Sunday 3 October 2010

LEBANON YANG KEMBALI MEMANAS


Bagi saya, kondisi politik Lebanon sangat menarik untuk diamati. Konstalasi politik negeri ini sangat dinamis dengan intensitas yang sangat tinggi. Lebih menarik lagi bagi saya karena perpolitikan Lebanon terpecah dalam dua kubu yang sangat ekstrem perbedaannya, satu kubu protagonis pembela integritas nasional dan kubu lainnya pembela kepentingan Amerika-Israel.

Kubu protagonis adalah partai-partai politik yang tergabung dalam kelompok oposisi yang terdiri dari Hizbollah (Shiah), Amal (Shiah), Free Patriotic Movement (Kristen), Marada (Kristen), Partai Sosialis Syria (sosialis sekuler) dan beberapa partai kecil lainnya. Sementara kubu lawannya adalah partai-partai koalisi yang memegang kursi pemerintahan yang ditulangpunggungi oleh partai Future Movement (Sunni), Phalangist (Kristen), Lebanon Force (Kristen) dan beberapa partai lainnya yang lebih kecil.

Sampai setahun yang lalu kubu pemerintah masih diperkuat dengan partainya kelompok Druze (sekte agama yang mencampurkan kayakinan Islam dengan Kristen) yang cukup besar di bawah kepemimpinan Walid Jumblatt yang dikenal oportunis sejati. Namun dalam setengah tahun terakhir, Jumblatt menunjukkan kecenderungan berpaling ke kubu oposisi. Namun koalisi pemerintah masih tetap kuat karena didukung oleh dua pimpinan agama terbesar di Lebanon, yaitu Patriach Kristen Orthodox dan Mufti Sunni.

Politik Lebanon tidak hanya diwarnai dengan perbedaan faham politik seperti nasionalis-sosialis, tapi lebih penting lagi adalah perbedaan faham agama, yaitu Kristen Orthodok, Islam Sunni, Islam Syiah dan Druze. Namun di antara kelompok-kelompok agama itu sendiri terpecah dalam partai-partai yang berseberangan. Misalnya saja antara partai-partai Kristen seperti Free Patriotic Movement dan Marada yang berpihak pada kubu oposisi, sementara Lebanon Force dan Maronit berpihak pada regim penguasa. Sementara itu kelompok Druze sendiri tidak bisa dipegang arah politiknya. Suatu masa berpihak pada kubu pemerintah, dan di waktu lainnya menyeberang ke kubu oposisi.

Intensitas politik yang sangat tinggi tersebut dikarenakan Lebanon adalah "buffer zone" antara negara-negara Arab dengan negara agressor Israel. Israel yang bernafsu meluaskan wilayah teritorialnya, setidaknya politiknya, di Lebanon, dengan dukungan Amerika dan regim-regim oportunis Arab seperti Arab Saudi, Yordania, dan Mesir, selalu mendapatkan perlawanan gigih dari sebagian rakyat Lebanon. Sebagian rakyat lainnya rela menjual integritasnya untuk kepentingan asing hanya demi untuk berkuasa.

Seolah tak pernah berhenti ketegangan politik yang tinggi di Lebanon akhir-akhir ini kembali menguat menjelang diumumkannya putusan pengadilan internasional untuk kasus pembunuhan mantan Perdana Menteri Rafiq Hariri (Special Tribunal for Lebanon, STL), yang tewas dalam serangan bom pada tahun 2005. Meski belum diputuskan, namun beredar desas-desus yang sangat kuat bahwa pengadilan tersebut akan membuat keputusan yang mendeskreditkan Hizbullah dalam kasus pembunuhan tersebut dengan menetapkan sekelompok anggota Hizbollah sebagai pelaku pembunuhan.

Hal tersebut tentunya sangat dikhawatirkan akan membuat konflik politik di Lebanon memanas kembali setelah sempat reda sejak tahun 2008. Pada tahun itu terjadi bentrokan bersenjata antara milisi kubu pemerintah melawan oposisi yang dipimpin Hizbullah dimana milisi oposisi berhasil mengalahkan milisi pemerintah (angkatan bersenjata berada di pihak netral) dan membuat perdana menteri saat itu, Fuad Siniora, membatalkan keputusan yang memicu bentrokan bersenjata, yaitu upaya merampas jaringan telekomunikasi milik Hizbollah yang telah berjasa mengantarkan Hizbollah memukul mundur pasukan Israel dalam Perang Lebanon tahun 2006.

Sebagaimana keputusan Fuad Siniora untuk merampas jaringan komunikasi Hizbollah di tahun 2008, penetapan Hizbollah sebagai pelaku pembunuhan Rafiq Hariri sangat kental berbau politis akibat pengaruh Amerika dan Israel. Dan sebagaimana tahun 2008, Lebanon kembali menghadapi ancaman perang saudara karena Hizbollah, sebuah organisasi sosial-politik-militer terkuat di Lebanon, serta sekutu-sekutunya tentu tidak akan tinggal diam.

Namun sepertinya Perdana Menteri saat ini, Sa'ad Hariri, tidak akan berbeda sikap dengan pendahulunya, Siniora, dalam berurusan dengan Hizbollah dan Israel. Artinya ia akan memusuhi Hizbollah dan secara tidak langsung, mengikuti agenda Israel yang dijalankan Amerika. Saad Hariri juga adalah putra almarhum Rafiq Hariri dan sebagaimana Fuad Siniora dan perdana menteri-perdana menteri sebelumnya berasal dari kalangan Sunni (konstitusi Lebanon menetapkan perdana menteri berasal dari golongan Sunni, presiden dari golongan Kristen, dan ketua parlemen dari golongan Syiah, sementara panglima angkatan bersenjata secara konvensi berasal dari golongan Kristen).

Memang keputusan belum diambil oleh STL, namun desas-desus kuat sudah menunjukkan bahwa Hizbolal-lah yang akan disalahkan kasus dalam kematian Rafiq Hariri meski Hizbollah sendiri telah menyerahkan bukti-bukti kuat yang menunjukkan Israel sebagai dalang dalam peristiwa itu berdasarkan rekaman gambar kegiatan pesawat mata-mata Israel yang berada di sekitar lokasi pembunuhan Rafiq Hariri beberapa sebelumnya serta beberapa saat sebelum sebuah bom meledakkan mobil yang ditumpangi Rafiq. Indikasi keterlibatan Israel semakin kuat setelah terbongkarnya jaringan mata-mata Israel di Lebanon yang melibatkan seorang jendral Lebanon. Lagipula pihak yang paling diuntungkan dengan kematian Rafiq adalah Israel, yaitu dengan hengkangnya pasukan Syria dari Lebanon.

Adapun indikasi kuat yang menunjukkan bakal dituduhnya Hizbollah sebagai pelaku pembunuhan Hariri, di antaranya adalah:
1. Artikel di harian Jerman Der Spiegel berdasarkan informasi rahasia pejabat STL yang menyebutkan Hizbollah bakal ditetapkan sebagai pelaku pembunuhan.
2. Pernyataan Dubes Perancis untuk Lebanon bahwa "dunia belum kiamat, meski mungkin nanti Hizbollah dinyatakan bersalah dalam kematian Rafiq Hariri."
3. Mundurnya 10 pejabat STL secara berturut-turut, diduga kuat karena tidak tahan dengan tekanan politik yang mereka terima.
4. Pernyataan Kepala Staff Angkatan Bersenjata Israel, Jendral Gabi Ashkenazi bahwa STL bakal menetapkan Hizbollah sebagai pelaku pembunuhan Hariri.
5. Pernyataan Sekjen Hizbollah, Sheikh Hassan Nasrallah, bahwa dirinya telah mendapatkan informasi langsung dari Perdana Menteri Sa'ad Hariri bahwa STL akan menetapkan beberapa anggota Hizbollah sebagai pelaku pembunuhan Rafiq Hariri. Pernyataan Nasrallah tersebut dibantah oleh beberapa anggota partai Sa'ad Hariri, namun Sa'ad sendiri tidak mengeluarkan bantahan apapun yang mengindikasikan pernyataan tersebut benar adanya.

Kini, menjelang pengumuman STL yang masih belum pasti kapan dilakukan, situasi politik kembali mendidih. Beberapa politisi kubu pemerintah telah membuat pernyataan yang menyudutkan Hizbollah. Di antaranya anggota parlemen Mohamad Kabbara yang menyatakan bahwa "Hizbollah telah mengincar beberapa pemimpin Sunni Lebanon". Sebelumnya anggota parlemen Ammar Houri juga membuat pernyataan yang sama.

Hizbollah sendiri telah mengingatkan lawan-lawan politiknya untuk tidak memanaskan situasi dengan pernyataan-pernyataan yang tendensius. Dalam pernyataan politiknya menanggapi pernyataan-pernyataan provokatif dari kubu pemerintah itu Hizbollah hanya menyatakan bahwa Hizbollah "tidak akan membiarkan perpecahan menginfiltrasi Lebanon". Kecaman lebih keras justru dinyatakan para politisi kubu oposisi, di antaranya Jendral Michael Aoun dari Free Patriotic Movement yang mengatakan regim yang berkuasa dipenuhi dengan kebohongan dan keculasan, "para pembohong yang melanggar hukum."

Menurut Aoun Amerika dan Israel ingin menghancurkan Hizbollah agar terlaksananya agenda Israel untuk menaturalisasi pengungsi Palestina di Lebanon. "Mereka ingin membunuh gerakan perlawanan terhadap Israel (kubu oposisi) yang telah menjadi batu sandungan agenda Israel. Hal pertama yang diinginkan Israel adalah menaturalisasi pengungsi Palestina (menjadikan pengungsi Palestina sebagai warganegara Lebanon agar Israel terlepas dari kewajiban moral terhadap para pengungsi Palestina yang telah diusir dari wilayah pendudukan). Namun selama ada gerakan perlawanan, tidak akan pernah ada naturalisasi," kata Aoun dalam sebuah pidato di wilayah Jezzine, beberapa hari lalu.

"Kita telah dituduh melakukan konspirasi melawan negeri kita sendiri, tidak lain karena kita memegang teguh semua perkataan kita," tambah Aoun.

Sementara itu Walid Jumblatt, pendukung kubu pemerintah yang kini berbalik arah, mengatakan dirinya memilih untuk tidak mengakui keberadaan STL, institusi bentukan PBB namun dibiayai oleh Lebanon dengan para pejabat tingginya didominasi dari barat.

Sedangkan Presiden Michel Sleiman, yang selama menjabat sebagai panglima angkatan bersenjata hingga menjadi presiden berhasil menjaga netralitas, dalam pidatonya di depan Sidang Umum PBB minggu lalu mengatakan, rakyat Lebanon berhak melakukan apapun untuk merebut kembali wilayahnya yang masih diduduki Israel. Hal ini merujuk pada persenjataan Hizbollah yang sering dijadikan sasaran tembak oleh Amerika dan sekutu-sekutunya. Padahal justru dengan senjata itulah Hizbollah berhasil merebut kembali wilayah Lebanon Selatan dari pendudukan Israel. Dengan senjata itu pulalah Hizbollah berhasil memukul mundur invasi Israel ke Lebanon tahun 2006.

Mengenai STL, secara tidak langsung Sleiman mengingatkan bahwa Lebanon tidak akan menerima apapun yang bertentangan dengan aspirasi rakyat Lebanon. "Lebanon will not accept any solution in the Middle East if it contradicts its supreme national interests," kata Sleiman dalam pidatonya.

Hizbollah sendiri tampak tidak terlalu terganggu dengan desas-desus yang menyudutkannya perihal keputusan STL tentang pembunuhan Sa'ad Hariri. Mengenai hal itu Hizbollah dalam pernyataan resminya mengatakan akan menunggu pembicaraan diplomatik segitiga Lebanon-Syria-Saudi yang dalam pernyataan awalnya berjanji akan mengusahakan agar STL terhindar dari politisasi.

We are waiting for the outcome of Arab, and particularly Saudi, efforts in light of the Lebanese-Syrian-Saudi commitment to seek ways to keep the STL away from politicization and unfair accusations,” kata Deputi Sekjen Hizbollah, Sheikh Naim Qassem kepada koran Kuwait Al-Rai, Kamis (30/9).

Hizbollah akan menganggap STL telah dipolitisasi jika tidak mempertimbangkan fakta-fakta yang menunjukkan keterlibatan Israel dalam pembunuhan Hariri, serta jika saksi-saksi yang telah memberikan keterangan palsu tidak dipenjara. Menanggapi kemungkinan terburuk yang bakal dihadapi Hizbollah, Naim Qassem mengeluarkan ancamannya, bahwa tuduhan STL terhadap Hizbollah akan ditanggapi sama dengan invasi Israel ke Lebanon.

Perlu difahami bahwa selama bertahun-tahun STL telah bekerja berdasarkan keterangan saksi-saksi palsu yang telah menuduh Syria sebagai dalang pembunuhan Hariri. Dengan berbagai tuduhan tersebut, yang disertai aksi-aksi politik kubu pemerintah, pasukan Syria yang berdasarkan mandat Liga Arab ditempatkan di Lebanon untuk menjaga keamanan, terpaksa harus meninggalkan Lebanon dan membiarkan Lebanon tanpa pelindung dari serbuan Israel. Benar saja, setahun setelah penarikan pasukan Syria, pada tahun 2006 Israel menyerbu Lebanon, menyangka tidak akan mendapatkan perlawanan berarti. (Saya masih ingat tulisan Victor Ostrovsky di bukunya By Way of Deception, yaitu tentang olok-olok tentara Israel terhadap Lebanon, bahwa untuk mengalahkan Lebanon Israel cukup mengerahkan pasukan korps musiknya).

Kini setelah pasukan Syria hengkang dari Lebanon, terbukti bahwa saksi-saksi yang dihadirkan dalam sidang-sidang STL adalah saksi palsu. Kesaksian palsu itu tidak hanya membuat Syria dipermalukan dan terusir dari Lebanon dengan cara yang tidak menusiawi, empat perwira tinggi militer Lebanon juga harus menjalani kehidupan pahit di dalam penjara selama bertahun-tahun dengan tuduhan bersekongkol dengan Syria.

Ketika Israel menyerbu Lebanon paska hengkangnya pasukan Syria, mereka ternyata membuat kekeliruan besar. Hizbollah mampu mengejutkan Israel dan memukul mundur Israel hingga kembali ke perbatasan semula. Puluhan tank Israel hancur dan ratusan prajuritnya tewas dalam pertempuran yang memalukan pasukan Israel yang mengklaim sebagai "pasukan paling hebat dan paling bermoral di dunia" tersebut. Jika dalam perang tahun 1982 Israel berhasil menduduki separoh lebih wilayah Lebanon serta mengepung ibukota Beirut hanya dalam waktu satu minggu, dalam perang tahun 2006 pasukan Isreal tidak pernah bisa masuk lebih dari 5 km dari perbatasan. Padahal pada tahun 1982 Israel tidak hanya menghadapi pasukan PLO yang lebih kuat dari Hizbollah secara kuantitas, namun juga kekuatan perlawanan Lebanon lainnya. Pada tahun 2006, Hizbollah, sekolompok milisi yang terdiri dari beberapa ribu personil dengan persenjataan ringan namun memiliki integritas dan kedisiplinan tinggi, sendirian, mengalahkan Israel.

Dengan menyalahkan Hizbollah dalam kasus kematian Hariri, Israel dan Amerika tentu berharap tuntutan untuk melucuti persenjataan Hizbollah terkabul sehingga Israel akan lebih leluasa lagi untuk melanjutkan ambisinya menguasai Lebanon.


Pelajaran Tahun 1982


Pada tahun 1983, Israel nyaris mendapatkan pijakan yang sempurna di Lebanon paska aksi militernya atas negara itu tahun 1982. Setelah berhasil mengusir pasukan perlawanan PLO dari Lebanon, pada tahun 1983 pemerintahan boneka Israel di Lebanon bawah kepemimpinan Presiden Amin Gemayel, menyetujui perjanjian damai dengan Israel dengan membiarkan sebagian wilayah Lebanon diduduki Israel.

Kelompok-kelompok perlawanan dan kaum nasionalis Lebanon tentu saja menentang perjanjian tersebut. Mereka pun membunuh Gemayel dan memaksa penggantinya membatalkan perjanjian tersebut. Sementara pasukan Amerika dan Perancis yang ditempatkan di Lebanon dengan payung PBB demi mengamankan kepentingan Israel di Lebanon, dihancurkan oleh bom mobil sehingga harus meninggalkan Lebanon dengan memalukan.

Namun meski upaya-upaya Isreal menguasai Lebanon, secara militer maupun politik, mengalami kegagalan, Israel tidak pernah mengendurkan ambisinya. Dan kini Israel memiliki kesempatan itu dengan menggunakan tangan STL.

"Jika tuduhan terhadap Hizbollah benar-benar dilakukan, ini akan menjadi awal dari invasi Israel-Amerika sebagaimana invasi tahun 1982. Setiap invasi akan mendapatkan perlawanan yang setimpal. Tujuan invasi Israel tahun 1982 adalah perjanjian damai yang merugikan Lebanon, demikian juga invasi tahun 2006 dan invasi mendatang. Saat Lebanon mendapatkan invasi, maka kami berkewajiban mempertahankan negeri ini," kata anggota parlemen dari Hizbollah, Nawaf Moussawi dalam wawancara televisi, Rabu (29/9).

No comments: