Monday 6 June 2016

Membandingkan Pak Harto dengan Pak Karno

Indonesian Free Press -- Alkisah, pada suatu hari seorang sahabat Nabi yang tidak mengikuti jihad di medan perang karena alasan harus melakukan suatu pekerjaan 'mulia', membanggakan diri dengan pekerjaan itu dibandingkan jihad. Maka, Tuhanpun menurunkan firmannya seperti tertulis di dalam Al Qur'an, yang menyebutkan dengan tegas bahwa berjihad di medan perang jauh lebih mulia dibandingkan jihad dalam bentuk apapun.

Tulisan ini adalah tentang dua presiden pertama bangsa ini, yaitu Soekarno dan Soeharto. Tulisan ini dibuat untuk mengimbangi opini buruk yang dikembangkan oleh sekelompok orang yang bekerja untuk kepentingan asing, tentang kejahatan-kejahatan Pak Harto. Apalagi topik yang paling 'pas' di mata mereka untuk menghancurkan reputasi Soeharto selain membandingkannya dengan kebaikan-kebaikan Soekarno tanpa memberikan ruang yang seimbang bagi Soeharto untuk membela diri.

Lihatlah sendiri di media massa dan di dunia maya, dan Anda akan melihatnya.

Bagi 'asing', Soeharto telah menjelma sebagai simbol 'nasionalisme' Indonesia yang bisa menyatukan dua kekuatan paling penting di Indonesia, yaitu TNI dan ummat Islam. Maka tidak ada cara lain untuk menjamin keamanan kepentingan asing selain menghancurkan reputasi Soeharto.

Dan cara lain menghancurkan legalisme Pak Harto, selain membandingkannya dengan Soekarno secara tidak fair, adalah dengan membangkitkan kembali isyu komunisme, sekaligus memarginalkan peran Pak Harto dalam peristiwa G-30-S/PKI.

Soeharto dan Soekarno adalah presiden pertama dan kedua Indonesia yang telah banyak berjasa bagi bangsa Indonesia.

Soekarno dan Soeharto adalah 'berkah' dari Allah untuk bangsa ini, sehingga bisa berdiri tegak sebuah negara bernama Indonesia dengan falsafahnya yang luhur, dan disegani dan dihormati semua bangsa-bangsa di dunia karena besar wilayah dan jumlah penduduknya, kekayaan alamnya, dan lebih dari itu sejarahnya yang gemilang.

Soekarno hadir pada saat bangsa Indonesia membutuhkan sosok pemersatu yang mampu mengikat puluhan suku bangsa dalam satu kesatuan bahasa, bangsa dan negara. Sulit membayangkan negara ini bisa terbentuk seperti sekarang tanpa keberadaan Soekarno. Para pemuda pejuang kemerdekaan bahkan tidak melihat cara lain untuk memerdekaan Indonesia, selain menculik Soekarno dan memaksanya membacakan teks proklamasi, karena memang tidak ada sosok lain yang memiliki legalisme sekuat Soekarno sebagai pemimpin Indonesia.

Demikian juga Jendral Soedirman, tidak melihat pilihan lain selain mengembalikan kekuasaan Soekarno, meski yang bersangkutan telah 'berkhianat' meninggalkan perjuangan dengan menyerah kepada Belanda dalam Agresi Belanda II.

Di sisi lain, Soeharto juga telah memainkan peran yang tidak kalah penting bagi eksistensi bangsa ini. Bahkan apa yang telah dicapai melalui tangan Soekarno akan sia-sia belaka tanpa peran Soeharto menggagalkan pemberontakan PKI tahun 1965. Sebaliknya, bangsa ini harus mengalami tragedi kemanusiaan yang tidak terkira seandainya Pak Harto tidak melakukan tindakan yang berani, cerdas dan cermat menggagalkan pemberontakan. Bisa dibayangkan jutaan rakyat INdonesia yang berseberangan dengan komunisme, akan dibantai seperti binatang, sebagaimana telah dilakukan orang-orang komunis di Rusia, Cina, Spanyol, Kamboja, Vietnam dan lain-lainnya.

Saya tidak ingin membandingkan akhlak dan moral antara keduanya karena fakta-faktanya sudah sangat jelas. Pak Harto adalah seorang ayah yang mencintai keluarganya dan menjaganya dengan sepenuh hati. Sementara Pak Karno hingga menjelang akhir hayatnya masih terus mengumbar hawa nafsunya mengejar wanita-wanita cantik dan 'mencampakkan' istri-istrinya dan anak-anaknya.

Ahlak dan moral apa yang bisa diberikan oleh Pak Karno, setelah ia mengkhianati pahlawan kemerdekaan HOS Cokroaminoto dengan meninggalkan putrinya yang baru dinikahi Soekarno, Utari, karena terpikat oleh istri orang lain yang jauh lebih tua, Ibu Inggit? Pelajaran moral apa yang diberikan Pak Karno dengan merampas istri-istri orang untuk kesenangan pribadi, dengan menikahi anak-anak di bawah umur saat beliau menjadi presiden, dan dengan menikahi seorang geisha (pelacur) tingkat tinggi? Pelajaran moral apa yang diberikan Pak Karno dengan menjadi komprador Jepang yang bertugas mengorganisir dan memobilisasi para pekerja rodi (kerja paksa). Bila diteruskan, kita bisa sangat malu pernah memiliki pemimpin seperti Soekarno.

Saya hanya ingin membandingkan Pak Karno dengan Pak Harto dalam hal patriotisme atau kepahlawanan membela bangsa dan negara.

Tidak seperti pemimpin bangsa-bangsa lainnya yang harus melalui perjuangan bersenjata, seperti Simon Bolivar, George Washington, Aguinaldo, Jose Rizal, Fidel Castro, Mao Tse Tung, dan lain-lainnya, Soekarno tidak pernah terlibat dalam peperangan bersenjata skala terkecil pun. Bahkan ketika ia mendapatkan 'kesempatan emas' untuk memimpin perjuangan bersenjata, yaitu ketika pasukan sekutu menyerang Surabaya, atau ketika Belanda melakukan Agresi Militer Pertama dan Kedua, Pak Karno menolak. Tidak sekedar menolak, Soekarno bahkan rela menyerahkan kekuasaan kepada Belanda sehingga secara de jure, de facto maupun etik, telah kehilangan kredibilitas sebagai pemimpin.

Sebaliknya Pak Harto, hampir sepanjang masa dewasanya dihabiskan dengan berjuang di medan jihad membela tanah air. Ketika Pak Karno ditawan Belanda, Pak Harto menemani Jendral Soedirman melakukan perang gerilya. Dengan restu Jendral Soedirman Pak Harto bahkan sukses melakukan aksi serangan militer ke Yogya yang berhasil menghancurkan klaim Belanda tentang hancurnya negara INdonesia setelah Soekarno ditawan. Dan bahkan sebelum menyelamatkan bangsa ini dari bahaya PKI, Pak Harto berhasil memimpin Komando Mandala merebut Irian Barat tanpa banyak mengeluarkan biaya maupun nyawa tentara.

Maka, seperti Al Qur'an di atas, menurut blogger Pak Harto lebih mulia dibandingkan Pak Karno.(ca)

No comments: