Monday, 31 August 2009

Amerika Tetap "Tunduk" pada Israel


Akhir-akhir ini media massa dan pengamat internasional "digairahkan" oleh adanya "ketegangan" diplomatik antara pemerintah Amerika dengan Israel. Ketegangan ini telah sampai pada satu titik terpanas dimana Israel "terpaksa" harus menarik diplomatnya dari Amerika karena membuat pernyataan kontroversial. Namun jauh dari pengamatan, Amerika tetap menjadi "pelayan" Amerika dan drama ketegangan diplomatik tersebut tidak lebih dari sebuah "panggung sandiwara" diplomasi.

Baru-baru ini media-media massa Israel melaporkan kunjungan dua pejabat keamanan tertinggi Amerika, Penasihat Keamanan Nasional Jendral Jim Jones dan Menhan Robert Gates ke Israel. Media-media Israel melaporkan bahwa salah satu "pesan" yang dibawa kedua pejabat tersebut adalah jaminan kepada Israel bahwa Amerika dalam waktu delapan minggu akan melakukan "tindakan keras" terhadap Iran seperti yang diinginkan Israel. Dan "tindakan keras" tersebut sangat boleh jadi kesediaan Amerika membantu Israel menyerang Iran.

Hal ini tentu sangat bertolak belakang dengan komentar-komentar maupun langkah kebijakan politik luar negeri Presiden Barack Obama terhadap Iran. Berbeda dengan pendahulunya, Barack Obama telah membuka kontak langsung dengan Iran yang mencuatkan harapan konflik Amerika-Israel dengan Iran soal isu nuklir Iran dapat diselesaikan secara diplomasi.

Berbeda dengan pendahulunya pula, Obama juga bersikukuh menuntut Israel menghentikan pembangunan pemukiman yahudi di wilayah pendudukan di Palestina, sebagai prasyarat perdamaian Israel-Palestina.

Namun dengan adanya laporan dari media massa Israel tersebut di atas, harapan terjadinya perdamaian timur tengah dan dunia tampaknya semakin jauh saja. Apalagi jika melihat sikap para pejabat di sekeliling Presiden Obama sendiri seperti Wapres Joe Biden yang terang-terangan mendukung Israel atas rencananya menyerang Iran.

Dan melihat kengototan Israel tentang isu senjata nuklir Iran, perang tampaknya tidak mungkin lagi dielakkan. Sanksi apapun, baik diplomatik maupun ekonomi tidak akan mempengaruhi kebijakan nuklir Iran. Sejarah telah membuktikan berbagai sanksi yang telah dilakukan Amerika terhadap lawan-lawan politiknya tidak pernah membuahkan hasil dan justru berujung perang. Sebagai contohnya sanksi Amerika terhadap Jerman, Jepang dan Italia sebelum Perang Dunia II, dan sanksi Amerika terhadap Saddam Hussein sebelum Perang Teluk.

Dan bila perang benar-benar terjadi, baik Amerika, Iran maupun negara-negara di seluruh dunia akan menderita karena dampaknya. Hanya Israel yang bertepuk tangan karena melihat lawan tangguhnya, Iran, hancur diserbu Amerika dan sekutunya. Amerika sudah babak belur di Irak dan Afghanistan. Satu lagi perang besar melawan Iran dipastikan akan membawa kehancuran lebih dalam bagi Amerika. Bukan tidak mungkin, rakyat Amerika sendiri akan "memberontak" terhadap pemerintahnya sendiri sebagaimana mereka lakukan dalam masa Perang Vietnam.

Dan seperti biasa media-media massa yang de facto dikuasai oleh orang-orang yahudi, berperan besar menggiring opini publik demi terjadinya peperangan sebagaimana mereka lakukan dahulu dalam Perang Krim, Perang Dunia I, Perang Dunia II dan Perang Irak.

Media massa barat bersatu padu mendukung tuduhan Iran berupaya membuat senjata nuklir. Mereka bekerja bahu-membahu dengan para pejabat sekeliling Barack Obama pendukung perang termasuk menlu Hillary Clinton. Dan Congress? Seperti biasa mereka tidak mau pusing memikirkan perang sebagaimana amanat konstitusi yang menetapkan Congress lah yang berhak menyatakan perang kepada negara lain. Seperti biasanya mereka cukup memberikan restu kepada pemerintah untuk berbagai kebijakan perang yang dilakukan Amerika.

Pada tgl 30 Juli lalu misalnya Congress mengeluarkan undang-undang yang melarang perusahaan-perusahaan melakukan perdagangan minyak Iran. Senator Joseph Lieberman dari Connecticut bahkan tengah menyusun draft undang-undang pelarangan impor minyak dari Iran. Rancangan undang-undang yang disusun Lieberman itu telah mendapat dukungan 67 senator, dan secara de facto, jika benar-benar diundangkan, menjadi deklarasi perang kepada Iran.

Media-media massa Israel juga menyebutkan adanya beberapa draft UU lainnya yang diperuntukkan sebagai sanksi terhadap Iran, seperti UU pelarangan asuransi perdagangan dengan Iran yang membuat Iran bakal mengalami kesulitan melakukan perdagangan secara internasional. Kapal-kapal dan pesawat-pesawat terbang berbendera Iran mungkin juga bakal dilarang berlabuh atau mendarat di negara-negara barat.

Semangat mengebu-ngebu Amerika untuk menyerang Iran dengan alasan nuklir sebagaimana diharapkan Israel tentunya bertentangan dengan logika sehat. Iran adalah negara anggota IAEA (International Atomic Energy Agency) yang menandatangani pakta anti penyebaran senjata nuklir. Selain itu, pengembangan nuklir Iran juga selalu mendapat pengawasan organisasi tersebut. Di sisi lain, Israel, satu-satunya negara Timur Tengah yang memiliki senjata nuklir, bukan anggota IAEA dan sudah barang tentu tidak menandatangani pakta anti penyebaran senjata nuklir selain pengembangan nuklirnya di luar kontrol masyarakat internasional. Dengan kata lain nuklir Israel adalah ilegal dan nuklir Iran adalah legal.

Selain itu tuduhan Iran tengah mengembangkan senjata nuklir jauh dari kenyataan. Beberapa penyidikan yang dilakukan IAEA tidak menemukan bukti terhadap tuduhan tersebut. Bahkan lembaga-lembaga inteligen Amerika sendiri telah menyatakan Iran tidak dalam kondisi mengembangkan senjata nuklir.
But the facts tell us otherwise. Terakhir, yaitu bulan lalu, US State Department’s Bureau of Intelligence and Research (INR) mengeluarkan pernyataan bahwa tidak ada bukti Iran tengah mengembangkan senjata nuklir. Lebih tepatnya laporan itu berbunyi, "…no evidence that Iran has yet made the decision to produce highly enriched uranium, and INR assesses that Iran is unlikely to make such a decision for at least as long as international pressure and scrutiny persist."

Maka menjadi pertanyaan mengapa para politisi Amerika dengan genderang perang media massa terus menuduh Iran tengah mengembangkan senjata nuklir dan mengancam akan menyerang negara tersebut. Jawaban pertanyaan tersebut tidak lain adalah karena saat ini, setelah tumbangnya Saddam Hussein, Iran merupakan lawan Israel paling tangguh, dan karenanya harus dihancurkan.

Kita akan segera melihat Presiden Barack Obama sama dengan presiden-presiden pendahulunya, sebagai budak yahudi.

No comments: