Sunday 2 October 2016

Negara-Negara Arab Masih Bermimpi Bisa Usir Rusia dari Suriah

Indonesian Free Press -- Negara-negara Arab pendukung pemberontakan Suriah masih bermimpin untuk bisa mengusir Rusia dari negara itu. Sementara Amerika lebih realistis bahwa impian itu sulit terjadi.

Editor Ian Greenhalgh dalam laporannya di Veterans Today, 27  September, menyebutkan bahwa para pejabat keamanan Amerika mengakui bahwa sejumlah negara Arab seperti Saudi, Qatar, dan Kuwait masih bermimpi untuk bisa mengusir Rusia dari Suriah. Untuk itu mereka siap menggelontorkan senjata-senjata modern kepada para pemberontak.

Seorang pejabat Amerika mengatakan kepada Reuters bahwa Amerika telah menyimpan sejumlah besar senjata rudal jinjing (MANPAD) bagi para pemberontak Suriah untuk menghadapi pesawat-pesawat tempur Suriah dan Rusia. Rudal-rudal tersebut telah dipesan oleh negara-negara Arab pendukung pemberontakan, yang sudah bosan dengan perkembangan konflik yang tidak menguntungkan mereka setelah terlibatnya Rusia dalam konflik.

"Bosan dengan rencana Amerika, negara-negara Teluk atau Turki kemungkinan, cepat atau lambat akan menyetujui pengiriman MANPADS kepada kelompok-kelompok oposisi Suriah, pejabat Amerika mengatakan," tulis laporan itu.

"Saudi selalu berfikir bahwa satu-satunya cara untuk mengusir Rusia adalah seperti yang terjadi di Afghanistan 30 tahun yang lalu, menegasikan kekuatan udara Rusia dengan mengirim MANPADS kepada para Mujahidin,” kata pejabat Amerika lainnya kepada Reuters.

Menurut pejabat tersebut, Amerika telah berusaha meyakinkan negara-negara Arab tersebut bahwa cara tersebut tidak cukup efektif, mengingat bahwa yang dihadapi saat ini adalah Rusia yang berbeda dengan Uni Sovyet di Afghanistan.

"Kita tidak berurusan dengan Uni Sovyet yang tengah mundur, melainkan pemimpin Rusia yang tengah bersemangat membangun kekuatan Rusia dan tidak mudah menyerah,” tambah pejabat itu merujuk pada Presiden Vladimir Putin.

Pada hari Senin (26 September), media Jerman Kölner Stadt-Anzeiger merilis video wawancara dengan seorang komandan kelompok Al-Nusra yang beridentitas “Abu Al-Ezz,” yang mengatakan bahwa Amerika dan sekutu-sekutunya telah memberikan bantuan artileri dan tank-tank kepada mereka.

"Amerika di fihak kami," kata Al-Ezz dalam wawancara itu.

Menurutnya, Al Nusra dan para pemberontak menerima dana dari Saudi Arabia, Qatar dan Kuwait, untuk mendapatkan tank-tank dan artileri dari Libya yang dikirim ke Suriah melalui Turki. Namun, di antara senjata yang paling dibanggakannya adalah rudal anti-tank buatan Amerika TOW.

Jubir Kemenlu Amerika Mark Toner, ketika dimintai komentarnya tentang hal itu, hari Senin, mengatakan.

"Itu sepenuhnya bohong. Apapun yang dikatakannya (Al-Ezz) adalah bohong. Kami tidak akan pernah memberikan al-Nusra bantuan apapun," kata Toner seraya menyebutkan bahwa siapapun yang menggelontorkan senjata ke Suriah hanya menumpahkan bahan bakar ke api.

"Menurut saya mereka yang berfikir bahwa ada penyelesaian militer di Suriah harus menyadari bahwa mereka keliru. Namun kami mengakui bahwa ada di antara mereka, bukan kami, yang mendukung berbagai kelompok oposisi di Suriah dan ingin mempersenjatai mereka. Dan sekali lagi, akibatnya adalah sebuah eskalasi konflik yang sebelumnya sudah mengerikan. Seperti pernah saya katakana, segalanya bisa berubah dari buruk menjadi semakin buruk,” tambah Toner.

Seorang pejabat Amerika lainnya mengatakan kepada Reuters, bahwa Amerika tidak ingin membiarkan pemberontak lemah di hadapan Rusia dan Suriah.

"Mereka berhak mempertahankan diri dan mereka tidak akan dibiarkan tanpa senjata di hadapan pemboman-pemboman (Rusia dan Suriah).”

Ini menunjukkan adanya keterpecah-belahan di antara pembuat kebijakan Amerika, seperti saat pesawat-pesawat tempur mereka menggempur pasukan Suriah, hanya sehari setelah Menlu Amerika John Kerry menandatangani kesepakan gencatan senjata dengan Rusia disertai operasi militer bersama untuk menumpas para teroris.(ca)

1 comment:

kasamago said...

Negara2 Arab teluk selalu bermimpi di siang bolong yg terik..

Russia sdh bljr dr bnyk prtmpuran sblmny trmsuk saat sovyet mnyrnng Afganistan