, perusahaan swasta yang diberi kewenangan mutlak mencetak uang kertas dan membebani bunga kepada penerimanya, lebih terbuka. Namun mengingat mayoritas anggota Congress adalah "jew ass sucker", bisa dijamin draft itu akan masuk ke tong sampah.

Bank sentral seperti The Fed dan lain-lainnya adalah sebuah praktik kejahatan yang luar biasa besar. Dengan kewenangan mencetak uang dari lembaran kertas tak berharga dan membebani bunga kepada penerimanya: pemerintah dan perusahaan-perusahaan sektor keuangan, The Fed adalah mesin pencetak uang dalam arti sebenarnya bagi para pemiliknya dan tidak ada keuntungan yang bisa menandingi "bisnis" seperti ini. Bayangkan sendiri jika Anda lah yang diberi kewenangan seperti itu. Anda memiliki negara, atau bahkan dunia jika uang yang Anda cetak adalah uang yang digunakan dalam perdagangan internasional seperti dollar.

Bill Gates dan Warren Buffet orang terkaya di dunia? Itu adalah dagelan konyol di mata para kapitalis pemilik bank.

Dan inilah daftar para pemilik The Fed, mereka orang-orang yahudi yang juga menjadi pemilik dunia:
1. Rothschild Banks of London & Berlin (milik keluarga Rothschild, pemilik saham mayoritas)
2. Warburg Banks of Hamburg & Amsterdam (milik keluarga Warburg dari Jerman)
3. Lazard Brothers of Paris (milik keluarga Lazard dari Perancis)
4. Israel Moses Seif Banks of Italy
5. Goldman Sachs of New York
6. Lehman Brothers of New York
7. Kuhn Loeb Bank of New York (kini menjadi Shearson American Express)
8. Morgan Guaranty Trust of New York (milik Levi P Morton, J P Morgan Bank dan Equitable Life)
9. Hanover Trust of NewYork (milik keluarga Rockefeller).

Pemerintah Amerika sendiri harus membayar $200-300 miliar hanya untuk bunganya saja setiap tahun yang dibebankan dalam APBN dan dibiayai oleh pajak rakyat. Kini hutang pemerintah Amerika telah mencapai $12 triliun dan terus bertambah dari tahun ke tahun. Kebijakan talangan yang dilakukan pemerintah sebenarnya juga hanya menambah hutang pemerintah karena dalam kenyataannya dana tersebut adalah dana hutang kepada The Fed atau perbankan swasta. Pemerintah Amerika telah bangkrut dan tidak memiliki uang lagi hingga untuk membiayai belanja setiap tahunnya saja harus berhutang.

Hal yang sama, dalam skala lebih rendah juga terjadi di Indonesia. Dana talangan pemerintah yang diberikan kepada Bank Century sebagiannya berasal dari APBN yang berasal dari pajak rakyat. Ditambah kebijakan APBN yang defisit yang harus ditutup dengan hutang, maka hutang pemerintah dari tahun ke tahun semakin besar. Selama pemerintahan Presiden SBY hutang emerintah bertambah Rp100 triliun setiap tahun. Dengan pidato kemenangan yang disampaikan dalam bahasa Inggris, saya tidak percaya SBY akan mengubah orientasinya.

Sewaktu masih duduk di bangku kuliah, saya mendapat pelajaran tentang DSR (debt service ratio), yaitu rasio antara jumlah hutang luar negeri dengan total ekspor. Rasio ini menjadi indikator ilmiah untuk mengetahui tingkat hutang luar negeri yang aman bagi perekonomian. Semakin tinggi DSR maka semakin buruk perekonomian negara. Media massa seperti Kompas pun menggunakan rasio ini dalam analisis-analisis ekonomi makro. Tapi sekarang rasio ini tidak pernah dipakai lagi, termasuk oleh Kompas. Karena rasio tersebut sudah terlalu tinggi maka pemerintah menggunakan rasio baru yang bisa "mengelabuhi" rakyat, yaitu debt GDP ratio (DGR). Dengan menggunakan GDP sebagai pembanding, maka rasio hutang tampak lebih kecil.

Halo, bagaimana dengan talangan BLBI yang mencapai Rp600 triliun dan sampai sekarang bunganya masih menjadi beban pemerintah dan rakyat Indonesia hingga Rp30 triliun setiap tahun? Dalam jangka panjang pemerintah dan rakyat Indonesia akan bangkrut dan menjadi budak hutang para pemilik modal sebagaimana pemerintah Amerika dan negara-negara kapitalis lainnya. Pat gulipat seperti mengganti DSR dengan DGR tidak akan ada artinya.

Antara Bernanke dan Sri Mulyani memiliki benang merah. Mereka adalah pejabat pemerintah "jew ass sucker" meski Bernanke sebenarnya juga seorang yahudi dengan kasta lebih rendah (selama kuliah ia kerja magang di sebuah perusahaan pengelola judi balap kuda dan anjing milik seorang yahudi). Saya tidak akan terkejut jika suatu saat Sri Mulyani menjadi tahanan sebagaimana para mantan pejabat Bank Indonesia seperti Syahril Sabirin dan besan Presiden SBY Aulia Pohan, sementara boss bank Century tertawa riang sambil bermain judi di Singapura dengan dana talangan yang diberikan pemerintah.

No comments: