Sunday 12 January 2020

Akurasi Rudal-Rudal Iran Gentarkan Amerika

Indonesian Free Press -- Hanya beberapa jam sebelum Iran melancarkan serangan rudal terhadap dua pangkalan militer Amerika di Irak Presiden Donald Trump sesumbar akan menyerang 52 sasaran penting di Iran jika berani menyerang Amerika sebagai balasan atas pembunuhan Jendral Soleimani. Namun setelah Iran melakukan serangan Donald Trump berubah sikap dan tidak mewujudkan ancamannya.

Sejumlah alalisa menyebutkan tentang sikap Trump ini, namun analisa ini mungkin yang paling tepat: Amerika gentar oleh akurasi rudal-rudal Iran.


Banyak analis yang menyimpulkan bahwa Iran sengaja menghindarkan jatuhnya korban jiwa yang besar atas serangan rudalnya ke pangkalan militer Amerika. Ini dipastikan dengan kabar tentang rencana serangan yang diberitahukan Iran dua jam sebelumnya melalui pemerintah Irak yang meneruskannya kepada otoritas Amerika sehingga memberi waktu personil militer Amerika untuk bersembunyi di bunker. Sementara itu dengan jatuhnya rudal-rudal Iran tepat di dalam kompleks pangkalan Amerika tidak membuat pangkalan tersebut hancur lebur, mengindikasikan Iran tidak mengisi rudal-rudal itu dengan hulu ledak yang besar. Namun di sinilah point pentingnya. Iran sengaja memberi pesan kepada Amerika bahwa jika mau Iran bisa menghancurkan pangkalan-pangkalan militer dan sarana-sarana vital Amerika dan sekutu-sekutunya di kawasan.

Scott Ritter, mantan perwira inteligen Amerika menuliskan analisis menarik di Veterans Today, 9 Januari lalu: "Serangan balasan Iran seperti yang sudah diduga atas kematian Jendral Qassem Suleimani memberikan pesan yang jelas bahwa Iran siap untuk membalas setiap provokasi Amerika."

Sikap Iran yang menghindari konflik terbuka dengan Amerika ditunjukkan dengan jelas dengan pernyataan Menlu Iran, beberapa jam setelah Iran menembakkan 22 rudal ballistik ke pangkalan Amerika: “Kami tidak ingin membuat eskalasi perang, namun kami akan mempertahankan diri dari setiap agresi," tulis Javad Zarif di akun resmi Twitter-nya. 

Zarif menyebut serangan Iran sebagai 'aksi bela diri yang proporsional sesuai Article 51 Piagam PBB.'

Scott Ritter menambahkan: "Aspek terpenting dari aksi Iran adalah bagaimana rudal-rudal itu mengenai sasarannya. Selama beberapa tahun terakhir Iran telah membuat kemajuan besar dalam hal jangkauan dan akurasi rudal-rudal ballistiknya. Berlalulah sudah era dimana persenjataan Iran hanyalah rudal-rudal lama buatan Sovyet yang tidak akurat, SCUD."

Ritter menyebut rudal-rudal Iran yang ditembakkan, Qaim 1 dan Fahad 110 memiliki sistem kendali yang mampu menuntun rudal ke titik sasaran dengan tepat. Iran telah menggunakan rudal-rudal ini untuk menghancurkan sasaran milik kelompok teroris di Suriah namun inilah pertama kalinya rudal-rudal itu digunakan terhadap Amerika.

"Dari perspektif Amerika, dampaknya sangat mengejutkan. Dengan jumlah korban yang minimal Iran sebenarnya telah menunjukkan tingkat keakurasian rudal-rudal ballistiknya," tulis Ritter.

Dari gambar satelit yang beredar di dunia maya tampak rudal-rudal Iran telah menghancurkan bangunan-bangunan yang berisi perlengkapan militer penting dengan tingkat keakurasian setara dengan rudal-rudal modern buatan Amerika, NATO, Russia dan China. Iran menembakkan 17 rudal  ke pangkalan Al Asad di Iran barat dan 5 rudal ke pangkalan lebih kecil di Erbil, wilayah Kurdistan-Irak. Dari 17 rudal yang ditembakkan ke Al Asad 15 mengenai sasaran dengan tepat dan 2 rudal lainnya jatuh sebelum mengenai sasaran, kemungkinan rudal decoy (pengalih perhatian atau rudal tipuan).

Pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei, usai serangan Iran berpidato di hadapan publik bahwa Iran hanya memberikan sebuah tamparan kepada Amerika dan siap untuk memberikan pukulan yang lebih mematikan. Namun tujuan lebih penting Iran saat ini adalah mengusir pasukan Amerika dari Irak dan kawasan. Hal yang tentu sangat ditentang Amerika karena berarti bencana bagi keamanan misinya di Suriah.


Amerika Kini Penjajah Irak
Sementara itu Amerika secara resmi telah berstatus sebagai negara 'penjajah' Irak setelah pemerintah dan parlemen Irak menyatakan penolakan atas kehadiran pasukan Amerika di negara mereka sebagai buntut atas aksi-aksi barbar Amerika. 

Menyusul resolusi parlemen Irak tanggal 5 Januari lalu yang menuntut penarikan pasukan Amerika, Perdana Menteri Adel Abdul-Mahdi pada Kamis malam (9 Jan) meminta Amerika untuk membicarakan penarikan pasukan Amerika setelah menyebut aksi Amerika membunuh Qassem Soleimani sebagai tindakan yang tidak bisa diterima karena telah mengobok-obok kedaulatan Irak. Aksi itu juga bertentangan dengan kesepakatan kedua negara tentang kehadiran Amerika untuk melawan terorisme. 

Dalam percakapan telepon dengan Menlu Amerika Mike Pompeo hari itu Abdul-Mahdi meminta Amerika untuk 'mengirim delegasi ke Irak untuk menyusun mekanisme penarikan pasukan Amerika'. 

Namun, seperti diduga, Amerika menolak tuntutan itu. Dephan Amerika, hari Jumat (10 Jan) mengatakan kedua negara seharusnya berbicara tentang 'komitmen kerjasama yang lebih erat'.

Penolakan ini konon membuat Abdul Mahdi sangat marah dan bersumpah akan mengusir pasukan Amerika, hidup atau mati. Dalam upayanya itu Mahdi telah menghubungi Rusia dan Cina untuk mendapatkan sistem pertahanan udara baru untuk menghadapi Amerika. Dalam pengakuannya di hadapan Parlemen, Ahad (5 Jan), Mahdi mengatakan:

"Iraq kini tengah bernegosiasi dengan Russia untuk mendapatkan senjata S-300. Irak membutuhkan senjata ini karena Amerika harus pergi. Pilihan satu-satunya bagi para prajurit Amerika itu adalah pergi horizontal atau pergi vertikal, hidup atau mati."(ca)

1 comment:

Kasamago said...

Amerika sebaiknya fokus menghadapi China..