Sunday 6 March 2016

Pelajaran dari Brazil

Indonesian Free Press -- Belum pernah terjadi 'tragedi' seperti ini sebelumnya di Brazil. Seorang tokoh nasional bahkan internasional yang juga mantan presiden negara itu, ditangkap oleh polisi bersenjata lengkap di rumahnya pada jam 6 pagi, digelandang dengan kendaraan tanpa identitas ke bandara dan diinterogasi selama empat jam.

Dan semuanya ditayangkan dengan luas di media-media massa Brazil dan dunia, seolah tidak ada lagi privasi dan kehormatan bagi Lula da Silva.

Para penyidik 'Kasus Cuci Mobil', demikian kasus ini disebut, berkeyakinan bahwa terdapat bukti-bukti kuat bahwa Lula telah menerima dana setidaknya 1,1 juta Euro dari perusahaan-perusahaan konstruksi yang menerima kontrak kerja dari BUMN migas Petrobras selama ia menjabat Presiden Brazil. Harta itu berbentuk sebuah peternakan, apartemen dan sumbangan-sumbangan ke yayasan milik Da Silva.  

Kasus ini sendiri telah merebak sejak tahun lalu dengan melibatkan sejumlah tokoh penting, terutama pejabat dan mantan pejabat dari partai berkuasa Worker's Party, dimana Lula menjadi pemimpinnya. Disebut-sebut kerugian negara akibat praktik korup tersebut mencapai $2 miliar. 

Pepe Escobar, wartawan internasional terkenal, dalam sebuah tulisannya yang dipublikasikan di Sputnik News akhir pekan lalu memberikan analisis menarik tentang kasus ini, yang menurut IFP mirip dengan apa yang terjadi di Indonesia. Yaitu, penegakan hukum hanya menjadi alat politik bagi kepentingan 'imperium asing', yang hanya mengorbankan orang-orang berfikir dan bertindak untuk kepentingan negara.

Indonesian Free Press (IFP) menyamakan kasus ini dengan kasus yang menjerat mantan Ketua HMI Anas Urbaningrum. Berpotensi kuat menjadi pemimpin Indonesia, khususnya menjelang pemilihan presiden 2014 lalu, ia dijegal dengan tuduhan korupsi dalam Kasus Hambalang. Tuduhan itu tidak pernah terbukti dan hakim hanya menghukumnya karena kasus gratifikasi berbentuk mobil Fortuner. Namun persepsi publik sudah terlanjur menvonisnya sebagai seorang koruptor.

Dan HMI sengaja saya tonjolkan, karena inilah salah satu organisasi yang masih memiliki misi idealisme, selain catatan sejarah yang ditulisnya sebagai 'penjegal' komunisme kaki tangan kepentingan 'imperium asing'.

Ini juga sama dengan kasus 'korupsi impor sapi' yang menjerat Ketua Partai Keadilan Sejahtera. Kedua kasus ini dipenuhi dengan drama yang dimainkan oleh para penyidik KPK, seperti halnya drama yang menjerat Lula da Silva.

Sama seperti mantan presiden kita almarhum Pak Harto, mungkin saja Lula memang melakukan korupsi, dan hampir tidak ada pemimpin di dunia yang tidak pernah melakukan korupsi berdasarkan norma-norma penegakan hukum modern. Namun, Lula juga melakukan hal-hal positif yang sangat fundamental. Di tangannya Brazil menjadi kekuatan ekonomi global yang diperhitungkan. Dengan menggandeng perusahaan-perusahaan konstruksi nasional dan Petrobras, Brazil bisa melakukan pembangunan infrastruktur besar-besaran tanpa harus berhutang kepada asing.

Terpilihnya Da Silva tahun 2002 telah membuat kepala 'imperium asing' pening. Terlebih setelah ia membawa Brazil, negara besar dengan kekayaan alam melimpah, condong ke kelompok BRICS (Brazil, Rusia, India, Cina, Afrika Selatan) yang menjadi oposan 'imperium asing'.

Brazil adalah pemilik cadangan minyak terbesar yang disebut 'pre-salt deposits', dan Lula, yang masih berpeluang untuk kembali menjadi presiden Brazil menggantikan Dilma Rousseff, dikhawatirkan akan menguasai sepenuhnya cadangan minyak itu tanpa membaginya dengan 'imperium asing'. Maka ia pun di-'Anas Urbaningrum'-kan.(ca)

1 comment:

kasamago.com said...

Kekuatan sang imperium sungguh dasyat, mmpu menjadikan alat negara sbg pion nya..

Agakny presiden yg sdg mnjabat trut mndukung pnangkapan lula


www.kasamago.com