Monday 11 May 2009
Mengapa Harus Boediono
Suatu hari di tahun 1990-an, saya tengah melihat nilai ujian mata kuliah Ekonomi Indonesia yang diajar oleh Dr Boediono. Saya sangat optimis bahwa nilai ujian saya tidak mengecewakan karena bisa menjawab pertanyaan dengan baik dengan disertai data-data dan analisa yang cukup. Namun saya terkejut dan kecewa karena nilai yang saya dapat tidak seperti yang diharapkan. Saya hanya dapat nilai C, sementara rata-rata teman mendapat nilai B.
Dengan tertunduk saya berjalan pulang. Di tengah jalan saya bertemu dengan teman saya, Gunawan, yang “cengar-cengir” melihat ke arah saya, mungkin karena sudah melihat hasil ujianku. Dan sebelum saya mengatakan apa yang ada di pikiran, ia sudah berkata: “Kan sudah saya ingatkan, jangan gunakan buku Sritua Arief sebagai referensi,” katanya.
Saya heran sekaligus penasaran dengan perkataan Gunawan, dan sebelum saya mencecarnya dengan pertanyaan-pertanyaan ia langsung memberikan penjelasan. Menurutnya nilai mengecewakan yang saya dapatkan disebabkan pandangan yang berbeda secara ekstrim antara Dr Budiono dan Dr Sritua Arief. Menurutnya Dr Budiono adalah agen kapitalis yang mendukung prinsip persaingan bebas tanpa campur tangan pemerintah, sementara Dr Sritua Arief adalah seorang idealis yang cenderung pada paham sosialis yang menginginkan peran pemerintah dalam menggerakkan perekonomian demi kepentingan rakyatnya. Sebagai salah satu dalilnya Gunawan menyebutkan track record pendidikan Dr Budiono yang di antaranya adalah di Wharton School, sebuah sekolah bisnis elit Amerika.
Seiring berjalannya waktu, pandangan saya semakin terbuka tentang peranan agen-agen kapitalis yang bekerja untuk para pemilik modal dari luar-negeri dengan bekerja sebagai teknokrat seperti Dr Boediono atau anggota Mafia Barkeley yang mengendalikan perekonomian Indonesia setelah Soeharto berkuasa. Dan kesadaran tersebut semakin tebal setelah munculnya buku Confessions of an Economic Hit Man yang ditulis John Perkins. Buku yang sebenarnya sudah terbit tahun 2004 namun baru diterjemahkan ke bahasa Indonesia tahun 2005 itu semakin menanamkan kesadaran penulis bahwa selama ini kita telah ditipu mentah-mentah oleh para kapitalis asing dan kroni-kroninya dan telah dikondisikan sedemikian rupa untuk tidak bisa melawan.
Dan kini nama Boediono tanpa jelas asal-usulnya, tidak ada ormas maupun parpol yang mencalonkan, tiba-tiba muncul sebagai salah satu kandidat wakip presiden. Tidak ada lain, munculnya nama Boediono karena karena "aspirasi" kapitalis asing yang telah membina Boediono sejak di Wharton School, kemudian diwacanakan oleh media massa penyambung lidah mereka.
Untuk mengetahui apa "jasa" Boediono bagi Indonesia, artikel berikut ini adalah sebuah referensi yang baik. Sekedar catatan, Asian Development Bank (ADB) sama sekali bukan bank pembangunan milik negara-negara Asia. Bank ini sepenuhnya milik bank-bank swasta kapitalis barat, hanya bajunya saja menggunakan jubah kerjasama internasional. Sebagaimana bank-bank swasta lainnya, hidupnya dari bunga riba yang dibayar oleh para debitornya, yaitu negara-negara miskin Asia.
Dan bila masih meragukan misi apa sebenarnya yang dibawa oleh Boediono, Sri Mulyani, Anggito Abimanyu dan para ekonom birokrat lainnya, tanyakan kepada mereka langsung ke pokok permasalahan: program apa yang akan dilakukan untuk menghapuskan hutang nasional dan kapan targetnya. Dipastikan mereka akan menjawab berputar-putar tanpa menyentuh inti pertanyaan.
===========================
ADB, Hutang, dan Penjajahan Indonesia
Hizbut Tahrir Indonesia
(Dimuat pada situs Sabili Cyber, tgl 10 Mei 2009)
Agenda Sidang Tahunan ADB sejatinya melahirkan satu pertanyaan: Apakah Indonesia bisa sejahtera dengan terus menumpuk utang?
Saat pembukaan Sidang Tahunan ke-42 Bank Pembangunan Asia (ADB) di Nusa Dua Bali, Senin (4/5), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyerukan pemulihan ekonomi dunia dengan melakukan langkah inovatif (baru) dan tegas. Langkah itu antara lain mendorong lembaga keuangan Internasional menerbitkan produk pembiayaan baru yang disesuaikan dengan kebutuhan di setiap negara (Kompas, 5/5).
Indonesia, sejak bergabung dengan ADB tahun 1966, telah menerima 297 pinjaman senilai 23,5 miliar dolar AS dan 498 proyek bantuan teknis sebesar 276,6 juta doalar AS. Pada periode 2000-2007, rata-rata pinjaman tahunan ADB untuk Indonesia tak kurang dari 700 juta dolar AS. Bahkan pada tahun 2008 ADB mengelontorkan utang sebesar 1,085 miliar dolar AS (Republika, 4/5).
Agenda Sidang Tahunan ADB sejatinya melahirkan satu pertanyaan: Apakah Indonesia bisa sejahtera dengan terus menumpuk utang? Jelas tidak!
Rp 106 Juta Perkepala!
“Tak ada negara yang menjadi sejahtera karena utang,” ujar Gantam Bangyopadhyay dari Nadi Ghati Morcha, yang bekerja untuk masyarakat adat di Chhattisgarh, India. Namun, inilah fakta Indonesia. Penguasanya tidak pernah belajar dari pengalaman. Berutang sudah menjadi bagian dari budaya. Pada akhir pemerintahan Presiden Soekarno tahun 1966, utang luar negeri Indonesia 2,437 miliar dolar AS. Jumlah ini meningkat 27 kali lipat pada akhir pemerintahan Presiden Soeharto Mei 1998, dengan nilai 67,329 miliar dolar. Pada akhir tahun 2003 utang itu menjadi 77,930 miliar dolar AS. Menjelang akhir tahun 2008—memasuki akhir masa kepemimpinan SBY-JK—utang Indonesia sudah mencapai 2.335,8 miliar dolar. Selain karena penambahan utang baru, hal itu terjadi sebagai dampak langsung dari terpuruknya nilai tukar rupiah terhadap tiga mata asing utama: Yen Jepang, Dolar AS dan Euro. Padahal bulan Juni 2008 utang luar negeri Indonesia masih 1,780 miliar dolar. (Kompas, 24/11/2008).
Konsekuensinya, cicilan utang yang harus dibayar Indonesia tahun 2009 adalah sebesar 22 miliar dolar, sama dengan Rp 250 triliun. Cicilan utang Pemerintah 9 miliar dolar dan cicilan utang swasta 13 miliar dolar. Di antara utang Pemerintah itu, uang luar negeri yang jatuh tempo pada 2009 senilai Rp 59 triliun (Kompas, 24/11/2008).
Cicilan tahun 2009 sebesar itu, kalau kita bagi dengan jumlah penduduk Indonesia (± 230 juta jiwa), sama dengan Rp 1.086.000/jiwa. Jumlah ini masih lebih besar dibandingkan dengan UMR DKI Jakarta sebesar Rp 1.069.865. Kemudian, andai Indonesia mau melunasi seluruh utangnya, maka penduduk negeri ini masing-masing harus membayar Rp 106 juta perkepala!
Bahaya Utang
Beberapa bahaya yang tampak dari kebijakan Pemerintah Indonesia dengan terus menumpuk utang luar negeri bisa dilihat dari dua aspek: ekonomi dan politik.
1. Aspek ekonomi.
Pertama: cicilan bunga utang yang makin mencekik. Apalagi ADB menolak untuk menurunkan bunga pinjaman (saat ini sekitar 1% pertahun dengan masa tenggang 8 tahun dan 1,5% setelah masa tenggang berakhir).
Kedua: hilangnya kemandirian ekonomi. Sejak ekonomi Indonesia berada dalam pengawasan IMF, Indonesia ditekan untuk melakukan reformasi ekonomi—program penyesuaian struktural—yang didasarkan pada Kapitalisme-Neoliberal. Reformasi tersebut meliputi: (1) campur-tangan Pemerintah harus dihilangkan; (2) penyerahan perekonomian Indonesia kepada swasta (swastanisasi) seluas-luasnya; (3) liberalisasi seluruh kegiatan ekonomi dengan menghilangkan segala bentuk proteksi dan subsidi; (4) memperbesar dan memperlancar arus masuk modal asing dengan fasilitas yang lebih besar (Sritua Arief, 2001).
Di bawah kontrol IMF, Indonesia dipaksa mengetatkan anggaran dengan pengurangan dan penghapusan subsidi, menaikkan harga barang-barang pokok dan pelayanan publik, meningkatkan penerimaan sektor pajak dan penjualan aset-aset negara dengan cara memprivatisasi BUMN.
Pada tahun 1998 saja Pemerintah telah menjual 14% saham PT Semen Gresik kepada perusahaan asing, Cemex; 9,62% saham PT Telkom; 51% saham PT Pelindo II kepada investor Hongkong; dan 49% saham PT Pelindo III kepada investor Australia. Tahun 2001 Pemerintah lagi-lagi menjual 9,2% saham Kimia Farma, 19,8% saham Indofarma, 30% saham Socufindo dan 11,9% saham PT Telkom.
Pada tahun 2007, Wapres Jusuf Kalla mengemukakan bahwa dari 135 BUMN yang dimiliki Pemerintah, jumlahnya akan diciutkan menjadi 69 di tahun 2009, dan 25 BUMN pada tahun 2015 (Antara, 19/2/2007). Artinya, sebagian besar BUMN itu bakal dijual ke pihak swata/asing.
2. Aspek politis.
Abdurrahaman al-Maliki (1963), dalam Kitab As-Siyâsah al-Iqtishâdiyah al-Mutslâ/Politik Ekonomi Ideal, hlm. 200-2007), mengungkap lima bahaya besar utang luar negeri. Pertama: membahayakan eksistensi negara. Pasalnya, utang adalah metode baru negara-negara kapitalis untuk menjajah suatu negara. Tidak bisa dipungkiri, dulu Inggris tidak menjajah Mesir, Prancis tidak menjajah Tunisia, negara-negara Barat tidak meluaskan penguasaannya atas Khilafah Utsmaniah pada akhir masa kekuasaannya melainkan dengan jalan utang. Akibat utang yang menumpuk, Khilafah Utsmaniyah yang begitu disegani dan ditakuti oleh Eropa selama lima abad akhirnya menjadi negara yang lemah dan tak berdaya.
Kedua: sebelum utang diberikan, negara-negara pemberi utang biasanya mengirimkan pakar-pakar ekonominya untuk memata-matai rahasia kekuatan/kelemahan ekonomi negara tersebut dengan dalih bantuan konsultan teknis atau konsultan ekonomi. Saat ini di Indonesia, misalnya, sejumlah pakar dan tim pengawas dari IMF telah ditempatkan pada hampir semua lembaga pemerintah yang terkait dengan isi perjanjian Letter of Intent (LoI) (Roem Topatimasang, Hutang Itu Hutang, hlm. 9). Ini jelas berbahaya.
Ketiga: membuat negara pengutang tetap miskin karena terus-menerus terjerat utang yang makin menumpuk dari waktu ke waktu. Kenyataan ini sudah sejak lama diakui. Pada tanggal 12 Juli 1962, William Douglas, misalnya, salah seorang hakim Mahkamah Agung Amerika, menyampaikan pidato pada pertemuan Massonri (Freemansory) di Seattle. Dia menjelaskan, “Banyak negara yang kondisinya terus bertambah buruk akibat bantuan Amerika yang mereka terima.” (Al-Maliki, ibid., hlm. 202-203).
Dalam konteks Indonesia, jujur harus diakui, sejak pemerintahan Soekarno hingga SBY, pengelolaan negeri ini melalui hutang luar negeri tidak pernah bisa memakmurkan rakyat. Dengan mengikuti standar Bank Dunia, yakni pendapatan perhari sekitar 2 dolar AS (Rp 20 ribu/hari) maka ada ratusan juta penduduk miskin di Indonesia saat ini. Ironisnya, mereka juga saat ini menanggung utang Rp 106 juta perkepala.
Keempat: utang luar negeri pada dasarnya merupakan senjata politik negara-negara kapitalis kafir Barat terhadap negara-negara lain, yang kebanyakan merupakan negeri-negeri Muslim. Dokumen-dokumen resmi AS telah mengungkapkan bahwa tujuan bantuan luar negeri AS adalah untuk mengamankan kepentingan AS sendiri. Dalam dokumen USAID Strategic Plan for Indonesia 2004-2008, misalnya, disebutkan bahwa lembaga bantuan Amerika Serikat ini bersama Bank Dunia aktif dalam proyek privatisasi di Indonesia. Bank Pembangunan Asia (ADB) dalam News Release yang berjudul, Project Information: State-Owned Enterprise Governance and Privatization Program, tanggal 4 Desember 2001, juga memberikan pinjaman US$ 400 juta untuk program privatisasi (penjualan) BUMN di Indonesia.
Sejahtera Tanpa Utang
Sebetulnya banyak cara agar negeri ini bisa makmur dan sejahtera tanpa harus terjerat utang. Namun, dalam ruang yang terbatas ini, paling tidak ada dua cara yang bisa ditempuh. Pertama: penguasa negeri ini harus memiliki kemauan dan keberanian untuk berhenti berutang. Utang jangan lagi dimasukkan sebagai sumber pendapatan dalam APBN. Penguasa negeri ini juga harus berani menjadwal kembali pembayaran utang. Anggaran yang ada seharusnya difokuskan pada pemenuhan berbagai kebutuahan rakyat di dalam negeri. Cicilan utang harus ditanggguhkan jika memang menimbulkan dharar (bahaya) di dalam negeri. Bahkan bunganya tidak boleh dibayar karena termasuk riba, sementara riba termasuk dosa besar. Allah SWT berfirman:
(Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba (QS al-Baqarah: 275).
Kedua: penguasa negeri ini harus berani mengambil-alih kembali sumber-sumber kekayaan alam yang selama ini terlanjur diserahkan kepada pihak asing atas nama program privatisasi. Sebab, jujur harus diakui, bahwa pada saat Pemerintah tidak memiliki kemampuan untuk membiayai APBN secara layak dan terjebak utang, swasta dan investor asing justru menikmati pendapatan tinggi dari sektor-sektor ekonomi yang seharusnya dimiliki bersama oleh masyarakat. Misal: perusahaan Exxon Mobil, yang menguasai sejumlah tambang migas di Indonesia, pada tahun 2007 memiliki penghasilan lebih dari 3 kali lipat APBN Indonesia 2009. Keuntungan bersih Exxon Mobil naik dari 40,6 miliar dolar pada tahun 2007 menjadi 45,2 miliar dolar tahun 2008 (Investorguide.com, Exxon Mobil Company Profile). Ini baru di sektor migas.
Di sektor pertambangan, ada PT Freeport, yang menguasai tambang emas di bumi Papua. Tambang emas di bumi Papua setiap tahun menghasilkan uang sebesar Rp 40 triliun. Sayang, kekayaan tersebut 90%-nya dinikmati perusahaan asing (PT Freeport) yang sudah lebih dari 40 tahun menguasai tambang ini. Pemerintah Indonesia hanya mendapatkan royalti dan pajak yang tak seberapa dari penghasilan PT Freeport yang luar biasa itu (Jatam.org, 30/3/07).
Selain itu, masih banyak sektor lain yang selama ini juga dikuasai asing. Padahal penguasaan kekayaan milik rakyat oleh swasta, apalagi pihak asing, telah diharamkan secara syar’i. Rasulullah saw. bersabda:
"Kaum Muslim bersekutu (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: padang gembalaan, air dan api." (HR Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad).
Sebagai kepala negara, dulu Rasulullah saw. juga pernah menarik kepemilikan atas tambang garam—yang memiliki cadangan dalam jumlah besar—dari sahabat Abyadh bin Hummal (HR at-Tirmidzi). Ini merupakan dalil bahwa negara wajib mengelola secara langsung tambang-tambang yang menguasai hajat hidup orang banyak dan tidak menyerahkan penguasaannya kepada pihak lain (swasta atau asing). Lalu hasilnya digunakan untuk kepentingan rakyat seperti pembiayaan pendidikan dan kesehatan gratis; bisa juga dalam bentuk harga minyak dan listrik yang murah.
Hanya dengan dua cara ini saja, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat yang didambakan akan terwujud. Syaratnya, penguasa negeri ini, dengan dukungan semua komponen umat, harus berani menerapkan syariah Islam untuk mengatur semua aspek kehidupan masyarakat, khususnya dalam pengelolaan ekonomi. Penerapan syariah Islam secara total dalam semua aspek kehidupan ini tentu tidak akan pernah bisa diwujudkan kecuali di dalam institusi Khilafah Islamiyah. Inilah jalan baru untuk Indonesia yang lebih baik, bukan terus-menerus mempertahankan kapitalisme-sekularisme, tergantung kepada IMF, Bank Dunia, ABD, dan sejenisnya yang ternyata menjadi alat penjajahan. [Al-Islam 454]
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment