Saturday 28 November 2009

Lisbon Treaty Kukuhkan Dominasi Yahudi


"Ini adalah hari besar bari Eropa!" tulis surat kabar European Jewish Press pada 4 Oktober lalu, dua hari setelah Irlandia mendukung Perjanjian Lisbon (Lisbon Treaty). Sebelumnya pada tgl 2 Oktober 2009, di bawah tekanan Uni Eropa dan kampanye gencar media-media massa mapan, Irlandia menyatakan duungannya pada perjanjian yang secara efektif mengakhiri kedaulatan negara-negara anggota Uni Eropa yang berjumlah 27 negara. Untuk selanjutanya negara-negara itu diperintah oleh sekelompok elit penguasa yang bermarkas di Brussels namuns secara efektif dikontrol oleh para kapitalis yahudi yang bermarkas di Frankfurt, Jerman.

Di Frankfurt sendiri berdiri markas besar Bank Sentral Eropa dengan presidennya, yahudi Jean Claude Trichet dan patronnya, keluarga Rothschild yang memiliki saham semua bank sentral di Eropa hingga Amerika.

"Uni Eropa kini berbicara dan bertindak dalam satu suara berdasar kepentingan seluruh rakyat Eropa," tulis European Jewish Press. Tentu saja hal ini sama sekali tidak berdasar karena pada kenyataannya rakyat Eropa tidak terlibat dalam semua kebijakan Uni Eropa yang presiden dan pejabat-pejabatnya, anggota parlemennya, undang-undangnya, pengadilannya, dan bank sentralnya dipilih oleh sekelompok kecil elit orang-orang berpengaruh di Eropa: bankir, pengusaha, politisi, dan bangsawan yang seluruhnya yahudi dan antek-anteknya.

Pertanyaannya adalah: mengapa orang-orang yahudi sebagaimana European Jewish Press bergembira, sementara sebagian besar rakyat Eropa justru melihat dengan cemas masa depan mereka paska diratifikasinya Lisbon Treaty? Ini tidak lain karena orang-orang yahudi itu tahu, sebuah pemerintahan yang tidak dipilih oleh rakyat lebih mudah dikendalikan daripada 27 pemerintahan masing-masing negara anggota Uni Eropa. Ibaratnya, sekali tepuk, 27 negara dikendalikan.

Bagaimana pun, sebuah pemerintahan dan kebijakan tunggal Uni Eropa yang ditetapkan melalui Lisbon Treaty, hanya akan menjaga kepentingan para kapitalis yahudi. Bukan kepentingan rakyat 27 negara Eropa yang sebagian besar bahkan tidak tahu bahwa mereka kini telah memiliki seorang presiden (presiden Uni Eropa) bernama Herman Van Rompuy, yang di masa mendatang akan bisa memecat presiden pilihan mereka, membubarkan parlemen pilihan mereka, dan memaksakan kebijakan luar negeri, moneter dan sosial negara mereka.

Liston Treaty telah menciptakan untuk pertama kalinya sebuah negara super bernama Uni Eropa. Namun jauh dari prinsip demokrasi, Uni Eropa tidak berbeda dengan negara swasta dengan pemiliknya adalah para kapitalis dan para eksekutifnya (presiden dan jajaran birokratnya) adalah para politisi bayaran. Mereka semua, dan bukannya rakyat Eropa, yang memilih presidennya, membentuk undang-undangnya dan pengadilannya, menentukan mata uangnya (Euro) dan nilai tukarnya, dan kebijaan politiknya.


KONSEKWENSI SERIUS

Seiring dengan semakin kukuhnya kelembagaan Uni Eropa, para elit yahudi mulai memaksakan tata nilai baru yang harus diberlakukan di seluruh negara anggota Uni Eropa, khususnya berkaitan dengan kepentingan etnis yahudi. Tata nilai itu adalah isu anti-semitisme, holocoust dan undang-undang anti kejahatan kebencian (hate crime). Padahal dengan ketiga hal itu yahudi secara efektif berhasil "menyandera" rakyat Eropa untuk tunduk kepada kekuasaan mereka. Kini hal itu akan ditetapkan dengan undang-undang.

Salah satu charter yang tercantum di dalam Lisbon Treaty adalah Charter Of Human Rights. Charter ini memberi hak pengadilan HAM Uni Eropa di Strasbourg, France, kekuatan untuk menentukan kebijakan sosial untuk 500 penduduk Eropa anggota Uni Eropa, termasuk masalah aborsi, perkawinan homoseksual, rasisme, dan sudah barang tentu anti-semitisme. Bagi penduduk yang melanggar isu-isu tersebut di atas, kejaksaan Uni Eropa telah siap untuk menjerat mereka ke pengadilan HAM Uni Eropa.

Dan dalam hal "anti-semitisme" organisasi yahudi Eropa, European Jewry, melakukan lobi-lobi intensif untuk memperngaruhi kebijakan sosial dengan menguasai kantor Public Prosecutor, semacam lembaga kejaksaan khusus untuk Uni Eropa. Dengan upaya-upaya itu mereka berharap penolakan terhadap mitos holocout (Holocaust Denial atau Historians Beware) yang sudah ditetapkan sebagai kejahatan di Jerman dan Perancis, akan diperlakukan sama di semua negara Uni Eropa. Ini akan menjadi tanda hilangnya kebebasan mengeluarkan pendapat dan berekspresi di Eropa.

Baru-baru ini organisasi yahudi, Anti Defamation League of Europe dan Jerusalem Center Of Public Affairs, mengumumkan kampanye untuk "meningkatkan" legislasi atas masalah holocoust denial di Eropa dengan membidik pengguna dan penyedia layanan internet yang dianggap menolak "kebenaran" mitos holocoust. Pada bulan April lalu Komisi Eropa menyetujui undang-undang yang mengancam penolak mitos holocoust dengan hukuman penjara dengan catatan hal itu tidak bertentangan dengan undang-undang lokal masing-masing negara anggota.

European Jewry langsung mendukung undang-undang itu dan, secara sepihak mengumumkan Jerman menghendaki undang-undang itu segera diamandemenkan di seluruh negara anggota Uni Eropa. Berikutnya European Jewry memprovokasi Italia untuk mulai menghukum penjara para penolak mitos holocoust. Namun Italia menolaknya, diikuti penolakan oleh Slovakia, Spanyol, Inggris, Denmark dan Swedia.

Namun meski Uni Eropa berusaha mendinginkan suasana penolakan dengan mengatakan undang-undang tersebut hanya simbolis semata, namun orang-orang yahudi akan terus berupaya undang-undang otoriter tersebut akan diberlakukan efektif di seluruh Eropa, sebagaimana juga di Amerika dan Kanada. Dan pasa saat ini terjadi, budaya demokrasi yang selama ini diagung-agungkan orang-orang barat, hanya tinggal kenangan digantikan undang-undang jaman pra-sejarah dan "Agama Holocoust Yahudi" menggantikan agama kristen yang selama 2000 tahun telah dipeluk oleh orang-orang Eropa.

No comments: