Thursday 27 January 2011

Buih Makanan yang Mengancam Peradaban


“…humanity is just one crop season away from mass starvation.”


Bencana kelaparan adalah satu hal utama yang menyebabkan saya berfikir tentang teori konspirasi. Peradaban manusia telah berumur 10.000 tahun lebih dan makanan adalah masalah pokok yang membentuk peradaban. Selama itu akal dan pikiran manusia telah berkembang pesat sementara alam telah menyediakan segala yang dibutuhkan manusia untuk bertahan hidup. Sebutir padi bisa menumbuhkan ribuan butir turunannya dalam waktu tiga bulan saja dan teknologi manusia memungkinkan tanaman bisa tumbuh di gurun yang gersang sekalipun. Semua itu menyebabkan tidak ada alasan lagi bahwa manusia masih saja mengalami kelaparan, kecuali sebagian manusia sendiri yang memang dengan sengaja menciptakan bencana kelaparan demi keuntungan mereka.

Dalam konteks Indonesia akhir-akhir ini, kita juga melihat sebuah kejanggalan nyata yang mau tidak mau membuat kita berfikir tentang teori konspirasi. Bagaimana mungkin tidak pernah ada bencana alam atau kerusuhan sosial yang membuat produksi cabai dan padi anjlok sedemikian rupa, membuat harga cabai dan beras naik berkali lipat. Dan presiden SBY serta menteri perdagangan Marie Elka Pangestu, tanpa pernah menjelaskan fenomena tersebut, justru menganjurkan rakyat untuk menanam cabai. Dan setelah fenomena itu terus saja berlanjut, mereka "sembunyi" dari tanggungjawabnya menghentikan inflasi.

Telah cukup lama para ahli memperingatkan bahaya kelaparan massal global karena kesalahan kelola pangan. Namun baru beberapa tahun terakhir, setelah terbukti terjadi kelaparan massal di berbagai belahan dunia, peringatan itu menjadi sebuah kesadaran bagi sebagian orang.



Tipuan Biofuel dan Kelangkaan Pangan

Akhir-akhir ini berkembang sebuah skenario global yang sebenarnya sangat "bodoh": demi alasan lingkungan jutaan hektar lahan pertanian akan diubah menjadi lahan jagung untuk memproduksi ethanol, dan untuk proses panen dan produksinya diperlukan jutaan galon bbm yang dibakar.

Skenario tersebut tidak menghasilkan apapun, energi yang diproduksi dan energi yang dibakar, kecuali produksi pangan yang berkurang. Namun inilah yang tengah terjadi sekarang dan kita telah melihat akibatnya: penjatahan bahan makanan di toko-toko serta sebagian besar masyarakat yang harus hidup dari ransum makanan di Amerika, harga bahan makanan global yang melonjak beberapa kali lipat dalam beberapa tahun terakhir, kerusuhan-kerusuhan sosial politik yang terjadi karena kekurangan makanan di beberapa negara (terakhir di Tunisia), peringatan PBB bahwa jutaan rakyat di dunia terancam kelaparan karena tidak mampu membeli makanan, dan sebagainya.

Memang tidak semua program biofuels di dunia tidak berjalan seperti di atas. Di Brazil misalnya, program biofuels setempat berhasil meningkatkan produksi energi dengan perbandingan 8 kali lipat investasinya. Namun itu masih harus dibayar dengan kerusakan lingkungan yang serius karena proses pembuatan biofuel setempat memerlukan pembakaran jutaan hektar tanaman tebu yang melepaskan sejumlah besar karbon dioksida ke udara. Satu-satunya teknik produksi biofuel yang aman bagi lingkungan adalah dengan menggunakan mikro alga. Namun teknik ini baru berhasil di tingkat laboratorium.

Sumber-sumber daya alam untuk produksi pangan memiliki keterbatasan. Sepetak tanah, sinar matahari dan setimba air hanya bisa digunakan untuk menghasilkan sejumlah tertentu bahan makanan. Tidak bisa sekaligus menghasilkan makanan dan energi biofuel. Maka harus dilakukan pemilihan: makanan atau energi. Apabila pilihan produksi energi justru menghabiskan energi dalam jumlah signifikan, maka makanan seharusnya menjadi pilihan.

Pertanian modern sangat tergantung pada BBM. Mekanisasi pertanian, industri pengolahan produksi pertanian, transportasi produk-produk dan bahan pertanian, produksi pupuk, dan sebagainya membutuhkan BBM yang banyak. Dengan harga minyak global yang cenderung terus naik, secara logika sederhana saja harga produk-produk pertanian pasti ikut naik kecuali ada kekuatan ekonomi raksasa yang mau menanggung kerugian sendirian.

Lalu tambahkan dengan fenomena berubahnya lahan-lahan subur menjadi lahan kritis karena penggunaan pupuk buatan dan omong kosong bernama "revolusi hijau" yang diperkenalkan di negara-negara berkembang. Di India ratusan hingga ribuan petani melakukan bunuh diri setiap tahun karena mereka telah sampai pada kondisi ketidak mampuan mengolah tanahnya yang semakin tandus dengan pupuk buatan Monsanto (produsen pupuk milik yahudi Amerika) yang semakin mahal harganya.

Lalu tambahkan lagi dengan fenomenya perubahan iklim global, baik karena benar-benar gejala alam biasa atau karena sebuah konspirasi menggunakan teknologi HAARP yang telah dikenal luas di kalangan ilmuan maupun inteligen internasional. Maka kekhawatiran dunia akan dilanda bencana kelaparan global justru di puncak kejayaannya, sangatlah beralasan. Fenomena mati massal beberapa spisies binatang di beberapa penjuru dunia baru-baru ini telah menjawab kekhawatiran tersebut.

Akhir-akhir ini terjadi sebuah fenomena sangat serius yang disebut "colony collapse disorder", yaitu hancurnya koloni-koloni lebah madu di seluruh kawasan Amerika Utara. Sementara lebah madu berperan dalam 30% produksi pangan dunia, sekitar satu dari tiga suapan makanan yang kita makan. Lenyapnya lebah madu berarti berkurangnya 1/3 produksi pangan dunia, dan itu sudah cukup untuk menimbulkan bencana kelaparan global.

Beberapa tahun yang lalu pikiran bahwa harga satu barrel BBM bisa mencapai $100 adalah jauh dari pikiran orang. Dan terbukti pikiran orang-orang itu keliru karena bahkan harga BBM bisa mencapai $120 per-barrel. Maka kalau ada orang yang khawatir bahwa harga beras per-liter bisa mencapai Rp 100.000, kekhawatiran itu sangat beralasan, terutama dengan sistem ekonomi dunia yang telah dikuasai sekelompok kecil orang yang berhasil memaksakan sebuah sistem ekonomi yang disebut neo-liberalisme. Dan saat itu terjadi, lebih dari separo penduduk Indonesia tidak sanggup lagi makan nasi.

Perlu menjadi catatan, buih-buih pangan kini tengah mulai berletusan sebagaimana buih BBM dan buih keuangan global telah meletus beberapa waktu lalu. Dunia menghadapi bahaya kelaparan global. Yang pertama mengalami dampaknya tentu saja adalah negara-negara berkembang di mana kenaikan harga beras sebesar 20% saja mengakibatkan puluhan juta rakyatnya tidak mampu mendapatkan cukup kalori sehingga terancam kelaparan dan mati.

Negara-negara maju pada mulanya sanggup menahan kenaikan harga pangan, hanya untuk sementara, meski harus merelakan kualitas hidup rakyat menurun tajam. Jika kenaikan harga pangan terus terjadi, mereka pun akan mengalami hal yang sama dengan rakyat negara-negara berkembang.



Ref: "Food bubble collapse threatens survival of human civilization"; truthseeker.co.uk; 15 Mei 2010

No comments: