Wednesday, 13 June 2018

SIKAP TNI PASCA MANTAN JENDERAL MENGAJAK BANGKIT, BERGERAK, BERUBAH ATAU PUNAH

OLEH WEKA

Citizen Journalism, 13 Juni 2018
Sumpah Prajurit :
“Setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945”
Tribrata Polisi :
“Menjunjung tinggi kebenaran, keadilan dan kemanusiaan dalam menegakkan hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Jenderal Sudirman :
”Tentara hanya memiliki kewajiban satu, ialah mempertahankan kedaulatan negara dan menjaga keselamatannya, sudah cukup kalau tentara teguh pegang kewajiban ini, lagi pula sebagai tentara, disiplin harus dipegang teguh (Yoyakarta, 12/11/1945)
Tekad para mantan Jenderal di Harkitnas 20/5/2018 di Gedung Konvensi TMPN Kalibata tidak terlepas dari sumpah, ikrar dan pesan Jenderal Sudirman. Jiwa dan tekad keprajuritannya tidak kunjung padam. Jenderal TNI (Purn) Widjojo Soejono mengingatkan : “Sebagai Bhayakari Negara dan Bangsa, baru berakhir saat tidak bisa mendengar salvo, meskipun ditembakkan di samping telinga”. Pesan, kata bijak dan motivasi para pejuang dan senior itulah yang bersemayam di hati para purnawirawan.
Gaung kembali ke UUD 1945 tidak saja menggema di gedung konvensi saat itu. Pasca mantan Jenderal meneriakkan kembali ke UUD 1945 untuk selanjutnya disempurnakan, apresiasi terus mengalir. Berbagai organisasipun berani meneriakkan kembali ke UUD 1945, baik lewat media sosial maupun spanduk. Lius Sungkarisma bersama Yap Hong Gie putra Mr. Yap Thiam Hien dkk, Gerakan Selamatkan IndonesiaForum Gema NusantaraSahabat Weka dll, ikut menggelorakannya. Lalu bagaimanakah sikap TNI dan Polri yang memiliki Sumpah Prajurit dan Tribrata Polisi ?
Jujur, rakyat menunggu sikap TNI/Polri. Pasalnya mereka punya Sumpah Prajurit dan Tri Brata. Sudah 2 minggu lebih, tidak terdengar reaksinya. Penulis coba bertanya kepada Mayjen TNI (Purn) Prijanto, mantan Aster Kasad, apakah TNI/Polri juga memiliki pemahaman yang sama dengan para purnawirawan terhadap konstitusi hasil amandemen saat ini? Prijanto terdiam, mencoba menata bagaimana dirinya harus menjawab. Sambil tersenyum, dia menjawab tidak tahu.
Namun, dia lanjutkan juga. Logikanya TNI/Polri juga faham masalah ini. Mengapa, Perwira TNI/Polri memiliki kapasitas intelektual yang tidak bisa dipandang remeh. Memiliki institusi intelijen strategis dan taktis, yang mampu menganalisa data dan fakta masa lalu, baru lalu dan memprakirakan yang akan datang. Ilustrasinya, mantan Jenderal kemarin itu banyak Pati yang baru pensiun. Kalau toh pensiunan lama, itupun bersumber dari almamater TNI/Polri.
Seperti halnya temen sipil, saya juga suka bertanya dalam hati, mengapa TNI/Polri tidak terusik dengan konstitusi saat ini? Padahal kajian amandemen UUD 1945 yang disampaikan purnawirawan, aktivis dan pakar atau organisasi seperti PPAD dan Ormas, hakikatnya juga dirasakan para prajurit aktif secara individu, tutur Prijanto. Sehingga, ketika menyatakan kesetiaannya kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, mestinya TNI/Polri terusik dan berani menyampaikan pendapatnya : “Benarkah konstitusi hasil amandemen UUD 1945 saat ini memiliki nilai-nilai sama dengan UUD 1945 aslinya ?
TNI mendapatkan amanat undang-undang untuk :
  1. menegakkan kedaulatan negara
  2. mempertahankan keutuhan wilayah NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945
  3. melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bagsa dan negara.
Apabila tugas pokok TNI disandingkan dengan hasil kajian amandemen UUD 1945, dan situasi saat ini, kiranya menjadi klop. Artinya, jika terjadi instabilitas yang disebabkan konstitusi, maka TNI memiliki kewajiban berbicara. Berbicara konstitusi bukanlah politik praktis, tetapi masuk ranah politik negara terkait kedaulatan, keutuhan, dan perlindungan kepada bangsa dan tumpah darah, tandas Prijanto.
Prijanto mengajak semua fihak, melakukan perenungan, memunculkan pertanyaan kritis terhadap kondisi saat ini. Apakah persatuan bangsa lebih baik setelah asing memperkenalkan Pilpres secara langsung? Apa penyebab perpecahan, adu domba, kebencian, ketidakadilan hukum, politik uang, korupsi marak yang semuanya itu berkelanjutan? Apabila jawabannya akibat amandemen UUD 45, maka keliru jika TNI dan komponen bangsa lainnya melakukan pembiaran. Bukankah itu semua merupakan ancaman dan gangguan terhadap kedaulatan dan keutuhan serta perlindungan terhadap bangsa dan negara ?
Sesungguhnya, patut kita menduga bahwa Pilpres dan Pilkada langsung adalah konsep asing untuk hancurkan persatuan Indonesia dengan memanfaatkan kemajemukan SARA. Asing telah mempelajari lama, mengapa Indonesia sejak Orla dan Orba bisa hidup rukun, padahal SARA sangat majemuk? Asing telah menemukan jawabannya, sebagaimana rakyat Indonesia mendengung-dengungkannya. Beberapa Presiden dan tokoh duniapun memujinya. Apa itu, Pancasila dan UUD 1945 itulah azimat pemersatu bangsa, tutur Prijanto.
Hakikatnya asing tak ingin Indonesia besar. Secara konseptual dan segala cara, Indonesia yang sedang bergerak sebagai macan Asia diporakporandakan melalui penciptaan krisis ekonomi, disusul hembusan reformasi. Dibisikkannya di telinga tokoh-tokoh: “Demokrasi anda salah. Tidak ada itu namanya Demokrasi Pancasila”. Beberapa aktivis ‘98 pun berpendapat bahwa ada ‘pembonceng’ saat reformasi. Reformasi ‘98 tidak sekedar penggulingkan pak Harto, tetapi juga reformasi politik dan ekonomi Indonesia. Pembubaran BP7 dan merubah UUD 1945, hakikatnya penghancuran azimat pemersatu bangsa Indonesia, tandas Prijanto dengan sengitnya.
Tanpa bermaksud menggurui, karena dia tahu siapa dirinya dan posisinya, Prijanto mengharapkan agar TNI tidak ragu-ragu berbicara tentang konstitusi sesuai prosedur, mekanisme dan wewenang serta tugas pokok yang diamanatkan undang-undang. Untuk menguatkan tekad dan jiwanya, disarankan para Prajurit TNI untuk mengingat kembali pesan-pesan Panglima Besar Jenderal Sudirman. Banyak pesan-pesan Jenderal Sudirman yang bisa diterapkan pada situasi negara seperti saat ini, pesan Prijanto.
Tanpa disengaja, penulis ketemu Pamen aktif yang tidak bersedia disebut namanya. Dia baru meraih gelar doktor dengan desertasi bidang ilmu politik, lulus dengan predikat sangat memuaskan. Dia Perwira cerdas. Banyak harapannya kepada TNI. “TNI harus cerdas menangkap aspirasi yang berkembang di masyarakat dan perkembangan lingkungan strategis global, regional dan nasional. Kalau tidak, maka TNI tidak akan exist” kata doktor muda ini.
Seperti kita ketahui, mantan Kasad Jenderal Agustadi pada Harkitnas yang lalu mengingatkan bangsa Indonesia agar tidak lelap tidur dan abai terhadap situasi NKRI yang sedang terserang proxy war. Ada kekuatan negara adi daya berusaha merebut Indonesia. Agustadi mengajak semua pihak untuk bangkit agar tidak punah, melalui gerakan kebangkitan bangsa, baik masalah konstitusi maupun penyelengaraan negara. Kami purnawirawan TNI/Polri bersama komponen masyarakat militan masih ada. Kami masih eksis dan mampu merombak bangsa ini menjadi ‘Tuan rumah di negeri sendiri’. Itulah statemen di akhir sambutan Agustadi di Harkitnas 20/5/18.
Sedangkan mantan Kasal Laksamana Tedjo Edhy, menyoroti perlunya kepekaan terhadap geopolitik & geostrategi yang mengancam Indonesia, masalah bebas visa, tenaga kerja asing, SDA dan penanganan terorisme. Untuk menghadapi segala permasalahan negara tersebut, diperlukan pemimpin yang kuat, yang mampu memimpin negara dan bangsa. Kaitan amandemen UUD 45, ditengarai Tedjo telah menimbulkan kegaduhan pada sistem kenegaraan. Karena itulah Laksamana Tedjo Edhi mengajak kembali ke UUD 1945.
Tidak beda dengan mantan Kasad dan Kasal, mantan Kasau Marsekal Imam Sufaat pun menyoroti hasil amandemen UUD 1945. Bahwa, proses amandemen sampai 4 kali, dilakukan dalam euphoria reformasi, krisis multi demensi, kental kepentingan asing, dan jauh berbeda dengan suasana kebatinan dan cita-cita founding fathers. Imam Sufaat juga menekanan perlunya kaji ulang hasil amandemen UUD 1945. Jika ternyata pasal-pasalnya telah bergeser dari nilai-nilai pembukaan, dan Pancasila maka diperlukan tekad untuk kembali ke UUD 1945 asli, untuk selanjutnya disempurnakan.
Irjen Pol Taufiequrachman Ruky mantan Ketua KPK, menyoroti kaitan demokrasi dengan korupsi. Penyebab korupsi bisa manusia atau sistem yang buruk. Ongkos politik, biang kerok terjadinya korupsi. Secara runtut Taufieq menjelaskan korelasi sistem Parpol, Pilleg, Pilpres dan Pilkada langsung yang berujung korupsi. Tanpa memperbaiki sistem, Taufieq pesimis korupsi bisa diberantas. Kembali ke UUD 1945 asli, untuk selanjutnya menata sistem politik, sistem Parpol, sistem ekonomi, merupakan keyakinan Taufieq untuk memperbaiki Indonesia.
Ketika ditanyakan kepada beberapa aktivis sipil, bagaimana harapannya kepada TNI, umumnya mereka memiliki harapan sama. Edwin H. Soekowatidr. Zulkifli SEkomeiBakri Abdullah dan Wawat Kurniawan, sangat menaruh harapan besar agar TNI juga ikut bangkit, bergerak, untuk membuat perubahan sesuai dengan tujuan Pembukaan UUD 1945, agar negara dan bangsa tidak punah. Kalau mau ada perubahan, TNI/Polri harus berani tegas menyatakan konstitusi negara harus sesuai dengan cita-cita negara saat dimerdekakan atau didirikan, kata Edwin Soekowati. Kita tunggu sikap TNI, semoga. (*)

1 comment:

Kasamago said...

Jika haluan negara sudah salah kaprah.. Tugas Militer lah untuk meluruskannya meski bagi kalangan tertentu tindakan itu dilihat sebagai kudeta militer