Thursday, 23 January 2020

Harun Masiku Diframing Jadi Penjahat


Oleh: Djoko Edhi Abdurrahman
Advokat, Anggota Komisi III DPR (periode 2004 - 2009), Wasek LPBH PBNU.


Harun Masiku diburu dan diframing sebagai penjahat besar penyuap Komisioner KPU, Wahyu Setiawan yang, tertangkap tangan OTT KPK. Itu yang tak benar.
Duit suap itu sendiri ditangkap Petugas KPK dari tangan Syaiful Bahri, yang mengaku bahwa duit tersebut ia peroleh dari Sekjen DPP PDIP Hasto Kristanto. Ini materi hukum pertama: Hasto memberikan duit Rp 400 juta kepada Syaiful Bahri untuk disampaikan kepada Wahyu Setiawan. Syaiful Bahri adalah pembantu Hasto.
Materi hukum kedua: Syaiful Bahri ditangkap Petugas KPK beserta barang bukti Rp 400 juta tadi. Jadilah kasus korupsi dalam kategori suap.
Materi hukum ketiga: dalam pada itu, Petugas KPK hendak menangkap Hasto yang bersembunyi di PTIK. Polisi di PTIK kemudian menangkap Petugas KPK ini, dan menahannya, dengan alasan dicurigai pemain Narkoba. Petugas itu lalu dites urin, ditahan, dan dilepas subuh hari. Hasto lolos!

Materi hukum keempat: dalam pada itu, Petugas KPK mendatangi kantor DPP PDIP di bilangan Megaria Jakarta untuk memasang KPK Line, yaitu tempat barang bukti (circumtances evidence), yakni kantornya Hasto. Petugas tak dapat masuk, dihalangi banyak orang. KPK line gagal dipasang. TKP pemasangan KPK Line itu menunjukkan Hasto adalah pelaku kejahatan. Hasto lolos.
Materi hukum kelima: dua hari sebelumnya, menurut Firli Bahuri, Ketua KPK, Harun telah berangkat ke Singapore. Jadi, Harun tidak terlibat langsung dengan peristiwa penyuapan itu karena ia tidak berada di TKP. (Ini mengabaikan hasil ivestigasi Tempo yang menemukan bukti bahwa Harun Masiku terlihat di Bandara Soetta pada waktu kejadian tempus delicti penyuapan itu). Harun lolos.
Materi hukum keenam: Megawati selaku Ketum PDIP dan Hasto selaku Sekjen PDIP telah mengusahakan agar Harun Masiku bisa menggantikan Nazarudin Kiemas yang meninggal dunia. Antara lain mengajukan permohonan ke Mahkamah Agung dan ke KPU. Bisa, kata putusan Mahkamah Agung, cuma tak bisa dieksekusi oleh KPU hingga penetapan aleg Rieszky Aprilia. Maka diajukan permohonan PAW ke KPU karena sudah diisi Apriliya. Nah, sampai di sini, bisa dilakukan PAW oleh KPU dan yang ditugasi KPU adalah Wahyu Setiawan. Biayanya Rp 900 juta yang ketahuan. Tentu saja ada alokasi bagi semua komisaris. Sebagian, Rp 400 juta sudah diserahkan oleh Syaiful Bahri kepada Wahyu Setiawan. Sialnya tertangkap KPK. Maka Megawati dan Hasto pelaku utama. Sebab, Syaiful Bahri hanya kurir, pengantar uang ke Wahyu Setiawan. Ia orang kecil, tidak punya kekuasaan.
Materi hukum ketujuh: Perolehan suara Harun Masaku di Pemilu lalu adalah nomor 5. Akan di PAW menjadi nomor 2 yang sudah dihuni aleg Riezki AprilIa yang, menggantikan Nazarudin Kiemas. Dream Team 1: Harun Masiku menjadi tema berkat perjuangan Megawati dan Hasto. Jadi, yang menghendaki Harun Masiku jadi aleg adalah Megawati. Tidak main-main, fatwanya Ketum sama saktinya dengan Don Corleone.
Materi hukum kedelapan: menaikkan nomor 5 menjadi nomor 2, jelas melanggar subtansi UU Pemilu, UU Susduk (MD3), fatsun demokrasi, men's rhea dan korupsi. Dari sini dimulainya modus vivendi dan modus operandi men's rhea itu. Empat orang pelakunya: Megawati, Hasto, Laoly, dan Harun. Nah kalau Harun terlibat di tahap ini, sebagai apa? Pemodal? Artinya duit mengalir dari Harun ke Megawati, Hasto, dan Laoly. Sungguh kaya raya si Harun. Megawati itu kelas triliun. Yang menarik adalah lapis hukumnya. Korupsi wajib ada unsur melawan hukum, dan unsur kejahatan penyertaan deelneming. Sebab kalau sendirian, namanya maling. Bukan white collar crime.
Pertanyaan menarik: dengan cara apa Dream Team 2 (yang dipimpin Teguh Samudra) melepaskan Megawati dari jerat hukum? Opsi satu, memasang Harun sebagai tumbal. Bisa? Tak bisa. Walau menggunakan kekuasaan hiper, tetap saja dibutuhkan reason hukum yang nalar. Harun sebagai bohir penyuap? Berapa T? Masalahnya, Harun tak sekaya itu, ia cuma lawyer. Beda andai ia Hotman Paris!
Terus surat menyurat yang ditandatangani Mega Hasto, harus dihapus. Tak bisa. Tak ada hubungannya dengan Harun karena surat menyurat itu atas nama kekuasaan. Harun tak punya kekuasaan.
Satu-satunya cara, opsi dua: praperadilan, eksepsi: OTT itu tidak sah. Surat OTT itu berasal dari UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK, tapi telah digunakan untuk OTT UU No 19 tahun 2019 tentang KPK. Retroaktif.
Congrats. Selamatlah Megawati, Hasto, Laoly, dan Harun. Tapi betkat itu, kian kuat Jokowi menekan Megawati. Kasus by kasus di kubu Nasgor, bertambah terus, dan memberi vitamiin kepada Jokowi. Soalnya, masalah negara ini, adalah Jokowi!

No comments: