Thursday, 24 October 2013

MENGAPA NEGARA-NEGARA BANGKRUT? (3)

Seperti sudah pernah saya tulis dalam postingan-postingan ekonomi sebelumnya, mengelola negara pada dasarnya tidak berbeda jauh dengan mengelola perusahaan atau rumah tangga. Bagi perusahaan dan rumah tangga yang ingin tumbuh berkembang yang diperlukan adalah mengelola faktor produksi atau sumber daya yang dimilikinya secara efektif dan efisien. Efektif adalah memilih metode atau cara yang paling tepat untuk meningkatkan laba atau penghasilan, sedangkan efisien adalah penggunaan faktor produksi atau sumber daya yang paling hemat dan optimal.

Dalam konteks rumah tangga dan perusahaan, hal itu bisa disebutkan dalam 2 hal: kerja keras dan berhemat. Dalam konteks negara, hal itu bisa dilihat pada APBN-nya. APBN yang tepat adalah APBN yang efisien dan efektif. Efisien berarti APBN tidak boleh berimbang (pengeluaran sama dengan penerimaan) apalagi defisit (pengeluaran lebih besar dari penerimaan). Dengan kata lain APBN harus surplus. Karena dengan surplusnya APBN, pemerintah bisa menyimpan kekayaan yang bisa digunakan untuk mengatasi kondisi-kondisi darurat serta untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas pembangunan yang pada akhirnya akan memberikan kesejahteraan untuk rakyat. Sebaliknya APBN yang defisit yang harus ditalangi dengan berhutang, hanya akan menjerumuskan pemerintah dalam kubangan hutang dan mengurangi kemampuan untuk membangun.

Namun sayangnya pelajaran sederhana ini tidak pernah diberikan kepada masyarakat, bahkan kepada para mahasiswa ekonomi sekalipun. Alih-alih memberikan pelajaran tentang pentingnya pengelolaan ekonomi dan keuangan negara secara bijak, efektif dan efisien, para hamasiswa ekonomi justru dijejali dengan pemahaman liberalisme: ekonomi harus dijauhkan dari peran pemerintah, investor asing harus diberi kebebasan penuh, hutang dan defisit anggaran adalah "kebijakan", perdagangan harus dibebaskan dari "hambatan-hambatan" meski sebenarnya hambatan tersebut demi membela kepentingan nasional, dan lain sebagainya. Lebih parah lagi para mahasiswa juga diajari "teori berjudi" dan bermental spekulatif. Kesejahteraan hanya mereka pahami sebagai pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tidak peduli dengan kesenjangan ekonomi yang lebar atau pertumbuhan yang tidak banyak dirasakan oleh rakyat kebanyakan karena hanya terjadi di sektor-sektor "elit" seperti keuangan dan perbankan, telekomunikasi, dan retil.

Dan lihatlah Amerika, negara terkaya di dunia dengan pendapatan pajak pemerintahnya mencapai puluhan ribu triliun lebih per-tahun (pajak penghasilan yang berhasil diraih pemerintah dari para pekerja Amerika saja mencapai sekitar $1,5 triliun atau lebih dari Rp 15.000 triliun). Tidak ada yang tidak bisa dilakukan pemerintah dengan uang sebanyak itu untuk mensejahterakan rakyatnya. Tapi uang sebanyak itu tidak ada artinya jika pemerintah melakukan gaya hidup "besar pasak daripada tiang" alias menerapkan kebijakan defisit anggaran. Untuk membiayai pemerintahan, Amerika memaksakan diri untuk mendefisitkan anggaran belanja pemerintahannya, lebih dari $1 triliun atau lebih dari Rp 10.000 triliun per-tahun. Sebagian besar dari alokasi anggaran tersebut adalah untuk program-program yang tidak produktif seperti anggaran pertahanan yang mencapai ribuan triliun rupiah per-tahun, perjalanan dinas dan operasional inteligen yang menggurita, bailout kepada para bankir korup, membiayai shopping ibu negara Michele Obama ke Paris dengan pesawat kepresidenan, perang melawan terorisme, atau bantuan kepada negara-negara dan regim-regim otoriter seperti Israel, Bahrain, dan Mesir. Padahal jika anggaran tersebut dikurangi 50%-nya dan 50% sisanya ditabung, pemerintahan tetap bisa berjalan dan negara memiliki simpanan kekayaan yang bisa digunakan untuk mengatasi kondisi krisis atau meningkatkan pembangunan di tahun berikutnya. Memang ada yang dikorbankan, seperti para industriawan militer, namun sebagian besar rakyat memperoleh kemakmuran.

Akibatnya dari kebijakan "besar pasak" itu pemerintah Amerika justru terpuruk dalam kubangan hutang yang tidak mungkin terlunasi yang kini mencapai $17 triliun, dengan beban bunganya mencapai ratusan miliar dollar atau ribuan triliun rupiah per-tahun.

Indonesia sebagai negara ekonomi liberal tentu saja menjiplak model pembangunan Amerika yang sama sekali bertolak belakang dengan prinsip-prinsip pengelolaan ekonomi yang bijak yang mengandalkan efisiensi dan efektifitas. Akibatnya Indonesia semakin terpuruk dalam jebakan hutang yang membebani keuangan pemerintah untuk mensejahterakan rakyatnya. Saat ini hutang luar negari Indonesia telah melampaui angka Rp 2000 triliun, sebuah rekor tertinggi, dan Presiden SBY adalah yang paling bertanggungjawab dari kondisi itu. Hanya dalam waktu kurang dari 8 bulan SBY telah menambah hutang luar negeri Indonesia sebesar Rp 600 triliun.

Jadi jangan kaget jika suatu saat Indonesia pun akan mengalami kebangkrutan ekonomi seperti Yunani, dan untuk mengatasinya pemerintah "merampok" uang rakyatnya sendiri yang tersimpan di bank-bank.

Lalu bagaimana mengelola keuangan negara secara bijak?

(Bersambung)

2 comments:

Anonymous said...

Sy sudah 3 bulan ini menikmati tulisan2 anda yg menurut saya mind-blowing.. Selamat, anda secara tidak langsung menciptakan "pasukan2" anti liberalisme, yg nantinya sampai juga melibas zionisme yg ada di dunia! Cheers :)

cahyono adi said...

To gemesdeh
terima kasih atas atensinya.