Wednesday 8 March 2017

Donald Trump VS Deep State

Indonesian Free Press -- Seperti sudah pernah ditulis di blog ini, Donald Trump hanyalah 'wayang' yang dikendalikan oleh sekelompok kepentingan bisnis dan politik tertentu yang sedikit banyak masih berbau zionis penyembah dajjal. Pada saat yang sama Trump juga tengah 'berperang' melawan apa yang tengah banyak dibahas para pengamat politik internasional sebagai 'Deep State' atau sekelompok penguasa bayangan yang jahat.

Deep State dalam konteks Amerika meliputi para tokoh masyarakat, cendekiawan, media-media massa mapan, politisi, aktifis LSM/Think Tank, pengusaha dan birokrat sipil-militer-inteligen yang selama 30 tahun ini bekerja untuk satu agenda neo-liberalisme dan neo-konservatifme dengan ciri umum: chauvinis dan intervensionis dalam politik luar negeri, pro-Israel dan gencar mengkampanyekan liberalisme perdagangan internasional.

Merekalah yang bertanggungjawab atas berbagai krisis ekonomi global dan peperangan yang dilancarkan Amerika sejak era George Bush Sr (Partai Republik, tahun 1989-1993), Bill Clinton (Demokrat, 1993-2001), George Bush Jr (Republik, 2001-2009), hingga Barack Obama (Demokrat, 2009-2017). Banyak disebut-sebut sebagai anggota Deep State adalah milyarder George Soros, mantan Presiden Barack Obama dan mantan Menlu Hillary Clinton dan suaminya mantan Presiden Bill Clinton.

Konon akibat peperangan rahasia antara Trump melawan Deep State ini Donald Trump bahkan mengalami kesulitan untuk membentuk kabinetnya, hingga hampir dua bulan setelah dilantik. Baru menunjuk Penasihat Keamanan Jendral Michael Flynn saja ia sudah mendapatkan penolakan yang massif hingga harus merelakan Flynn untuk mundur.

Fenomena Trump VS Deep State ini menjadi perhatian utama media-media internasional, dari media-media independen seperti Veterans Today, hingga media-media mapan. Berikut adalah sejumlah tulisan tentang fenomena ini di media-media mapan internasional:

"Is Trump fighting the ‘deep state’ or creating his own?", Washington Post, 1 Februari.

"Rumblings of a ‘Deep State’ Undermining Trump? It Was Once a Foreign Concept", New York Times, 6 Maret

"Krauthammer’s Take: It’s Not the ‘Deep State,’ It’s ‘Revenge of the Losers’", National Reviw, 4 maret.

"What is the 'Deep State' and how does it influence Donald Trump?", The Independent, 7 Maret

Tema tentang Deep State melawan Trump ini bahkan telah menjadi perhatian sebelum Trump memenangkan ursikepresidenan, yaitu ketika ia terlibat perang kampanye melawan rivalnya, Hillary Clinton. Saat itu Trump telah mengkampanyekan hal-hal yang dianggap mengancam kepentingan kelompok mapan, seperti penyelidikan kembali Serangan WTC 2001 dll. "The Deep State V. Trump", demikian tulis The Daily Reckoning pada 25 Agustus 2016.

Hampir semuanya sepakat bahwa Trump benar-benar tengah berperang melawan kelompok kepentingan di balik layar yang disebut the Deep State. Namun berbeda dengan kebanyakan analis sekaligus sesuai dengan perkiraan blog ini bahwa Trump hanyalah 'wayang' yang dimainkan kelompok kepentingan besar, adalah tulisan wartawan senior Pepe Escobar di Sputnik News, 28 Februari lalu berjudul 'Backstage at the Trump vs. Deep State Cage Match'. Dalam tulisan itu Pepe menyebutkan bahwa peperangan Trump melawan Deep State hanyalah sebuah 'sandiwara yang menarik' dan 'pengelabuhan' bagi masyarakat.

Mengutip bocoran informasi dari sumber yang sangat dipercayanya yang diketahuinya memiliki akses luas di pemerintahan Amerika maupun di antara Deep State, Pepe menyebutkan bahwa mundurnya Jendral Michael Flynn dikarenakan ia telah 'melewati garis', yaitu melakukan agitasi untuk menyerang Iran yang akan membawa konsekuensi sangat buruk bagi Amerika.

"Ini akan membuat Iran menyerang suplai minyak negara-negara Barat di Timur Tengah, mendorong penguatan ekonomi Rusia karena harga minyak yang melonjak hingga $200 per-barrel, dan memaksa Uni Eropa bergabung ke blok Rusi-Cina atau menghadapi krisis energi. Amerika akan terisolir sepenuhnya,” tulis Pepe mengutip perkataan sumbernya yang disebutnya sebagai 'Mr X'.

Menurut sumber tersebut, jika Amerika menyerang Iran maka Turki, yang notabene adalah anggota NATO, akan berpihak pada Iran, yang sejak kudeta militer gagal tahun lalu dipandang Turki sebagai sekutu terpercayanya bersama Rusia. Bersama Rusia, Serbia dan Iran, Turki membuat NATO terkepung dari arah selatan, tenggara, timur dan utara.

"Itu semua di luar kemampuan Flynn untuk mengatasinya," tambah sumber tersebut.(ca)


Bersambung.

1 comment:

Anonymous said...

Bung ngapain Amerika nyerang Iran katanya Iran sekutu Amerika anda mulai idiot ya katanya Iran sekutu zionis anda mulai ngaco ya analisa berbalik balik penulis nampak kali. Munafik ya