Wednesday 18 March 2009

Tsunami Aceh, Buah Sebuah Konspirasi?


Sekitar setahun lalu saya bertemu dengan seorang teman lama, dosen sebuah institut teknik swasta terkenal di Medan. Singkat cerita, sang dosen mengumbar cerita tentang konspirasi Amerika "memeras" Indonesia dengan tujuan membuat bangsa Indonesia "pasrah bongkokan" (menyerah bulat-bulat) kepada Amerika. Di antara tanda-tanda konspirasi tersebut adalah kasus jatuhnya pesawat Adam Air di perairan Sulawesi Selatan. Satu lagi konspirasi yang dilakukan Amerika, demikian sang dosen bercerita, adalah peristiwa bencana tsunami yang melanda Aceh dan negara-negara Asia Selatan hingga Afrika, tanggal 26 Desember 2004 lalu. Menurutnya, peristiwa tersebut disebabkan oleh ledakan nuklir bawah laut yang dilakukan Amerika di perairan Lautan Hindia.

Mengingat tingkah laku sang dosen yang eksentrik, saya sama sekali tidak mempercayai teori yang "di luar jangkauan akal" saya. Untuk apa Amerika "memeras" Indonesia? Hal itu justru membuat bangsa Indonesia menjauh dari Amerika dan membuat Amerika rugi sendiri. Tanpa diperas pun, Amerika masih bisa mendiktekan semua kemauannya terhadap para pemimpin Indonesia.

Namun setelah melihat banyak fenomena paska bencana tsunami, terutama semakin besarnya pengaruh asing terhadap Aceh dan disertai tanda-tanda lepasnya Aceh dari NKRI sebagaimana direkomendasikan oleh RAND Corp (lembaga think thank swasta yang rekomendasinya menjadi dasar politik internasional Amerika), saya sadar bahwa teori ledakan nuklir tidak boleh dikesampingkan begitu saja. Apalagi setelah saya membaca sebuah artikel di situs truthseeker.co.uk berjudul "Did New York Orchestrate The Asian Tsunami?" karya Joe Vialls yang membuka banyak informasi baru yang tidak banyak diketahui orang yang mendukung teori tersebut.

Salah satu informasi tersebut adalah adanya dua armada AL Amerika yang tiba di Aceh segera setelah bencana dan sempat menguasai Banca Aceh dan beberapa kota di Aceh selama beberapa waktu sebelum bantuan dari para relawan tanah air dan mancanegara tiba. Pasukan Amerika itu masih ditambah lagi dengan sepasukan tempur Australia yang tiba di Aceh menggunakan empat pesawat angkut Hercules. Dan ironisnya, pada saat pasukan-pasukan asing itu merajalela di bumi Aceh, aparat keamanan Indonesia baik dari unsur kepolisian maupun TNI "menghilang" entah kemana. (Seorang kamerawan Australia berhasil mengabadikan para tentara marinir Amerika bersenjata lengkap tengah menyisir lokasi sebuah markas militer TNI yang hancur. Sebuah hak eksklusif TNI yang dilanggar).

Dua armada tempur Amerika tersebut masing-masing bertolak dari Hongkong dan Guam. Armada dari Hongkong dipimpin oleh kapal Induk nuklir Abraham Lincoln. Adapun armada dari Guam dipimpin oleh kapal induk amphibi USS Bonhomme Richard yang juga dikenal sebagai armada "Expeditionary Strike Group 5" yang mempunyai kekuatan tempur nuklir yang sanggup menghancurkan satu benua. Ironisnya kedua armada tempur tersebut selama setahun sebelumnya justru telah menghabiskan waktu untuk mempersiapkan misi kemanusiaan. Sebuah kebetulan yang sangat kecil probabilitasnya.

Namun yang lebih mengherankan mungkin adalah satuan tugas lintas udara Australia. Meski media massa Australia sampai tgl 27 Desember 2004 melaporkan bahwa kerusakan terparah terjadi di Sri Lanka (bersama Australia menjadi anggota persemakmuran), dua pesawat angkut Hercules terbang ke Malaysia. Dua pesawat lainnya stand by di Darwin, Australia Utara untuk berjaga-jaga. Dan pada saat bantuan dari lembaga-lembaga bantuan swasta Australia mengalir ke Sri Lanka, keempat pesawat tersebut terbang ke Medan karena bandara di Banda Aceh rusak parah. Selanjutnya satuan tugas bersenjata lengkap itu melanjutkan ke Banca Aceh dengan jalan darat.

Fenomena konspirasi tersebut dapat dilacak sejak detik pertama terjadinya bencana. Pada saat terjadi gempa di Laut Hindia pagi tgl 26 Desember 2004, ororitas geofisika Indonesia di Jakarta mencatat gempa berkekuatan 6,4 skala Richter dengan episentrum 155 mil sebelah selatan pantai Aceh. Namun secara tiba-tiba otoritas geofisika Amerika, NOAA, meralat episentrum gempa di sebelah barat laut Aceh dengan kekuatan 8 skala Richter. Kekuatan gempa pun berubah-ubah dari menjadi 8,5, 8,9 dan terakhir menjadi 9 skala Richter.

Adalah sebuah keanehan, sebuah lembaga geofisika besar seperti NOAA meralat ukuran sebuah gempa, apalagi sampai tiga kali. Selain keanehan kekuatan gempa, para seismografer Indonesia dan India juga heran dengan fenomena tidak adanya gempa-gempa kecil pembuka gempa puncak sebagaimana tidak adanya gempa susulan. Keanehan juga terjadi dengan tidak adanya resonansi (suara) gelombang elektromagnetik antara 0,5-12 Hertz yang biasanya mengawali sebuah gempa. Sekedar informasi sebelum terjadi gempa terdapat tegangan lapisan bawah tanah yang mengeluarkan resonansi gelombang elektromagnetik yang biasa menjadi sebuah peringatan bagi para seismograf.

Menciptakan tsunami dengan ledakan nuklir di bawah laut dikenal dengan istilah "sea burst", telah menjadi pemikiran para ahli militer terutama pada saat Perang Dingin antara NATO dan PAKTA WARSAWA tahun 1950-an hingga 1980-an. Cara ini dianggap efektif untuk menghancurkan infrastuktur dan kota-kota musuh yang berada di pinggir pantai untuk selanjutnya diduduki.

Adapun membuat "sea burst" untuk menghancurkan Aceh membawa konsekwensi yang menguntungkan bagi Amerika dan orang-orang yang "mengendalikannya di balik layar". Bencana ini membuka lebar-lebar invasi militer maupun budaya Amerika atas Aceh, negeri yang selama ratusan tahun dijuluki sebagai "Serambi Mekkah". Kini negeri ini dipimpin oleh orang-orang yang pernah mendeklarasikan kemerdekaan Aceh atas Indonesia untuk selangkah lagi menyusul Timor Timur lepas dari Indonesia melalui referendum yang "dirancang" dan "dilaksanakan" oleh "penguasa di balik layar" melalui tangan PBB.

Selain keuntungan politik, militer dan budaya, bencana tsunami Aceh juga membawa keuntungan ekonomi tiada tara bagi para bankir kapitalis Amerika. Membutuhkan dana besar untuk rehabilitasi, pemerintah menerima tawaran "bantuan bersayap" dari negara-negara donor berupa hutang luar negeri berbunga ganda yang harus dibayar dengan darah dan keringat jutaan rakyat Indonesia.

Satu keuntungan lagi, dengan satu ledakan saja dan tanpa harus melalui peperangan yang lama dan melelahkan, sebanyak 150.000 goyim muslim "berhasil" dibunuh dan ribuan sisanya menjadi orang-orang miskin yang tidak berdaya.

Belakangan hari teman saya yang dosen nyentrik tersebut terdengar menjadi aktivis di sebuah LSM asing. Dan terakhir ia ditangkap polisi karena menjadi motor penggerak satu aliran agama yang dipimpin oleh tukang becak yang mengaku menjadi nabi. Saya semakin menemukan kebenaran teori ledakan nuklir yang dikatakan teman saya itu. Bukankah sebagai "agen asing" ia mempunyai banyak informasi rahasia?

No comments: