Tuesday 1 September 2009

Keajaiban Ekonomi Cina: Pemerintah Menguasai Perbankan


Definisi awal uang: sebuah alat pengukur nilai dan alat tukar menukar barang. Tidak lebih. Tapi definisi ini telah berubah di jaman modern ini. Uang adalah komoditi yang bisa diperdagangkan. Dan karena uang tidak dapat dikonsumsi dan hanya memberikan manfaat sebagai alat ukur dan alat tukar menukar, maka perdagangan uang hanya mungkin dengan dua motif, spekulasi alias judi dan motif riba (rentenir).

Dengan dua fungsi fundamental itu: judi dan riba, industri perbankan berkembang dengan luar biasa pesat mengalahkan sektor-sektor ekonomi lainnya. Apabila Anda mencari perusahaan-perusahaan terbesar dalam hal asset dan keuntungannya, carilah bank, bukan perusahaan pembuat mobil, komputer, pesawat terbang, atau pembuat jalan dan jembatan. Dan jika Anda mencari menantu: pilihlah bankir, akuntan, pengacara, dan profesional yang terkait dengan industri perbankan, karena merekalah orang-orang yang gajinya paling tinggi.

Bank tidak pernah membuat pesawat terbang, mobil dan sepatu. Mereka hanya membantu orang untuk membuat pesawat terbang, mobil dan sepatu. Tapi keuntungan yang diperoleh bank jauh lebih besar dibandingkan perusahaan pembuat pesawat, mobil dan sepatu. Gaji para bankir jauh lebih tinggi dibandingkan profesi lainnya. Konon ruang kerja direktur bank BUMN lebih mewah dari hotel bintang 5. Gaji Gubernur Bank Indonesia bahkan lebih tinggi dibandingkan presiden yang memiliki tugas dan tanggungjawab lebih besar dan merupakan pejabat pilihan rakyat.

Saya hanya melihat sebuah ironi ketidak adilan yang tidak semestinya terjadi. Selain itu perbankan modern, dengan motif spekulasi dan ribanya telah membuat ekonomi tidak berjalan optimal dan penuh gejolak.

Saya membayangkan jika perbankan murni menjalankan fungsi aslinya sebagai penjaga likuiditas perekonomian tanpa diwarnai motif spekulasi dan riba. Tentu perekonomian akan berjalan lancar karena setiap kebutuhan likuiditas akan terpenuhi dan menjamin berputarnya roda ekonomi yang secara alami akan berjalan stabil dan mantap. Tidak ada dana yang mengendap karena setiap terjadi hal tersebut, perbankan memiliki mekanisme untuk menyalurkannya ke dunia usaha. Ketika terjadi hambatan perputaran likuiditas, baik karena faktor alam maupun kerusakan infrastruktur, atau karena adanya praktik spekulasi, maka pemerintah turun tangan dengan memperbaiki hambatan tersebut.

Para bankir mendapatkan gaji sesuai dengan profesional lainnya. Dunia usaha tidak pernah kekurangan modal. Pekerja mendapatkan gaji sesuai produktifitas perusahaan. Perekonomian berjalan optimal. Dan kondisi seperti ini hanya terjadi di Cina, negeri di mana pemerintah menguasai perbankan, bukan sebaliknya sebagaimana di negara-negara modern lainnya.

Saya lalu membandingkannya dengan perbankan Indonesia. Di saat perekonomian mengalami kontraksi karena kurangnya likuiditas akibat adanya krisis finansial global, perbankan tetap mempertahankan suku bunga yang tinggi sehingga likuiditas tetap seret. Bahkan ketika pemerintah gembar-gembor meminta pengertian perbankan untuk menurunkan suku bunga, mereka tidak bergeming.

Ketika Amerika dan negara-negara barat lainnya harus mengeluarkan talangan triliunan dolar untuk mensubsidi sektor perbankan yang kolaps dan diiringi dengan krisis ekonomi global, ekonomi Cina tetap tumbuh secara ajaib dengan tingkat pertumbuhan 8%. Bagaimana mungkin hal itu terjadi sementara dunia mengalami resesi dan semua negara mengurangi importnya? Bukankah ekonomi Cina tertumpu pada ekspor?

Ekonomi Richard Wolff memberikan komentarnya tentang Cina sbb: "Saat ini kita memiliki situasi krisis keuangan global. Dimana-mana, komsumsi merosot. Dimana-mana orang mengurangi pembelian barang, termasuk barang-barang dari Cina. Lalu bagimana di suatu masyarakat yang sangat tergentung pada perekonomian dunia, mereka mempunyai pertumbuhan ekonomi yang pesat? Pasar saham mereka 100% lebih tinggi, tak tertandingi di belahan dunia manapun terutama Amerika dan Eropa. Bagaimana itu terjadi? Untuk memahami apa yang dikatakan orang-orang Cina, Anda harus percaya bahwa dalam hitungan bulan, paling lama setahun, mereka mampu mentranformasikan ekonomi mereka dari ekonomi berbasis ekspor menjadi ekonomi berbasis industri domestik. Negara lain memerlukan waktu setidaknya satu dekade untuk melakukan itu."

Bagaimana kebijakan stimulus Cina bisa berjalan dengan baik dan mendorong ekonomi tumbuh optimal, sementara di negara lain hal itu hanya menjadi kado segelintir pemilik modal perbankan tanpa mempengaruhi sektor riel? Jawabannya sederhana. Cina berhasil mengatur perbankannya mengikuti pertumbuhan sektor riel. Perbankan bekerja melayani publik, bukan pemilik modal. Tidak ada motif spekulasi untuk mendapatkan keuntungan cepat dan besar namun dengan resiko besar pula. Tidak ada dana-dana mengendap sebagaimana juga tidak banyak terjadi kredit macet.

Samah El-Shahat, doktor ekonomi yang bekerja untuk stasiun televisi Al Jazeera Inggris, dalam satu artikel yang ditulisnya tgl 10 Agustus lalu berjudul “China Puts People Before Banks” menulis: "Cina adalah sebuah entitas ekonomi maju dimana dikotomi antara sektor keuangan dengan sektor riel tidak terjadi. Kedua sektor tumbuh bersama-sama dan ini berkat kebijakan pemerintah mengendalikan sektor perbankan. Cina tidak membiarkan sektor perbankan tumbuh sedemikian kuat dan berpengaruh sedemikian kuat sehingga dapat mengganggu kebijakan ekonomi pemerintah. Dalam kalimat sederhana, pemerintah lebih suka melayani rakyatnya dan menempatkan kepentingan rakyat di atas kepentingan individu dan kelompok tertentu. Dan itulah sebabnya perbankan Cina mampu menyalurkan kreditnya kepada rakyat dan dunia usaha dengan tingkat yang sangat tinggi."

Apa yang disebut dengan krisis keuangan global pada dasarnya adalah krisis modal. Dan di Cina, berbeda dengan negara lain, kredit mengalir bebas, tidak hanya ke sektor keuangan namun juga ke sektor industri dan pemerintah daerah. Bank-bank BUMN menyalurkan kreditnya besar-besaran dengan daya serap tinggi dari pemerintah daerah dan perusahaan-perusahaan milik pemerintah. People’s Bank of China memperkirakan total kredit yang disalurkan selama semester pertama tahun ini mencapai $1.08 trilion, 50% lebih besar dari seluruh kredit yang disalurkan pada tahun 2008. Bank sentral Amerika juga menyediakan booming kredit, namun semuanya untuk sektor keuangan, meninggalkan sektor riel kekeringan likuiditas.

El-Shahat menambahkan, "Di Amerika dan Inggris, sektor keuangan juga mengalami booming, sementara kehidupan rakyat justru menjadi lebih buruk, pengangguran tinggi, bisnis tutup, dan pengambilalihan rumah kreditan tetap berlangsung. Wall Street (sektor keuangan) dan Main Street (sektor riel) hidup di planet yang berbeda. Di Amerikda dan Inggris, bank telah meraup dana masyarakat dan dana talangan dari pemerintah dan bank sentral hanya untuk memperbaiki struktur keuangannya sendiri daripada menyalurkannya untuk kredit masyrakat. Bank-bank telah merampok dana masyarakat dan pemerintah tidak melakukan tindakan apapun untuk menghentikannya. Dalam kenyataannya pemeerintah justru sengaja membiarkan hal itu terjadi."

Sementara itu dengan cadangan devisanya yang luar biasa besar karena kebijakan ekonominya yang efektif dan efisien, Cina sangat kuat menghadapi goncangan ekonomi yang selalu disebabkan oleh ulah spekulan. Krisis moneter Asia Timur tahun 1997, serta hancurnya pasar saham Jepang tahun 1990, serta krisis-krisis ekonomi lainnya disebabkan para spekulan yang mampu mempermaikan nilai tukar uang dengan menggunakan variabel produk-produk derivatif. Negara-negara yang mengalami krisis mencoba mempertahankan kestabilan dengan menggelontorkan likuiditas dengan menggunakan cadangan devisanya. Namun karena cadangan devisanya yang relatif kecil dibandingkan kekuatan para spekulan, langkah tersebut sia-sia belaka dan justru membuat ekonomi domestik semakin hancur.

Namun siapa yang bisa mengoyahkan ekonomi Cina yang memiliki cadangan devisa hingga triliunan dolar? Sekedar catatan cadangan devisa Indonesia hanya sekitar 60 miliar dolar.

Stabilitas ekonomi Cina disebabkan pemerintah yang mampu mengendalikan sektor perbankannya. Ini dimungkinkan karena pemerintah -lah yang memiliki sebagian besar bank-bank besar di Cina. Dan hal ini sangat ironis, karena kondisi seperti itulah yang lebih mendekati kondisi ideal. Sistem komunisme Cina sistem yang ideal?

Cina bukanlah negara komunis sebagaimana ditulis dalam buku-buku teori politik. Meski tetap mengandalkan pemerintahan yang sentralistis, mereka juga memberi kesempatan rakyatnya untuk berusaha serta menarik investor asing untuk menanamkan modalnya di Cina. Pemimpin Cina Deng Xiaoping, yang membuka Cina untuk investor asing sejak tahun 1978, pernah berkata: "tidak peduli apa warna kucing sepanjang bisa menangkap tikus. Apa saja sebutan sistem ekonomi Cina, yang pasti mereka mampu menciptakan iklim usaha dan pertumbuhan ekonomi yang mantap dan stabil.

Di sisi lain Amerika, sang pionir kapitalisme, justru tenggelam dalam sistem yang disebut "sosialisme untuk orang-orang kaya". Ketika industri bangkrut, rakyat dibiarkan berkubang dalam kesulitan. Namun saat perbankan bangkrut, rakyat harus menanggungnya dengan dana talangan sementara para bankir tetap berlenggang meneruskan praktik spekulasinya.

Bagaimana dengan Indonesia? Dengan kebijakan talangan BLBI dan talangan untuk Bank Century, Indonesia jelas meniru Amerika.

1 comment:

Unknown said...

tulisan bagus MAs CAhyo, membuka pemikiran kita smua. Yg saya tanyakan ke Mas, apakh model yg dianut China di atas bisa diterapkan di Indonesia? Mengingat setiap negara memiliki kondisi, dan keterbatasan masing2, sperti kapasitas SDM, SDA, serta kekayaan berupa cadangan uang utk pembangunan & yg lainnya. Juga kondisi politik yg ada di Indonesia sy rasa amat sangat mempengaruhi bagaimana pengambilan suatu kebijakan di bidang ekonomi itu sendiri. Tks sebelumnya