Sunday 8 March 2009

Freedom in the Air


Rakyat Inggris tidak akan pernah menjadi budak dan selamanya menjadi manusia merdeka, demikian bunyi lagu yang dinyanyikan The Sex Pistols. Demikian merdekanya rakyat Inggris sehingga Sex Pistols tanpa takut menyanyi, "ratu Inggris fasis dan bukan manusia." Demikian merdekanya sehingga ratu Inggris hanya tersenyum mendengar sindiran itu, bahkan mengundang Sex Pistols ke istana.

Di waktu lain, Rowan Laxton, seorang pejabat deplu Inggris, mengeluhkan kekejian Israel atas penduduk Palestina di Gaza, dalam sebuah tempat pelatihan kebugaran (gymnasium). "Oh Yahudi yang keji," katanya saat menyaksikan pembantaian Gaza di televisi. Atas keluhan itu ia langsung ditangkap dengan tuduhan memicu kebencian agama. Ia kini bersiap-siap menghadapi hukuman penjara selama tujuh tahun setelah dipecat dari pekerjaannya.

Meski tidak satu pun pemimpin tertinggi Israel (Peres, Olmert, Barak dan Livni) adalah orang-orang religius. Multi intepretasi mengenai Yahudi (kelas sosial, ras, agama, negara, bangsa) digunakan untuk melindungi entitas satu ini dari semua penjuru.

Orang-orang "sayap kanan" marah dengan penangkapan itu. Namun orang-orang "sayap kiri", kaum sosialis, komunis dan sejenisnya, mendukung penangkapan seraya menuduh Laxton "rasis". Bahkan ekspresi kejengkelannya terhadap Israel diartikan sebagai "keinginan membunuh semua remaja Israel".

Hukum kebencian agama adalah sangat ganjil. Sementara Yahudi membantai kaum muslim dan kristen, menghancurkan masjid dan gereja, hukum tersebut mandul. Namun jika Anda mengkritik Israel atau Yahudi, tiba-tiba saja hukum itu menjadi begitu garang.

Belum lama ini sebuah gereja dirusak oleh orang-orang Yahudi di Migdal ha-Emek, Rusia. Sebuah koran memberitakan kejahatan ini. Organisasi Yahudi Rusia menuntut koran tersebut dengan tuduhan mengobarkan kebencian agama. Tuntutan tersebut ditolak oleh kejaksaan Rusia, namun kemudian menjadi pelajaran bagi semua media massa Rusia: jangan "menyentuh" Yahudi.

Laxton kehilangan jabatannya karena bosnya, menlu David Milliband, seorang Yahudi, tidak berhati lapang sebagaimana ratu Inggris. Jika saja ia mengungkapkan kritikan yang lebih keras seperti: "Yahudi bukan manusia" sebagaimana Sex Pistols menghina ratu, ia mungkin akan dikirim ke Guantanamo.

Peristiwa yang menimpa Laxton menyadarkan rakyat Inggris bahwa Inggris, bangsa yang secara tradisi menghargai kebebasan menyampaikan pendapat, kini telah berubah menjadi negara fasis tiran. Mereka bahkan tidak bisa lagi mengekspresikan kemarahan di sebuah gymnasium.

Tragedi Gaza baru-baru ini telah menunjukkan sebuah tragedi kemanusiaan yang sangat nyata. Orang-orang dengan gamblang menyaksikan Israel membantai rakyat Palestina di siang bolong sehingga membuat tabu tentang kekebalan hukum orang-orang Yahudi terpatahkan. Ribuan rakyat Inggris tumpah ke jalan-jalan memprotes kekejian Israel.

Memang tidak semua Yahudi membantai Palestina. Demikian juga tidak semua orang Jerman membantai Yahudi. Namun semua orang Jerman, hingga kini, masih menanggung cap sebagai pembunuh Yahudi dan harus menyisihkan jutaan dolar kompensasi setiap tahun kepada Israel atas apa yang dilakukan nenek moyangnya.

Koran-koran Yahudi tidak keberatan sedikit pun untuk menulis: "Orang-orang Norwegia menangkap dan merampok orang-orang Yahudi sebelum mengirimkannya ke kamp-kamp konsentrasi Jerman." Dan tidak ada orang Norwegia yang memprotes: "Apa, semua orang Norwegia?"

Seorang tokoh Yahudi menulis: "orang-orang Palestina terobessi dengan "keinginan hidup menderita" yang diajarkan Islam" untuk menjustifikasi perlakuan Yahudi yang keji sehari-hari kepada mereka. Yah, semua orang Palestina dianggap menderita sakit jiwa setelah penderitaan yang mereka tanggung oleh pembantaian Yahudi.

Orang-orang Amerika secara rutin menyaksikan, para pengemplang pajak Amerika tinggal aman dengan uang curiannya di Swiss. Namun tidak ada satupun undang-undang kebencian anti-Swiss yang diundangkan. Ketika orang-orang Perancis melecehkan Amerika karena aksi-aksi perang yang dilakukannya di Afghanistan dan Irak, tidak satu pun orang Perancis yang ditangkap.

Jika saja Laxton berteriak keras: "Fuck America", tidak ada seorang pun yang keberatan kepadanya, bahkan orang Amerika sekali pun. Hal yang sama berlaku untuk bangsa-bangsa lain. Namun tidak demikian halnya dengan Yahudi, orang-orang yang merasa diri sebagai "bangsa pilihan" yang diistimewakan Tuhan.

Namun tatkala mereka menyiramkan ribuan kilo bom posporus di rumah-rumah, sekolah dan jalanan Gaza, menjatuhkan semua senjata pemusnah massal yang dikenal dunia modern sembari memblokade semua perbatasan Gaza untuk membuat rakyat Palestina mati kelaparan, keistimawaan itu runtuh bak rumah kartu.

Saat ini kebencian rakyat Eropa dan Amerika terhadap Yahudi telah mencapai titik paling tinggi. Mereka marah karena selain menyaksikan kekejian Yahudi di Gaza, dalam waktu bersamaan juga menyaksikan pencurian besar-besaran orang-orang Yahudi atas kekayaan mereka (kasus Madoff dan pemberian talangan dengan uang rakyat kepada para pencuri di bisnis keuangan).

Perdana Menteri Turki disambut bak pahlawan perang setelah berani mendamprat Yahudi dalam pertemuan Davos. Ribuan orang Arab tumpah ke jalanan memuji-muji dirinya. Hal serupa akan dialami para pemimpin dunia manapun, kecuali Israel, jika berani mematahkan tabu "keistimewaan bangsa Yahudi". Tidak terkecuali Barack Obama.

Yahudi tidak tahu kapan harus berhenti, setelah impian lama para "Learned Elders of Zion" terelasisasi dengan dunia dalam genggaman. Setelah berada di puncak, tidak ada lagi sesuatu yang dapat diraih, kecuali jatuh ke jurang. Tidak ada apaun di udara kecuali kebebasan.

Pemilu bisa dimenangkan, kemasyuran dapat diraih, masalah-masalah dapat dipecahkan. Bahkan rakyat masih dapat menahan beban krisis ekonomi seberat apapun. Rakyat Inggris membutuhkan orang seperti Laxton sebagai Perdana Menteri, orang yang bangkit kemarahannya menyaksikan pembunuhan massal, berani menyampaikan pikirannya.


Sumber: "Freedom in the Air", Israel Shamir, truthseeker.co.uk, March 6, 2009

No comments: