Wednesday 15 January 2020

Ulama Irak Serukan Demo Akbar untuk Usir Amerika

Indonesian Free Press -- Ulama dan politisi kharismatik Irak Muqtada al Sadr menyerukan digelarnya aksi demonstrasi sejuta orang untuk mengusir pasukan Amerika di Irak. Setelah tuntutan parlemen dan pemerintah Irak, hal ini adalah ancaman serius bagi keberadaan Amerika di Irak dan bahkan kawasan.

Seperti dilaporkan Press TV, 15 Januari, seruan ini disampaikan Muqtada al-Sadr melalui akun Twitter, Selasa (14 Jan): "Aksi ini diperlukan untuk mengutuk keberadaan Amerika dan pelanggaran-pelanggaran mereka," tulis pemimpin faksi-Sairoon yang menguasai mayoritas kursi parlemen ini.

“Langit, darat dan kedaulatan Irak dilanggar setiap hari oleh pasukan pendudukan (Amerika)," tulisnya lagi seraya menambahkan bahwa aksi harus berlangsung dengan damai dan bersatu. Namun ia tidak menyebutkan waktu dan tempat dilangsungkannya demonstrasi.


Al-Sadr adalah ulama yang sangat anti pendudukan asing atas Irak. Antara tahun 2006 dan 2008 ia dan pendukungnya terlibat konflik bersenjata hebat dengan pasukan pendudukan Amerika dan Inggris sehingga memaksanya harus menyelamatkan diri ke Iran. Hanya berselang beberapa jam setelah pembunuhan Jendral Soleimani dan komandan milisi Irak awal bulan ini, Al Sadr menyerukan pendukungnya untuk memobilisasi diri guna menghadapi konflik dengan Amerika.

Pada 5 Januari lalu parlemen Irak mengeluarkan resolusi untuk mengusir pasukan Amerika di Irak yang saat ini berjumlah sekitar 5.000 orang. Disusul kemudian dengan permintaan Perdana Menteri Adel Abdul-Mahdi kepada Amerika untuk membicarakan penarikan pasukan Amerika. Namun Amerika dengan tegas menolak tuntutan tersebut. Amerika mengancam akan memberikan sanksi kepada Irak jika tetap mengusir Amerika, salah satunya dengan membekukan asset-asset Irak dan luar negeri yang mencapai puluhan miliar dollar.

Sebelumnya melalui surat kepada pemerintah setelah keluarnya resolusi parlemen, Al-Sadr mendesak dibatalkannya perjanjian antara Irak-Amerika tentang kerjasama keamanan yang menjadi dasar keberadaan pasukan Amerika. Ia juga meminta pemerintah untuk menutup Kedubes Amerika di Baghdad dan mengusir pasukan Amerika 'dengan cara yang memalukan'.

Dalam pengakuan kepada para anggota parlemen tanggal 5 Januari lalu, Perdana Menteri Abdul Mahdi, yang menolak bertemu Presiden Amerika Donald Trump dan Wapres Pence saat keduanya berkunjung ke Irak beberapa waktu lalu, mengaku mendapat ancaman pembunuhan oleh Presiden Trump karena menolak bekerjasama dengan Amerika dalam program pembangunan Irak paska perang dan lebih memilih Cina. Mahdi juga menyebutkan bahwa Amerika mengerahkan pasukan penembak jitu (sniper) yang diduga kuat telah menembaki demonstrasn di Badhdad. 

Untuk mengusir Amerika Abdul Mahdi dikabarkan tengah bernegosiasi dengan Rusia untuk membeli senjata pertahanan udara S-400.(ca)

No comments: