Sunday, 22 November 2009

Amerika di Afghanistan: Membayar Taliban


Perjanjian rahasia antara Inggris dan Jerman dalam Perang Dunia II (Jerman menjamin tidak menyerang Oxford dan Cambridge dan sebaliknya Inggris tidak menyerang Lembah Ruhr) adalah di luar pemikiran orang kebanyakan. Namun perjanjian rahasia antara Amerika dan Taliban dimana Amerika membayar Taliban untuk "jasa keamanan" transportasi logistik perangnya, jauh di luar pemikiran orang.

Pada tgl 29 Oktober 2001, saat regim Taliban penguasa Afghanistan tengah mendapat serangan gencar dari pasukan NATO, dubes regim tersebut di Pakistan mengadakan konperensi pers yang menghebohkan di Islamabad. Duduk di samping sang dubes adalah penterjemah Ahmad Rateb Popal, yang seperti sang dubes mengenakan pakaian tradional Afghanistan dan berjanggut panjang. Ia mengenakan penutup mata warna hitam menutupi mata kanannya, dan cacat di kedua tangannya karena perang.

Namun Popal bukan seorang mujahidin Taliban biasa. Pada tahun 1988, atau setahun sebelum Rusia menarik diri dari Afghanistan, Popal ditahan oleh polisi Amerika karena menyelundupkan lebih dari sekilo heroin. Arsip pengadilan menyebutkan ia dilepaskan dari penjara pada tahun 1998.

Kini, tahun 2009, Afghanistan dipimpin oleh Presiden Hamid Karzai, mantan pegawai perusahaan minyak Amerika yang juga saudara sepupu Popal. Popal pun berubah penampilan, tidak ada lagi jenggot panjang melainkan rambut klimis dan pakaian necis. Ia adalah seorang pengusaha sukses sebagaimana saudaranya Rashid Popal, yang juga pernah dipenjara di Amerika karena menyelundupkan heroin tahun 1996.

Popal bersaudara menjalankan perusahaan konglomerasi Watan Group di Afghanistan yang bergerak di bidang telekomunikasi, logistik, yang paling penting adalah jasa keamanan. Watan Risk Management (WRM), perusahaan jasa keamanan milik Popal bersaudara adalah satu dari sedikit perusahaan sejenis di Afghanistan yang mendapatkan rejeki melimpah dari operasi militer Amerika di Afghanistan. Personil Watan Risk Management terdiri di antaranya para mantan tentara Inggris, sebagian dari satuan elit Special Services (SS). Salah satu tugas yang diemban WRM adalah mengawal konvoi truk pembawa perlengkapan militer Amerika antara Kabul dan Kandahar.

Selamat datang di bazar kontrak militer masa perang di Afghanistan dimana mantan agen inteligen CIA dan M16 serta mantan personil militer NATO bergandengan tangan dengan para mantan mujahidin untuk meraup keuntungan bisnis perang yang luar biasa menggiurkan.

Dalam salah satu bisnis ini diketahui bahwa para kontraktor militer swasta seperti WRM telah membayar para gerilyawan Taliban untuk melindungi keamanan konvoi militer Amerika. Ini kenyataan yang menggelikan: Amerika membayar musuh yang telah membunuhi tentaranya. Dan ironi ini semakin besar saja mengingat jumlah yang dibayarkan Amerika untuk urusan ini sangatlah besar.

"Itu adalah sumber penghasilan utama Taliban," aku seorang pejabat militer Afghanistan. Para pejabat militer Amerika di Afghanistan sendiri mengakui sekitar 10% dari nilai kontrak yang dikeluarkan untuk perusahaan penyedia jasa keamanan swasta seperti WRM yang totalnya mencapai ratusan juta dolar (triliunan rupiah) setahun, jatuh ke tangan Taliban.

Mengetahui kondisi ini berjalan membuat kita bisa bisa mengetahui siapa sebenarnya yang menang perang dan siapa yang kalah. Dan satu tempat yang tepat untuk mengetahui hal ini adalah NCL Holdings.

Seperti perusahaan Popal, NCL adalah perusahaan kontraktor penyedia jasa keamanan di Afghanistan. Satu hal yang membuat perusahaan ini terkenal, selain kuantitas pekerjaan yang dilakukannya, adalah pemiliknya, Hamed Wardak. Ia kelahiran Amerika, anak dari menteri pertahanan Jendral Rahim Wardak yang juga mantan pejuang mujahidin.

Pada awal tahun ini perusahaan ini, meski tanpa pengalaman menjalankan bisnis transporatasi, mendapatkan kontrak untuk mengangkut perbekalan militer Amerika di Afghanistan yang berserak di berbagai wilayah. Awalnya nilai kontrak tersebut tidak terlalu besar. Namun seiring dengan gerakan ofensif pasukan NATO serta munculnya doktrin baru "uang adalah sistem persenjataan", Amerika meningkatkan nilai kontraknya secara berlipat ganda hingga 600%, untuk NCL dan lima perusahaan transportasi lainnya.

Nilai kontrak keseluruhan dari proyek tersebut adalah $2,2 miliar (setara sekitar Rp 22 triliun lebih) dan masing-masing kontraktor mendapat nilai kontrak $360 juta (setara sekitar Rp3,6 triliun). Nilai kontrak tersebut setara dengan 10% GDP Afghanistan.

Semua itu adalah dalam rangka menjaga personil militer Amerika tetap bertahan dalam kerasnya medan perang Afghanistan. "Kami menyuplai segalanya untuk pasukan termasuk kertas toilet, air bersih, bahan bakar, senjata, dan kendaraan," kata seorang eksekutif perusahaan transportasi yang berasal dari Amerika.

Pusat logistik pasukan Amerika adalah di pangkalan udara Bagram, satu jam perjalanan di sebelah utara Kabul. Dari sini konvoi panjang kendaraan penyuplai bergerak menuju medan perang di seluruh penjuru negeri. Namun tidak semudah itu. Konvoi-konvoi itu harus melalui wilayah-wilayah yang dikuasai gerilyawan Taliban. Dan satu-satunya jalan untuk menjamin konvoi-konvoi itu aman, para gerlyawan itu harus dibayar. "Pada dasarnya kami membayar Taliban untuk tidak menembaki kami. Uangnya berasal dari Departemen Pertahanan," kata seorang komandan militer Amerika.

Mike Hanna, seorang eksekutif perusahaan transportasi Amerika yang pernah menjadi kontraktor di Afghanistan dan tahun ini kalah tender mengatakan, "Kami membayar sejumlah uang kepada penguasa-penguasa wilayah. Jika tidak membayar, maka sudah pasti konvoi kita diserang," katanya. Fee yang harus dibayarkan untuk "jasa keamanan" itu berbeda-beda tergantung jalur yang dilalui. "Tergantung pada jumlah kendaraan konvoi dan barang yang diangkut. Biasanya dengan 10 kendaraan truk, kami membayar $8.000 (setara sekitar Rp 80 juta)." Fee paling mahal dikenakan para gerilyawan jika barang yang diangkut berupa bahan bakar atau perlengkapan militer.

Terkadang konvoi-konvoi itu menolak membayar tuntutan gerilyawan dan melawan. Namun karena peraturan hanya membolehkan pengawal membawa senjata laras panjang, hal itu berakhir dengan malapetaka bagi konvoi. "Gerilyawan menembaki kami dengan roket dan granat dari jarak 1 km. Kami hanya dipersenjatai dengan AK-47. Saya membawanya satu, cukup untuk bunuh diri jika perlu," kata seorang pengawal konvoi.

Kondisi seperti ini sebenarnya sangat tidak diinginkan oleh pemerintah Afghanisan maupun NATO karena justru memperkuat Taliban dan melemahkan pasukan NATO.

"Pada dasarnya semua jasa pengawalan dilakukan oleh Taliban. Karena pemerintahan yang lemah, semua orang harus membayar Taliban," kata seorang eksekutif perusahaan pemegang kontrak asal Amerika yang menyarankan agar Amerika membuat perjanjian langsung dengan Taliban mengenai masalah itu agar ongkos yang dikeluarkan tidak terlalu besar.

Kembali ke Watan Risk Management (WRM), perusahaan yang dimiliki oleh sepupu presiden Hamid Karzai, Popal bersaudara. Perusahaan ini menguasai jalur transportasi paling strategis di Afghanistan yang menghubungkan Kabul dengan Kandahar. Satu-satunya alasan mengapa perusahaan ini yang dipercaya menguasai jalur strategis ini adalah karena Popal bersaudara memiliki kedekatan dengan para komandan Taliban di daerah ini.

Komandan tertinggi Taliban di wilayah ini adalah Rahullah, seorang komandan eksentrik. Selain mengenakan pakaian tradisional, ia juga mengenakan aksesoris produksi barat yang mahal seperti jam tangan Rolex. Untuk setiap truk yang melintasi jalur ini, Ruhullah mengenakan tarip sebesar $1.500, atau lebih dari Rp 15 juta.

Bahkan NCL, perusahaan milik menteri pertahanan, diharuskan membayar. NCL membayar hingga $500.000 per-bulan kepada WRM selaku penguasa jalur. Selanjutnya WRM membagi 10% sampai 20% darinya untuk Ruhullah.

"Bagi kami kondisi ini berarti kekalahan. Tapi bagi saya ini adalah kenyataan yang harus diterima. Membayar musuh sembari berkata, hai jangan ganggu kami. Saya tidak menyukainya, tapi inilah kenyataannya," kata seorang komandan tentara Amerika.

No comments: