Tuesday 18 January 2011

KEBOHONGAN-KEBOHONGAN YG DISEMATKAN KEPADA AHLUL BAIT


Salah satu hal yang membuat saya lebih mengapresiasi mazhab Shiah daripada Sunnah adalah mazhab Shiah lebih memberikan tempat terhadap rasionalitas (aqli), sementara yang terakhir lebih mengedepankan teks (naqli). Misalnya, mazhab Shiah menganggap sebagian hadits dalam kitab-kitab "Shahih" sekalipun mengandung kelemahan karena bertentangan dengan rasio. Sedangkan mazhab Sunnah menganggap semua hadits dalam kita "Shahih" terutama karya Bukhori dan Muslim, sebagai kebenaran mutlak nyaris seperti Qur'an. Orang-orang wahabi-salafiyun bahkan berani mengkafirkan orang yang mempertanyakan kevaliditas-an kitab "Shahih", seolah-oleh mereka-lah orang yang paling berilmu dan mengerti ilmu agama.

Sebagai contoh, orang-orang mazhab Shiah tidak mengakui satu hadits "Shahih" (di antara banyak hadits yang tidak diakui) tentang Nabi Musa yang bergumul dan melukai mata malaikat pencabut nyawa. Alasan mereka sederhana saja, yaitu tidak sesuai dengan rasio atau akal sehat. Contoh hadits lainnya adalah kisah tentang batu yang melarikan pakaian Musa.

Dengan percaya pada hadits-hadits karena alasan percaya 100% pada integritas penulis kitab dan perawi haditsnya, tanpa mengkaji apakah hadits tersebut masuk akal atau tidak, sebenarnya kita telah berbuat jahil dan melampaui batas, karena berarti kita seolah telah men-Tuhankan manusia. Rosul sendiri pernah mengingatkan umatnya untuk tidak meniru kaum yahudi yang telah men-Tuhankan pemuka-pemuka agama mereka, yaitu membenarkan semua perkataan para rabbi mereka tanpa menggunakan akal dan rasio. Kita tahu, kaum yahudi memuliakan kitab Talmud buatan para pemuka agama mereka, bahkan lebih tinggi daripada kitab Taurat yang diturunkan Allah kepada Musa.

Cerita tentang nabi Musa bergulat dengan malaikat serta pakaian nabi Musa yang dilarikan batu adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Sejarah mencatat bahwa beliau adalah seorang mualaf yang masuk Islam pada masa terakhir hidup Rosulullah. Beliau tidak pernah tercatat telah berjihad setidaknya karena kefakirannya, dan menghabiskan sebagian besar hidupnya di masjid sebagai penerima sedekah. Ia dikenal suka bermain-main dengan kucing-kucing dan mendapatkan nama belakangnya karena kegemarannya itu. Beliau adalah pendatang yang kurang dikenal jelas asal-usulnya.

Pada masa umat mengalami perpecahan karena pemberontakan (bughot) Muawiyah terhadap khalifah Ali bin Abi Thalib, Abu Hurairah memilih berpihak pada Muawiyah, dan memperoleh peruntungannya kemudian dengan diangkat sebagai gubernur Makkah pada tahun 39 H setelah berjasa memburu para pengikut Ali dan membakari rumah para sahabat Rosul pendukung Ali di Makkah setelah Ali meninggal. ("Tarikh" Ath Thabari, "Syarah al Nahj al Balaghah" Ibnu Abi al Hadid, "Al Kamil" Ibnu al Atsir dll)

Ada banyak sahabat yang lebih utama daripada Abu Hurairah. Men-Tuhankan mereka saja sudah bisa dianggap kafir, apalagi men-Tuhankan Abu Hurairah.

Namun masalahnya adalah Abu Hurairah adalah salah satu "pilar" utama mazhab Sunnah. Hadits-hadits yang berasal darinya menjadi sumber utama ilmu agama mazhab Sunnah. Mempertanyakan kredibilitas hadits-haditsnya atau integritas pribadinya tentu saja mengancam pondasi keyakinan mazhab Shiah. Maka taklid (meyakini secara membabi buta) menjadi senjata terakhir pengikut mazhab Sunnah setelah rasio maupun nash tidak bisa menjadi pertimbangan.

Dalam konteks perbedaan pendapat antar mazhab Shiah dengan Sunnah, saya lebih percaya dengan pendapat mazhab Shiah karena rasionalitasnya selain juga nash-nash-nya. Misalnya saja pandangan Shiah tentang para sahabat Rosul (masalah ini menjadi hal yang mendasar bagi Shiah maupun Sunnah, karena melalui para sahabat-lah sebagian besar ilmu tentang agama sampai pada umat Islam sekarang ini) jauh lebih rasional dibanding pandangan Sunnah. Shiah membagi sifat para sahabat dalam empat kelompok: ahlul bait dan kerabat Rosul, sahabat yang ikhlas, sahabat yagn fasik dan sahabat yang munafik. Sementara Sunnah menganggap semua sahabat adalah orang-orang yang ikhlas bahkan maksum karena dianggap semua tindakan mereka adalah ijtihad, bilamana salah mendapat satu pahala dan jika benar mendapat dua pahala. Selain lebih rasional pendapat Shiah juga didukung oleh nash-nash yang kuat dalam Qur'an maupun hadits.

Perbedaan pendapat lainnya adalah dalam hal kepemimpinan umat. Mendahului pemikiran barat soal demokrasi, Sunnah berpendapat semua orang berhak menjadi pemimpin, hatta orang tersebut kurang ilmu dan mental serta dengan latar belakang yang kelam sekalipun. Sementara Shiah memandang kepemimpinan umat sebagai sesuatu yang sakral dan hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang "suci" sebagai pengemban amanat Allah di bumi, yang berilmu dan berakhlak mulia. Badi Shiah kepemimpinan hanya untuk keluarga Rosulullah (ahlul bait) dan keturunannya.

Untuk menjustifikasi klaim mazhab Sunnah bahwa para ahlul bait tidak pernah mengklaim kepemimpinan umat Islam, atau setidaknya pada akhirnya mereka mengakui kepemimpinan bukan dari kelompok mereka dan ridho pada pemimpin-pemimpin yang bukan dari kalangan mereka, banyak cerita rekayasa yang disematkan kepada ahlul bait. Misalnya cerita tentang "berdamai"-nya putri Rosulullah Fathimah Az-Zahra dengan Abu Bakar dan Umar bin Khattab yang telah mengambil alih kepemimpinan dari ahlul bait, atau cerita tentang keridho'an Ali bin Abu Thalib terhadap Abu Bakar dan Umar bin Khattab.

Tidak perlu mengambil dalil-dalil dari kitab-kitab Shiah, kitab-kitab "Shahih" menyatakan klaim-klaim tersebut tidak benar. Kitab "Shahih" menyebutkan bahwa Fathimah tidak pernah berdamai dengan Abu Bakar dan Umar hingga akhir hayatnya. Kitab "Shahih" juga menyebutkan klaim Ali atas kepemimpinan yang tidak pernah berhenti, bahkan saat harus membai'at Abu Bakar, enam bulan setelah kematian Rosul dan beberapa saat setelah meninggalnya Fathimah. Kitab kumpulan pidato dan wasiat Ali "Nahjul Balaghah" dengan jelas dan tegas memperlihatkan pandangan Ali tentang kepemimpinan.

Salah satu cerita yang sering digunakan mazhab Sunni untuk mendukung klaim mereka adalah tentang khalifah Abu Bakar dan Umar yang sering memberi tunjangan kepada Ali dan ahlul bait. Perlu diluruskan bahwa sebagai kerabat Rosul terdekat, sebagaimana diamanatkan Qur'an, Ali dan ahlul bait memang berhak mendapat bagian dari ghanimah (pampasan perang), fa'i (upeti), dan khumus (bagian dari keuntungan). Semua orang Islam tahu hal itu, dan tentu saja Abu Bakar dan Umar tidak ingin dianggap kafir karena melanggar ketentuan Qur'an dengan tidak memberikan hak Ali.

Klaim lainnya misalkan tentang pemberian nama anak-anak Ali dengan nama Abu Bakar dan Umar. Klaim ini juga tidak bisa dijadikan pegangan, karena nama Umar adalah nama yang umum di kalangan Arab Quraisy. Kalau pun memang betul Ali memberi nama anaknya dengan nama Umar, tidak bisa dijustifikasi bahwa Ali telah ridho dengan Umar bin Khattab. Adapun nama Abu Bakar adalah nama panggilan (ayah dari seorang anak bernama Bakar). Tentu saja tidak mungkin Ali memberi nama anaknya "ayah dari seorang anak bernama Bakar".

Klaim lainnya misalkan adalah bahwa Ali bin Abu Thalib menikahkan seorang putri dengan Umar bin Khattab. Untuk yang terakhir ini saya copaskan sebuah artikel menarik di sebuah situs Shiah sbb:


PUTRI SUCI IMAM ALI AS, UMMU KULTHUM AS MENIKAH DENGAN UMAR BIN KHOTTOB?

Posted Mei 25, 2010 by syiahnews in Uncategorized. Komentar Dimatikan


Sebagian orang dengan tanpa lelah berusaha terus-menerus merendahkan posisi dan kemuliaan Ahlulbayt dan kesucian keluarga Rasul Saww. Bahkan sebagian lainnya tanpa ragu menjadi penerus kesalahan sejarah dengan bangga dan busung dada. Di samping fitnahan atas imam Ali As yang menurut ‘sejarah miring’ bahwa beliau –difitnah- menikahi putri Abu jahal. Demi mendukung hujjah mereka untuk menyelamatkan nama baik dua syaikh (Abu Bakar dan Umar) saat terkena pasal ketidak ridhoan Fathimah Az Zahro As. Ar Rasul Saww: “Keridoan Fatimah adalah keridhoan ALLAH, kemurkaan Fatimah adalah kemurkaan ALLAH” yang pembahasan mengenai hal tersebut akan di urai dalam bab berikutnya. Satu poin yang akan dibahas kali ini adalah kesalahan fundamental berkali kali dari sejarah yang beredar di umum hasil ‘karya besar’ ulama Ummayah demi membuat bangga leluhur Ummayah yang mati di Badar adalah :

TUDUHAN BAHWA PUTRI SUCI IMAM ALI AS, UMMU KULTHUM AS MENIKAH DENGAN UMAR BIN KHOTTOB

Kitab sejarah Abul Fida volume 1 halaman 171 dan Al Faruq Shibli Numani Vol II halaman 593 sama sama meredaksikan: “Pernikahan Umar dengan Ummu Kulthum berlangsung pada tahun 17 Hijriyah saat Ummu Kulthum berusia 5 atau 4 tahun. Dengan dasar ini diyakini bahwa tahun kelahiran Ummu Kulthum adalah 12 atau 13 Hijriyah.” Sesungguhnya dalam riwayat yang dibawakan kedua sejarahwan di atas terdapat beberapa kejanggalan bila mengacu pada riwayat yang diredaksikan Bukhari: “Sayyidah Fatimah AS meninggal 6 bulan setelah wafatnya Rasulullah SAWW dan beliau AS meninggal pada tahun yang sama dengan tahun meninggal Rasulillah SAWW yaitu 11 hijriyah, sementara Ummu Kulthum putri imam Ali AS lahir pada tahun 9 Hijriyah.”

Analisa 1 :
Dengan dasar ini adalah tidak mungkin ia adalah Ummu Kulthum yang sama. Sejarahwan sunni mencantumkan kelahiran Ummu Kulthum yang menikah dengan Umar tahun 12 atau 13 Hijriyah. Sementara Bukhari mencantumkan tahun kelahiran putri Imam Ali AS tahun 9 hijriyah. Jadi tidak mungkin seorang wanita lahir dua kali, atau keduanya adalah wanita yang berbeda.

Paparan : Kesucian Ahlulbayt terus terjaga dengan pernikahan wanita wanita mereka dengan sesama Bany Hasyim. Umar bin Khottob mempunyai 7 orang istri. Yang pertama bernama Zainab saudari dari Uthman bin Mazun, yang kedua bernama Qariba putri dari Ibn Umait al Makzami dan saudara dari Ummul Mukminin Ummu Salamah RA. Qariba bercerai dari Umar pada tahun 6 sebelum Hijriah setelah Perjanjian Hudabiyah. Istri ketiga bernama Malaika anak dari Jarul al Khuzai yang juga dipanggil Ummu Kulthum. Karena ia menolak Islam maka Malaika alias Ummu Kulthum ini pun di ceraikan pada tahun yang sama. Istri yang ke empat bernama Jamila anak dari Asim bin Thabit. Nama asli Jamila adalah Asya yang kemudian oleh Rasul SAWW diganti menjadi Jamila saat ia masuk Islam. Istrinya yang lain adalah Ummu Hakim anak dari Al Harith bin Hisyam al Makhzumi, dan lainnya adalah Fukhia Yamania dan Atika putri dari Zaid bin Amr bin Nafil ("Al Faruq" - Volume II oleh Shibli Numani, terjemahan Bahasa Inggris)

Analisa 2 :
Redaksi dalam kitab "al Faruq" di atas mencantumkan nama Ummu Kulthum/Malaika binta Jarul yang juga merupakan istrinya yang ketiga yang diceraikan sesaat setelah Perjanjian Hudaibiyah. Lalu siapa yang dinikahi Umar kemudian yang juga disebut Ummu Kulthum? Untuk ini kita akan tengok sebuah sejarah yang juga diawali dari hadith suci Al Musthofa SAWW bahwa “Abu Bakar dipersaudarakan dengan Umar dan Imam Ali AS dipersaudarakan dunia akhirat dengan Rasulullah SAWW.” Abu Bakar mempunyai beberapa putri selain Ummul Mukminin Aisyah. Perincian nama namanya bisa dijumpai pada "Tarikh" Thabari vol 3 hal 50, "Tarikh" Kamil vol 3 hal 121, "Al Isaba" Ibnu Hajar al Asqalani vol 3 hal 27, yang menukilkan bahwa "Abu bakar mempunyai seorang putri bernama Ummu Kulthum. Abu Bakar meninggal pada tahun 13 Hijriyah, dan usia pernikahan Ummu Kulthum binti Abu Bakar saat menikah adalah 4 tahun (17 H). Aisyah adalah putri tertua Abu Bakar, dengan meninggalnya Abu Bakar, Umar memberikan Ummu Kulthum kepada Aisyah sebagai penanggung jawabnya, seperti diredaksikan "Tarikh" Khamis vol 3 hal 267, "Tarikh" Kamil vol 3 hal 21 dan "Al Istab" Ibnu Abdul Barr vol 2 hal 795.

Kesimpulan :
Dengan demikian diperoleh kesimpulan bahwa Umar bin Khottob menikahi Ummu Kulthum binti Abi Bakar melalui Aisyah dan bukan Ummu Kulthum binti Ali AS. Pernikahan Umar dengan Ummu Kulthum binta Abu Bakar terjadi pada tahun 17 Hijriyah sesuai dengan kitab sejarah Abul Fida dan Al Faruq Shibli Numani sebagaimana telah disebutkan.

Tambahan :
Dalam "Tarikh" Thabari vol 12 hal 15, "Tarikh" Khamis vol II hal 318 dan "Al Istiab" Ibn Abdul Barr Vol 2 hal 795 diredaksikan: “Ummu Kulthum yang dinikahi Umar bin Khattab meninggal sebelum tahun 50 Hijriyah. Hasan bin Ali AS, Abdullah bin Umar dan Sa’ad bin Abi Waqqash diminta Umar untuk menyolatinya. Sejarah mencatat bahwa Ummu Kulthum binti Ali AS ikut dalam rombongan Karbala dan menjadi saksi pembantaian putra suci As Syahidu Syabab AS pada tahun 61 hijriyah. Dan juga sejarah mencatat bahwa setelah peristiwa duka tersebut Ummu Kulthum binti Ali AS menikah dengan Abdullah bin Jafar At Thayyar.”

Catatan kecil :
Hubungan Umar dengan ahlulbayt tidaklah mulus dengan diketahuinya penyerangan rumah ahlulbayt dan pendobrakan pintu rumah Imam Ali AS dan Fathimah Az Zahro sehingga menyebabkan keguguran kandungan Fathimah. Serta persaksian Sayyidah Fatimah AS yang diredaksikan "Shahih" Muslim bahwa Fathimah As tidak meridhoi Abu Bakar dan Umar akibat perbuatan zalim mereka itu.

Tambahan blogger:
Namun demikian demi menjaga kepentingan umat dan menghindari perpecahan serta pertumpahan darah, Ali bin Abi Thalib bersabar dengan menunda tuntutan kepemimpinannya meski ia terus mengingatkan akan hak-haknya. Sabdanya yang terkenal, "seseorang tidak patut dicela karena menunda tuntutan haknya, namun seseorang patut dicela karena merebut hak orang lain." Ia tetap menjaga hubungan dengan Abu Bakar dan Umar dan memberikan nasihat-nasihatnya jika diperlukan sesuai kapasitas keilmuannya yang diakui oleh semua sahabat dan ulama.

1 comment:

elfan said...

APAKAH ADA KETURUNAN AHLUL BAIT?

Dlm Al Quran yang menyebut 'ahlulbait', rasanya ada 3 (tiga) ayat dan 3 surat.

1. QS. 11:73: Para Malaikat itu berkata: "Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait. Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah".

Ayat ini jika dikaitkan dengan ayat sebelumnya, maka makna 'ahlulbait' adalah terdiri dari isteri dari Nabi Ibrahim.

2. QS. 28:12: Dan Kami cegah Musa dari menyusu kepada perempuan-perempuan yang mau menyusukan(nya) sebelum itu; maka berkatalah Saudara Musa: 'Maukahkamu aku tunjukkan kepadamu 'ahlulbait' yang akan memeliharanya untukmu, dan mereka dapat berlaku baik kepadanya?

Ayat ini jika dikaitkan dengan ayat sebelumnya, maka makna 'ahlulbait' adalah meliputi Ibu kandung Nabi Musa As. atau ya Saudara kandung Nabi Musa As.

3. QS. 33:33: "...Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu 'ahlulbait' dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya".

Ayat ini jika dikaitkan dengan ayat sebelumnya QS. 33: 28, 30 dan 32, maka makna para ahlulbait adalah para isteri Nabi Muhammad SAW.

Sedangkan ditinjau dari sesudah ayat 33 yakni QS. 33:34, 37 dan 40 maka penggambaran ahlulbaitnya mencakup keluarga besar Nabi Muhammad SAW. para isteri dan anak-anak beliau.

Jika kita kaitkan dengan makna ketiga ayat di atas dan bukan hanya QS. 33:33, maka lingkup ahlul bait tersebut sifatnya menjadi universal terdiri dari:

1. Kedua orang tua Saidina Muhammad SAW, sayangnya kedua orang tua beliau ini disaat Saidina Muhammad SAW diangkat sbg 'nabi' dan rasul sudah meninggal terlebih dahulu.

2. Saudara kandung Saidina Muhammad SAW, tapi sayangnya saudara kandung beliau ini, tak ada karena beliau 'anak tunggal' dari Bapak Abdullah dengan Ibu Aminah.

3. Isteri-isteri beliau.

4. Anak-anak beliau baik perempuan maupun laki-laki. Khusus anak lelaki beliau yang berhak menurunkan 'nasab'-nya, sayangnya tak ada yang hidup sampai anaknya dewasa, sehingga anak lelakinya tak meninggalkan keturunan.

Bagaimana tentang pewaris tahta 'ahlul bait' dari Bunda Fatimah?. Ya jika merujuk pada QS. 33:4-5, jelas bahwa Islam tidaklah mengambil garis nasab dari perempuan kecuali bagi Nabi Isa Al Masih yakni bin Maryam.

Lalu, apakah anak-anak Bunda Fatimah dengan Saidina Ali boleh kita anggap bernasabkan kepada nasabnya Bunda Fatimah?. ya jika merujuk pada Al Quran maka anak Bunda Fatimah dengan Saidina Ali tidaklah bisa mewariskan nasab Saidina Muhammad SAW.

Kalaupun kita paksakan, bahwa anak Bunda Fatimah juga ahlul bait, karena kita mau mengambil garis dari perempuannya (Bunda Fatimah), maka untuk selanjutnya yang seharusnya pemegang waris tahta ahlul bait diambil dari anak perempuannya seperti Fatimah dan juga Zainab, bukan Hasan dan Husein sbg penerima warisnya.

Dengan demikian sistim nasab yang diterapkan itu tidan sistim nasab berzigzag, setelah nasab perempuan lalu lari atau kembali lagi ke nasab laki-laki, ya seharusnya diambil dari nasab perempuan seterusnya.

Bagaimana Saidina Ali bin Abi Thalib, anak paman Saidina Muhammad SAW, ya jika merujuk pada ayat-ayat ahlul bait pastilah beliau bukan termasuk kelompok ahlul bait. Jadi, anak Saidina Ali bin Abi Thalib baik anak lelakinya mapun perempuan, otomatis tidaklah dapat mewarisi tahta 'ahlul bait'.