Sunday 5 January 2020

Parlemen Iraq Teken RUU Pengusiran AS

Indonesian Free Press -- Sejumlah besar anggota Parlemen Irak hari Ahad (4 Jan) secara bulat menyerukan penarikan pasukan AS sebagai respon atas pembunuhan Jendral Suleimani.

Seperti dilaporkan Press TV sebanyak 170 anggota parlemen Iraq menyetujui RUU pengusiran pasukana AS untuk disepakati oleh pemerintah sebelum menjadi UU.

"Sebanyak 170 anggota perlemen Iraq menandatangani RUU yang meminta penarikan pasukan AS dari Irak menyusul pembunuhan wakil komandan milisi Popular Mobilization Units (PMU), Abu Mahdi al-Muhandis, dan Letnan Jendral Qassem Soleimani, komandan Quds Force Islamic Revolution Guards Corps (IRGC)," tulis laporan itu.

 
Para anggota parlemen menyebut pasal 59 dan 109 Konstitusi dan tugas dan tanggungjwab mereka untuk menjaga keamanan dan kedaulatan negara menyetujui RUU yang berisi empat, tiga diantaranya adalah: Pertama, pemerintah harus mencabut surat permintaan kehadiran pasukan AS dengan tujuan untuk memerangi teroris ISIS. Kedua pemerintah harus mengumumkan jumlah penasihat militer asing yang dibutuhkan bersama dengan lokasi, kewajiban dan jangka waktu keberadaan mereka. Ketiga, pemerintah harus mengajukan tuntutan ke DK PBB atas pelanggaran kedaulatan Irak oleh AS. Dan terakhir, RUU ini

RUU ini kemudian masih membutuhkan persetujuan pemerintah untuk melaksanakannya. Namun dengan mayoritas faksi politik yang menghendaki tidak ada jalan lain bagi pemerintah untuk melaksanakannya.

Sehari sebelumnya Hadi al-Ameri, pemimpin faksi Fatah Alliance yang memiliki suara signifikan di parlemen Irak, mengatakan bahwa pasukan AS akan diusir dari Irak setelah aksi 'keji dan pengecut' mereka di Irak.

“Kita akan mengalahkan AS dan mengusirnya, sama seperti kita mengalahkan dan mengusir ISIS. Kita akan mengusir AS di hadapan seluruh mata warga Irak saat mereka merasa frustrasi dan malu,” kata Ameri yang juga sekretaris jendral partai Badr Organization.

“Kita akan terus berjuang (untuk mengusir AS). Kita tidak memiliki pilihan kecuali membela kedaulatan Iraq,” tambahnya.

Badr Organization didirikan dan dipimpin oleh Muqtada al Sadr, ulama Shiah yang masih muda namun berkharismatik Irak. Ia sebenarnya menentang dominasi politik Iran di Irak, sebagaimana ulama paling berpengaruh di Irak, Grand Ayatollah Sistani. Namun, paska pembunuhan Jendral Suleimani keduanya menyatakan dukungannya kepada Iran dan memuji Suleimani atas jasa-jasanya mengusir teroris ISIS dari Irak. A-Sadr bahkan memerintahkan sayap militernya, Badr Army, untuk bersiaga menghadapi AS.

Pada bulan Agustus lalu Fatah Alliance menyerukan penarikan pasukan AS di Irak setelah terjadi serangan udara terhadap milisi Hashd al-Sha’abi yang diduga dilakukan AS. Namun AS menyebut Israel sebagai pelaku serangan.




Muqtada al Sadr sendiri menganggap langkah parlemen ini masih terlalu lemah.


"Saya menganggap keputusan ini terlalu lemah, kurang cukup keras untuk pelanggaran kedaulatan Irak oleh AS serta meningkatnya ketegangan di kawasan," kata Al Sadr melalui surat yang dibacakan anggota parlemen dari faksinya seperti dilaporkan media Jerman, DW.

Setelah invasi ilegal AS dan Inggris tahun 2003, pasukan terakhir AS pergi dari Irak tahun 2011. Namun setelah serangan ISIS tahun 2014, pasukan AS kembali ke Irak atas 'persetujuan' pemerintah Irak dengan dalih mengusir ISIS. Pada masa-masa awal kampanye anti-ISIS ini pasukan AS sempat bekerjasama secara diam-diam dengan pasukan Iran yang juga datang ke Irak atas undangan pemerintah Irak.(ca)

No comments: