Saturday 1 February 2020

Palestina Marah Pada Arab yang Bungkam Soal Rencana Damai Amerika

Indonesian Free Press -- Perdana Menteri Palestina Ismail Haniyeh marah pada sikap negara-negara Arab yang dianggap mendukung rencana damai Amerika dengan sikap mereka yang bungkam.

Seperti dilaporkan Sputnik News, Kamis (30 Jan), dalam surat yang dikirimkan kepada pimpinan negara-negara Arab setelah pengumuman rencana damai Amerika, mengancam bahwa rakyat Palestina tidak akan pernah melupakan pengkhianatan pemimpin-pemimpin Arab atas dukungan mereka pada rencana damai Amerika yang merugikan Palestina.

Surat tersebut dikirim melalui Sekjend Liga Arab Ahmed Aboul Gheit, ketua organisasi kerjasama Islam OIC Yusuf bin Ahmed al-Uthaymeen dan ketua Komisi Uni Afrika Moussa Faki Mahamat.  


Dalam surat tersebut Haniyeh menyebut dukungan atas rencana Amerika sebagai 'karat yang tidak bisa hilang' dan 'kejahatan sejarah terhadap rakyat Palestina'.

Ia menekankan perlunya sikap keras terhadap standar bias yang dipraktikkan pemerintah Amerika yang hanya menguntungkan zionis Israel dan skema pendudukan atas tanah suci Palestina. Bagi Palestina sendiri, sebut Haniyeh, kini semua sikap adalah legal untuk menghadang rencana jahat terhadap keberadaan Palestina, negarinya, rakyatnya, sejarah dan identitasnya.

Haniyeh kemudian mengadakan pertemuan dengan pemimpin Otoritas Palestina Mahmoud Abbas dan membuat pernyataan bersama untuk menolak rencana Amerika tersebut.

Presiden Donald Trump mengumumkan rencana tersebut pada hari Selasa (28 Jan) di Gedung Putih bersama dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Saat itu Trump menyebut bahwa Jerussalem adalah ibukota Israel sepenuhnya yang tidak terbagi. 

Rencana Amerika mendapat penolakan keras dari Palestina dan pemimpin-pemimpin dunia yang masih memiliki rasa cinta keadilan dan perdamaian karena rencana ini telah mengabaikan sama sekali hak-hak Palestina, termasuk status Jerussalem sebagai ibukota Palestina bersama Masjidil Aqsa di dalamnya, batas wilayah Palestina, hak kembali bagi jutaan pengungsi Palestina serta keamanan bagi warga Palestina. 

Philip Luther, Direktur Amnesty International untuk wilayah Timteng dan Afrika Utara menyebut rencana itu telah 'mengabaikan keadilan internasional' terutama setelah pengadilan kriminal internasional (International Criminal Court/ICC) bulan lalu memutuskan untuk melakukan penyidikan atas kejahatan perang oleh Israel di wilayah Palestina. Sementara Presiden Iran Hassan Rouhani mengutuk rencana tersebut dan menyebutnya sebagai 'rencana yang paling harus ditolak abad ini' sebagai ejekan atas klaim Amerika bahwa rencana tersebut sebagai 'kesepakatan abad ini'.

Namun, di sisi lain para pemimpin Arab yang sebelumnya gencar mendesak Palestina untuk memulai perundingan dengan Israel, justru bungkam atas rencana tersebut. Financial Times, hari Kamis (30 Jan), menulis laporan berjudul 'Arab states voice muted reaction to Trump’s peace plan Response reflects conflict fatigue and desire to secure relations with White House', menyebut sikap bungkam tersebut menunjukkan negara-negara Arab tidak ingin putus hubungan dengan Amerika meski harus mengorbankan Palestina.(ca)

No comments: