Friday 4 March 2016

HARIMAU PEMANGSA MANUSIA DISTRIK BETUL

Indonesian Free Press -- PADA bulan April 1862 sebuah proyek pembangunan jalan kereta api di Lembah Sungai Narmada di negara bagian Madhya Pradesh, India, terbengkalai selama beberapa waktu karena adanya teror seekor harimau pemangsa manusia. Harimau yang disebut-sebut telah memangsa lebih dari 100 manusia ini ‘memblokir’ jalan-jalan umum di wilayah antara Sungai Moran dan Sungai Ganjal yang terdapat di Distrik Betul, dan bahkan lebih luas lagi hingga ke sebelah timur dan barat kedua sungai itu. Salah satu jalan yang tertutup akibat aksi harimau itu adalah jalan yang menuju kawasan lembah Sungai Narmada tersebut.

Orang-orang tidak berani berjalan di jalan-jalan kecuali dalam rombongan besar. Saat berjalan di wilayah kekuasaan harimau pemangsa, wanita dan anak-anak ditempatkan di tengah-tengah dan para lelaki dengan senjata di tangan berada di sekeliling mereka. Demikian juga ketika harus berjalan beriringan, wanita dan anak-anak selalu ditempatkan di tengah-tengah karena harimau suka menyerang orang yang berada di paling depan atau paling belakang. Dan sementara mereka berjalan, teriakan-teriakan dan bunyi-bunyian tetabuhan mereka keluarkan untuk menakutnakuti harimau, atau lebih tepatnya untuk memperkuat moral mereka sendiri yang runtuh oleh keberadaan harimau. Namun bahkan hal itu semua tidak menjamin mereka selamat dari serangan. Satu demi satu korban diserang di jalan-jalan dan menghilang di tengah hutan jati yang melingkupi wilayah itu, sementara anggota rombongan lainnya hanya bisa tertegun menyaksikan pemandangan yang tidak bisa mereka lupakan seumur hidup ketika orang-orang terdekat mereka dimangsa harimau. Kemudian, di setiap titik jalan terjadinya serangan maut, orang-orang meletakkan batu besar sebagai penanda untuk mengingatkan orang akan keberadaan harimau pemangsa di daerah itu.

Pada malam hari, kondisi semakin mencekam bagi warga yang tinggal di wilayah kekuasaan harimau. Bunyi auman harimau di kejauhan atau ketika memasuki perkampungan-perkampungan dan menginspeksi rumah demi rumah, bagaikan suara terompet malaikat pencabut nyawa. Warga yang biasanya hanya tinggal dalam gubuk-gubuk sederhana, seketika menjadi sangat waspada dengan memperkuat pintu dan dinding rumah mereka dengan batu-batu besar, balok-balok kayu dan semak-semak berduri. Namun ketika kondisi tidak juga membaik, satu demi satu dusun pun berubah menjadi dusun mati setelah ditinggalkan warganya yang ketakutan.

Satu informasi penting lain yang beredar di masyarakat terkait dengan binatang pemangsa ini adalah bahwa ia tidak pernah kembali ke bangkai mangsanya yang belum habis disantap sebagimana binatang pemangsa lainnya. Hal ini tentu saja akan membuat perburuan ini menjadi jauh lebih sulit karena lebih dari separoh perburuan harimau yang berhasil dilakukan dengan pengintaian saat harimau kembali untuk menyantap sisa mangsanya.

Pada bulan April tahun itu Kapten James Forsyth , seorang perwira kolonial Inggris di India yang dikirim untuk mengatasi masalah itu berhasil menembak mati seekor harimau jantan yang disangka sebagai harimau pemangsa. Namun setelah ia meninggalkan tempat itu, serangan-serangan maut kembali terjadi dan dipastikan bahwa harimau pemangsa manusia yang sebenarnya ternyata masih hidup. Maka pada bulan berikutnya ia kembali untuk menuntaskan pekerjaannya meski masih dalam kondisi cedera otot kaki.

Selama seminggu pertama perburuan keduanya ini Forsyth tidak mendengar kabar terbaru tentang keberadaan harimau ini. Saat itu ia berkemah di dekat dusun Lokartalae yang dipenuhi pohon-pohon mangga di pinggir Sungai Moran. Kebosanan mulai melingkupi perasaan semua anggota rombongan saat itu, na¬mun dalam seketika berubah menjadi ‘gairah’ besar setelah polisi mengabarkan bahwa harimau pemangsa telah muncul kembali. Ia baru saja memangsa seorang laki-laki dewasa dan seorang bocah kecil di jalan umum 16 km dari tempatnya berkemah.

Forshyth belum pernah melihat langsung harimau pemangsa itu, atau mendengar atau mendapatkan bukti-bukti otentik lainnya secara langsung. Ia hanya mendapat sejumlah cerita tentang harimau itu. Selain berjenis kelamin jantan dengan ukuran raksasa, harimau itu digambarkan memiliki tanda lingkaran di kepalanya dan perut yang hampir menyentuh tanah. Cerita-cerita juga menyebutkan harimau ini menyukai memburu manusia yang tengah berjalan berombongan, menahan mereka di tengah jalan, mengelilingi mereka beberapa kali dan memilih satu di antara mereka yang paling gemuk untuk dimangsa. Cerita lainnya menyebutkan kalau harimau bisa berubah bentuk menjadi manusia yang memanggil-manggil calon korbannya untuk datang. Tentang tanda di kepala tersebut, orang-orang menyebutnya sebagai arwah para korbannya yang membimbing harimau itu dalam melakukan perburuan sehingga tidak ada calon korbannya yang bisa selamat dari cengkeraman kuku-kukunya yang tajam.

Semua pemburu lokal, para pemilik tanah hingga warga biasa dari kasta paling rendah berkumpul di perkemahan Forshyth pagi hari dan sore hari. Seorang bayi yang ibunya menjadi korban serangan harimau, dihadirkan ke hadapan Forsyth untuk menggugah semangatnya memburu binatang buas itu. Sementara itu semuanya menyatakan siap untuk mendukung perburuan yang dilakukan Forsyth dan rombongannya.

Dari ratusan kilometer persegi wilayah kekuasaan harimau tersebut, hutan jati di Distrik Betul merupakan sarang utama harimau ini. Di bulan-bulan tertentu sejumlah besar bina¬tang ternak digiring ke tempat ini untuk merumput di sela-sela pohon-pohon jati. Hal inilah yang menarik harimau untuk datang ke tempat ini dan menjadikan binatang-binatang ternak itu sebagai sumber makanan utamanya. Namun ketika musim hujan tiba binatang-binatang ternak itu kembali ke kandang-kandang mereka, dan harimau yang sudah tergantung kepada ternak-ternak itu dan kesulitan untuk memburu binatang liar mengalihkan perhatiannya pada ma¬nusia yang mereka dapati sebagai mangsa yang mudah diburu. Selain itu, hutan yang lebat di wilayah itu menjadi tempat persembunyian yang ideal bagi binatang pemangsa ini.

Serangan terakhir terjadi di tempat yang bernama Charkhera dan ke sanalah Forshyth menuju. Sebagai seorang perwira ia mem¬bawa bersamanya tiga ekor gajah yang di punggungnya terikat howdah, tempatnya memberikan komando dan melakukan penembakan. Gajah-gajah itu dikendalikan oleh seorang mahout yang duduk di atas leher gajah. Sebagai pengaman, Forsyth dan gajahnya dilindungi oleh satu regu polisi bersenjata musket dan kelompok shikari (pemburu binatang buas lokal).
Di sepanjang jalan berderet batu-batu penanda serangan yang telah di¬la¬lui seperti juga dua dusun yang telah ditinggalkan warganya. Hutan jati yang diselang-selingi dengan semak-semak lebat di kedua sisi jalan menjadi tempat yang ideal bagi harimau untuk mengintai mangsanya. Dan di sana sini terlihat jejak kaki harimau besar, harimau pemangsa manusia, yang melewati tempat itu beberapa hari berselang.

Charkhera telah menjadi dusun yang ditinggalkan warganya setelah serangan terakhir itu sehingga tidak ada informasi yang bisa didapatkan dari mereka tentang serangan itu. Namun, karena terletak di tengah-tengah wilayah serangan selain menjadi lokasi serangan terakhir, Forsyth memutuskan berkemah di sini dan mengirim seekor gajah untuk kembali mengambil perbekalan. Pada malam hari ia dikejutkan dengan kabar yang dibawa oleh petugas pembawa pesan bahwa serangan terakhir telah terjadi di Dusun Le yang terletak di pinggir Sungai Moran, di tempat yang tidak jauh dari Lokartalae, tempat ia berkemah sebelumnya. Dalam informasi itu disebutkan bahwa korban terakhir adalah seorang anggota rom¬bongan peziarah yang hendak menuju sebuah kuil.

Keesokan harinya ketika matahari belum muncul dari balik horizon, Forsyth bergerak menuju lokasi serangan dengan dua ekor gajah dan tiba di lokasi serangan pada pukul 8.00 pagi. Di tempat itu terdapat jurang kecil yang membujur ke arah Sungai Moran. Jurang itu melintasi jalan setapak yang menghubungkan Dusun Le yang terletak beberapa kilometer di sebelah timur lokasi serangan itu. Di lokasi serangan itu terlihat cukup jelas jejak kaki harimau dan ke arah mana ia membawa pergi mangsanya yang tidak berdaya, terutama karena jejak tersebut menyertakan tetesan darah dan serpihan kain korban yang sobek tersangkut semak berduri. Di satu tempat di semak-semak terlihat bangkai rusa tutul yang sebagian anggota badannya telah menjadi isi pe¬rut harimau pemangsa. Namun karena harimau ini terkenal tidak pernah kembali ke sisa mangsanya, tidak ada gunanya untuk memanfaatkannya dalam perburuan. Diperkirakan harimau itu tengah memangsa rusa tersebut ketika ia mendengar para peziarah berjalan. Menghentikan makannya, harimau itu kemudian mengintai para peziarah itu dan mengambil mangsanya.

Melewati bangkai rusa itu, jejak memasuki semak-semak lebat ke arah Sungai Moran. Dua pencari jejak tampak ragu-ragu untuk bergerak maju di bawah perlindungan gading-gading gajah dan senapan yang disandang Forsyth. Sampai di pinggir Sungai Moran, tampak jejak harimau di atas tanah berpasir, menunjukkan ia telah menghabiskan sedikit waktu untuk minum air sungai yang jernih. Kemudian jejak menuju daerah berbebatuan di tepian sungai yang tertutup dengan tanaman-tanaman semak lebat. Menghindari serangan dadakan harimau yang tidak diketahui keberadaannya di tempat itu, orang-orang pun melemparkan bebatuan dan mercon ke semak-semak itu. Namun hingga sore tiba jejak itu menghilang di balik semak dan dengan kecewa Forsyth pun kembali ke perkemahan.

Hari telah menjelang senja ketika mereka berjalan melalui jalan yang sama saat mereka pergi, saat seorang yang berjalan di belakang gajah memberikan isyarat telah melihat sesuatu yang mencurigakan. Ternyata ia cukup jeli untuk melihat bahwa mereka melalui jejak-jejak kaki harimau yang dicari dan harimau itu dipastikan telah berjalan mendahului mereka saat mereka sibuk mencarinya di tengah hutan. Namun sayang hari sudah terlalu gelap untuk melakukan pencarian. Mereka hanya bisa berjalan lebih hati-hati untuk menghindari serangan dadakan. Kepala polisi lokal yang bertubuh kurus maju ke depan, menawarkan diri untuk menjadi umpan, namun segera mundur setelah menyadari tubuhnya tidak cukup menarik perhatian harimau. Maka anak buahnya yang bertubuh gemuk yang selama ini berada di tempat aman, diperintah untuk berjalan di depan.

Satu mil sebelum perkemahan, jejak harimau menunjukkannya telah menyeberang ke hutan. Sesampai di perkemahan, mereka membentengi diri dengan menempatkan ketiga gajah di tempat-tempat yang terpisah dan di antaranya api unggun dinyalakan. Pada tengah malam salah seekor gajah berteriak membangunkan semua orang, namun esok paginya tidak tampak adanya jejak kaki harimau yang mendekat.

Forsyth memulai perburuan di tempat harimau itu meninggalkan jalan menuju hutan. Namun lebatnya semak di tempat itu membuat jejak kaki itu tidak bisa lagi diketahui, dan dengan kecewa ia harus kembali ke perkemahan dengan tangan kosong. Saat berada di perkemahan dan hendak mulai makan siang, kabar baik diterima Forsyth ketika sejumlah orang-orang Banjara  dari satu tempat bernama Deknad, datang sambil berlari ter-gopoh-gopoh. Mereka mengabarkan bahwa salah seorang teman mereka telah menjadi korban serangan harimau saat berada di tengah-tengah kawanan kerbau di tempat mereka baru saja hendak membangun perkemahan.

Tanpa banyak waktu Forsyth pun segera menuju tempat tersebut, yang berada di ujung suatu padang rumput. Di tempat itu tampak jelas jejak kaki harimau yang menyeret mangsanya. Setelah beberapa puluh meter jejak itu memasuki padang ilalang tinggi. Di sini, gajah pemburu besar yang ditumpangi Forsyth tampak gelisah. Ia menendang-nendangkan kakinya ke tanah dan menjerit dengan suara belalainya. Beberapa belas meter tampak ilalang yang bergerak menjauh, Forsyth pun mengejar dengan kecepatan penuh. Tidak jauh kemudian mayat Banjara pun ditemukan dalam kondisi setengah anggota badan yang sudah hilang.

Selanjutnya perburuan berjalan dengan keras, melintasi berbagai jenis medan dan menyeberangi Sungai Ganjal. Setelah beberapa mil melalui pinggiran sungai, medan berubah menjadi hutan semak berduri yang sulit untuk ditembus. Sementara hari telah menjelang senja, Forsyth dan rombongan pun berkemah di sebuah dusun di pinggir Sungai Ganjal.
Kesokan harinya perburuan dimulai di semak berduri di pinggir Sungai Ganjal. Kembali melintasi berbagai jenis medan dan sebuah dusun cukup besar bernama Bhadugaon, di sini Forsyth memerintahkan dibangun perkemahan baru dan kemudian melanjutkan perburuan. Di tanah berpasir di pinggir sungai, jejak kaki harimau pemangsa itu bercampur dengan jejak binatang-binatang lain termasuk harimau. Namun ukurannya yang sangat be¬sar dengan ciri khusus membuatnya sangat mudah untuk membedakannya dengan jejak harimau lain. Jejak khusus itu adalah tapak kaki belakangnya yang cacat yang diduga akibat luka tembakan senapan matchlock. Beberapa mil melewati Bhadugaon, medan melalui hutan semak yang dipenuhi pohon jaman dan tamarisk.

Setelah mengejar berkilo-kilometer dan melalui berbagai jenis medan, di tempat ini harimau pemangsa itu mulai terpojok, karena tidak ada lagi tempat lain untuk mencari air atau bersembunyi. Forsyth berjalan memutar untuk memastikan binatang itu tidak meninggalkan area tersebut, dan benar, tidak ada jejak kakinya di luar area semak-semak. Maka, sebelum melakukan perburuan akhir, Forsyth memutuskan untuk beristirahat dan kembali ke Bhadugaon.

Saat beristirahat, mahout atau pawang gajah yang ditunggangi Forsyth, bercerita kepada Forsyth tentang pengalamannya membantu perburuan harimau beberapa waktu berselang di area yang sama dengan tempat harimau pemangsa tengah bersembunyi. Saat itu tahun 1853 dan pemburunya adalah seorang perwira berpangkat kolonel dan dua orang sahabatnya yang bersaudara kandung. Mereka telah mengetahui bahwa di tengah semak-semak itu tinggal keluarga harimau. Seorang dari dua bersaudara itu berada di atas pohon dengan senapan yang siap ditembakkan, sementara sang kolonel dan seorang sahabatnya yang lain melakukan penggiringan, yaitu menggiring harimau dari persembunyiannya ke tempat yang tepat untuk ditembak. Puluhan orang dilibatkan dalam aksi ini selain sang kolonel dan sahabatnya yang duduk di atas howdah  di punggung seekor gajah. Di satu tempat setelah sang kolonel melepaskan tembakan ke arah seekor harimau, binatang tersebut berbalik arah dan menyerang gajah.

Harimau itu melompat ke kepala gajah dan mencakar bagian mata dan mulut gajah tersebut dan menimbulkan luka serius di kedua bagian tubuh binatang itu. Sang mahout, secara reflek menghantamkan tongkat besi ke kepala harimau itu untuk melepaskan cengkeramannya di kepala gajah.
Harimau melepaskan cengkeramannya dan berlari menjauh. Namun ketika gajah dan pemburu kembali mengejar, harimau berbalik dan menerkam lagi. Si gajah, yang kebetulan belum terlalu dewasa dengan ukuran badan relatif kecil, berbalik arah dan berusaha melarikan diri. Harimau menerkam kaki gajah dan dengan cakarnya menariknya ke samping, kemudian berusaha meraih kedua pemburu di atas howdah.

Merasa terancam dengan badan gajah yang terhuyung-huyung oleh serangan tersebut, kedua pemburu tersebut meloncat ke tanah. Kemudian sang kolonel menembakkan senapannya tepat ke dada harimau. Melarikan diri untuk kedua kalinya, kedua pemburu mengejar harimau itu dengan kedua kaki masing-masing. Sementara itu gajah yang terluka parah meninggalkan arena perburuan dengan teriakan kesakitan.

Setelah dikejar beberapa meter, harimau kembali berbalik untuk menyerang dan dihentikan beberapa meter dari sasarannya setelah kolonel menembak tepat kepalanya. Namun perburuan tidak berhenti di situ, karena kemudian terlihat tiga ekor harimau lagi yang semuanya kemudian juga berhasil ditembak mati.

Beberapa hari setelah perburuan orang-orang menemukan gajah malang yang terlibat dalam perburuan seru itu tewas akibat luka-luka yang dideritanya dan men¬jadi satu di antara gajah pemburu yang tewas diserang harimau. Jasadnya dikuburkan di Bhadugaon.

Sekitar jam 11.00 Forsyth pun kembali ke arena perburuan. Ia menempatkan beberapa orang untuk mengamati dari atas pohon. Sementara di jalan keluar yang memungkinkan harimau untuk melarikan diri, ditempatkan seekor gajah sebagai penghalang. Selanjutnya ia mulai bergerak maju di atas howdahnya dengan senjata terkokang. Burung-burung beterbangan dari semak-semak ketika ia bergerak menembus semak-semak itu, sebagaimana juga binatang-binatang kecil yang berlompatan meninggalkan sarangnya. Di bagian tengah semak-semak lebih lebat dari bagian lainnya. Di bagian ini terdapat beberapa sumber air kecil yang membuat harimau merasa nyaman untuk menjadikannya sebagai tempat beristirahat sembari bersembunyi. Di sini gajah besar bernama Sarju yang ditumpangi Forsyth berhenti dan tampak gelisah sembari menendang-nendangkan kakinya ke tanah.

Sang mahout berbisik kepada Forsyth, memberitahukan bahwa ia melihat harimau berbaring di balik semak pohon jaman. Ke arah yang ditunjuk mahout itu seorang asisten Forsyth yang berada di kursi belakang howdah melemparkan batu yang telah disiapkan. Seketika harimau itu berdiri dan mengaum. Melihat dirinya dikejar pemburu, harimau itu berusaha melarikan diri, namun terhalang oleh gajah yang sengaja ditempatkan untuk menghalanginya. Maka, ia berbalik dan menyerang gajah Forsyth sembari mengaum garang.

Pada jarak sekitar 20 kaki, Forsyth menembak binatang itu dan membuat binatang itu terjungkal ke tanah. Binatang itu bangkit kembali dan berusaha menyerang lagi meski dengan kecepatan yang berkurang. Pada saat itu tiba-tiba saja gajah bergerak memutar sehingga Forsyth kehilangan sasaran setelah ia mengganti senjatanya dengan shotgun untuk perburuan jarak dekat. Berusaha menyesuaikan posisinya dengan sasaran, sementara Sarju si gajah menendang-mendangkan kaki belakangnya ke harimau yang hendak menyerang bagian belakangnya, Forsyth mengalami kesulitan untuk membidikkan senjatanya. Selanjutnya, setelah menyadari harimau tidak lagi berada di belakangnya, Sarju berhenti menendang-nendang dan hal itu memberikan kesempatan bagi Forsyth untuk membidikkan senjatanya tepat ke arah kepala harimau saat binatang itu berusaha meraih asisten Forsyth. Sedetik kemudian senjata Forsyth menyalak, dan harimau yang terkena tembakan dari jarak pendek jatuh ke tanah seperti karung beras.

Membutuhkan waktu beberapa saat untuk menenangkan Sarju dari tindakan balas dendamnya terhadap harimau pemangsa itu. Ia menendang-nendang dan menindih badan harimau itu dengan kaki-kakinya yang kuat. Gajah selalu memendam kebencian yang besar terhadap harimau yang seringkali menyerang dan bahkan memangsa anak-anak gajah yang masih kecil dan tidak berdaya dan terpisah dari penjagaan induknya. Sebaliknya, karena sering menjadi sasaran serangan harimau saat masih kecil, gajah juga memendam rasa takut kepadanya. Untuk mengatasi rasa takut itu sudah menjadi kebiasaan saat itu untuk memberikan sejumlah opium kepada gajah-gajah pemburu sebelum memulai perburuan.

Saat diperiksa, Forsyth mendapati harimau itu berukuran jauh lebih besar dari ukuran normal dengan panjang mencapai 10 kaki, berkelamin jantan dan tengah berada pada umur yang prima. Namun tidak seperti yang disebut-sebut orang, tidak ada tanda lingkaran di kepalanya dan juga perutnya tidak sampai menjuntai ke tanah.

***

Keterangan: Tulisan ini adalah bagian dari buku yang tengah ditulis oleh blogger.

3 comments:

kasamago.com said...

Wih mo bkin buku history, smg saya diperkenankan sbgi pembeli sxlgus pembaca pertama pak adi

Asli keren..

www.kasamago.com

Masbuy said...

mantap ..tlong dianalisa jg dong panasnya pilgub DKI yg marak dgn byknya org islam menyandarkan diri kpd org kafir spt ahok ..heheh

Masbuy said...

mantap ..tlong dianalisa jg dong panasnya pilgub DKI yg marak dgn byknya org islam menyandarkan diri kpd org kafir spt ahok ..heheh