Aksi Rob Macaire mengingatkan pada aksi yang sama oleh Victoria Nuland, pejabat tinggi Kemenlu Amerika, yang terlibat dalam aksi demonstrasi di Lapangan Maidan, Ukraina tahun 2014, yang berakhir pada tumbangnya pemerintahan Victor Yanukovich yang dianggap pro-Rusia untuk digantikan pemerintahan baru yang pro-Amerika/Barat.
Namun ada hal lainnya lagi yang lebih mengingatkan kita pada Revolusi Maidan dari krisis politik yang kini melanda Iran dan Irak saat ini, yaitu keberadaan penembak misterius yang memicu kerusuhan lebih keras dengan aksi biadabnya menembaki para demonstran dan aparat keamanan.
Seperti dilaporkan media Iran dan Rusia serta media-media independen seperti Veterans Today, namun tentu saja diabaikan oleh media-media 'arus utama', Perdana Menteri Irak Abdul-Mahdi di hadapan anggota Parlemen Irak, tanggal 5 Januari lalu mengungkapkan bahwa Amerika mengerahkan penembak-penembak jitu di ibukota Baghdad untuk memicu kerusuhan yang berujung pada tumbangnya pemerintahan Irak. Hal itu diungkapkan Mahdi setelah terjadinya krisis politik serius antara Amerika dan Irak paska pembunuhan Jendral Soleimani dan komandan milisi Irak pro-Iran dua hari sebelumnya.
Dalam pengakuannya kepada anggota parlemen, sebelum parlemen mengeluarkan resolusi untuk mengusir pasukan Amerika di Irak, Mahdi mengungkapkan hubungan yang panas antara pemerintahannya dengan Amerika, jauh sebelum pembunuhan Jendral Soleimani. Abdul-Mehdi dengan nada marah mengungkapkan bagaimana Amerika mencoba untuk memeras Irak dengan menolak meneruskan pembangunan infrastruktur Irak yang hancur, sebagaimana janji Amerika, kecuali Irak menyerahkan 50% pendapatan minyaknya untuk Amerika.
Marah oleh sikap Amerika, Mahdi pun memalingkan perhatiannya ke Cina untuk membangun Irak. Pada bulan September 2019 lalu ia meminpin 55 anggota delegasi ekonomi ke Cina dalam apa yang disebutnya sebagai “quantum leap”. Dalam kunjungan selama 5 hari itu Mahdi menandatangani MoU dengan pemerintah Cina yang berisi delapan point kesepakatan mencakup pinjaman hingga persetujuan Irak untuk bergabung dalam proyek 'Belt and Road Initiative (BRI) Cina.
Namun, sejak itulah terjadi aksi demonstsrasi besar-besaran di kota-kota besar Irak yang memakan jiwa ratusan orang dan ribuan lainnya terluka.
Seperti ditulis wartawan Italia Federico Pieraccini di Middle East Institute:
“Sejak tahun 2018, pemerintah pusat Iraq bekerja keras untuk membangun kembali Irak yang tiga tahun sebelumnya diduduki kelompok ISIS hingga 1/3 wilayah Irak. Hubungan kerjasama antara pemerintah Irak dan pemerintahan otonom Kurdistan Regional Government (KRG) juga sudah ditegakkan. Dan setelah tertunda beberapa kali oleh insiden keamanan pintu perlintasan Qaim yang menghubungkan wilayah Suriah sudah dibuka kembali. Pemerintaha juga sudah merencanakan pembangunan pipa minyak baru antara Kirkuk dan Turki."
Pada bulan Juli 2019 Mahdi juga berhasil dengan mulus mengintegrasikan milisi-milisi Popular Mobilization Units (PMU) yang telah berjasa mengusir ISIS ke dalam angkatan bersenjata Irak.
Setelah kepulangan Mahdi dari Cina tanggal 19 September 2019 Presiden Amerika Donald Trump meneleponnya dan memintanya untuk membatalkan kerjasama dengan Cina, namun ditolak Mahdi. Donald Trump pun mengancamnya untuk membuat aksi-aksi kerusuhan, yang benar-benar diwujudkannya. Tidak berhenti sampai di sini, Trump kemudian mengancam akan mengerahkan penembak-penembak jitu untuk memicu huru-hara. Tidak berhenti sampai di sini, ketika Mahdi dan menteri pertahanannya mengungkapkan ancaman Trump ini, khususnya terkait dengan penembak-penembak jitu, Trump mengancam akan membunuh mereka berdua.
Hal ini menyimpulkan bahwa sniper-sniper Amerika terlibat dalam aksi penembakan terhadap para demonstran di Irak sehingga jumlahnya mencapai ratusan orang meninggal dan ribuan orang terluka. Hal yang sama terjadi dalam aksi-aksi kerusuhan di Ukraina, seperti halnya di Libya, Suriah dan Mesir di masa-masa permulaan gerakan Arab Springs beberapa tahun lalu.
Ditambah dengan penarikan dukungan dari Ayatollah Sistani terhadapnya, Mahdi pun mengundurkan diri dari jabatannya, meski sampai terpilihnya perdana menteri devinitif ia masih menjabat sebagai 'caretaker'.
Dan inilah pengakuan Mahdi di hadapan parlemen tanggal 5 Januari lalu seperti dikutip Middle East Institute:
“This is why I visited China and signed an important agreement with them to undertake the construction instead. Upon my return, Trump called me to ask me to reject this agreement. When I refused, he threatened to unleash huge demonstrations against me that would end my premiership. Huge demonstrations against me duly materialized and Trump called again to threaten that if I did not comply with his demands, then he would have Marine snipers on tall buildings target protesters and security personnel alike in order to pressure me.
I refused again and handed in my resignation. To this day the Americans insist on us rescinding our deal with the Chinese.
After this, when our Minister of Defense publicly stated that a third party was targeting both protestors and security personnel alike (just as Trump had threatened, he would do),
I received a new call from Trump threatening to kill both me and the Minister of Defense if we kept on talking about this “third party”.
Pada saat yang bersamaan Mahdi juga menjadi mediator antara Iran dan Saudi untuk meredakan ketegangan kawasan. Dan pada hari pembunuhan Jendral Soleimani Mahdi telah dijadwalkan untuk bertemu Soleimani yang membawa pesan dari pemimpin Iran untuk Saudi. Namun sebelum pertemuan itu, Soleimani syahid setelah diserang drone-drone Amerika.(ca)
No comments:
Post a Comment