Monday 6 July 2009

Iran, Batu Sandungan Agenda Besar Amerika


Beberapa minggu setelah terjadinya Tragedi WTC tgl 11 September 2001, kolumnis Washington Post dan salah satu dedengkot aliran neo-konservatif, Charles Krauthammer, membuka rahasia agenda politik Amerika di Timur Tengah. Agenda tersebut adalah penggantian regim penguasa di enam negara timur tengah yang dianggap mengancam kepentingan Amerika dan keamanan Israel. Negara-negara itu adalah Afghanistan, Iraq, Iran, Syria, Libya, dan Palestina.

Kita telah melihat agenda tersebut telah dilaksanakan secara gamblang di Afghanistan dan Irak. Pelestina juga telah mengalami pergantian kekuasaan dengan meninggalnya Yasser Arafat melalui sebuah konspirasi politik yang keji. -- Sebelumnya Arafat dikepung di kantornya selama berbulan-bulan oleh tentara Israel. Kemudian dalam kondisi sakit karena racun yang diberikan Israel, Arafat diterbangkan ke Perancis hanya untuk menjemput maut.

Selanjutnya pemimpin Libya Moammar Khadaffi yang melihat bahaya mengancam menyusul , melakukan negosiasi dengan Amerika-Inggris. Pada bulan Januari 2004 ia menyetujui persyaratan yang diajukan Amerika untuk menghindari serbuan Amerika: mengganti kerugian peristiwa insiden pemboman pesawat di Lockerbie senilai $3 miliar, menandatangani pakta pelarangan senjata kimia, menghentikan program pengembangan senjata pemusnah massalnya serta menyerahkan peralatan senjata pemusnah massalnya ke Amerika.

Sementara itu Syria, paska terusir dari Lebanon tahun 2005, terus mengalami tekanan politik dan ekonomi serta ancaman perang dari Amerika dan Israel, termasuk serangan kilat Israel terhadap instalasi penelitian nuklirnya, akhir tahun lalu. Bersama Iran, Syria adalah negara yang belum mengalami pergantian kekuasaan.

Namun Iran adalah sasaran yang paling sulit untuk ditaklukkan. Dan ironisnya di bawah tekanan Amerika yang semakin membesar, pengaruh Iran justru semakin kuat di kawasan timur tengah. Sejak tahun 2004 misalnya, Iran berhasil menanamkan pengaruh kuat pada regim penguasa Irak dan kubu oposisi sekaligus (milisi Muqtada Sadr. Iran mampu meyakinkan Muqtada Sadr untuk menghentikan perlawanan bersenjata terhadap pemerintah Irak), justru pada saat pasukan Amerika dan sekutunya masih bercokol di negeri itu. Keberhasilan Hizbollah menahan serangan Israel dalam Perang Lebanon 2006 juga membuat pengaruh Iran yang merupakan patron dari Hizbollah, semakin kuat saja.

Setelah pelantikan George W Bush untuk periode pemerintahan kedua bulan Januari 2005, Dewan Kemanan Nasional Amerika terlibat dalam perdebatan internal yang intensif mengenai bagaimana Iran akan diperlakukan. Pilihannya hanya dua, yaitu cara persuasif (diplomasi dan inteligen) atau cara kekerasan (serangan militer). Wapres Dick Cheney dan Menhan Donald Rumsfeld adalah pihak yang menyerukan tindakan keras. Sementara menlu Condoleezza Rice yang didukung oleh perdana menteri Inggris Tony Blair menyerukan cara doplomasi. Sementara para jenderal angkatan perang Amerika berpihak kepada Condoliza Rice dengan alasan serangan terhadap Iran akan mengancam posisi militer Amerika di Irak yang saat itu belum dapat dikendalikan sepenuhnya.

Selama pemerintahan George W Bush, Congress Amerika menyetujui anggaran senilai $400 lebih untuk melakukan operasi inteligen di Iran yang ditujukan untuk melemahkan regim garis keras Iran dan memungkinkan munculnya penguasa baru yang lebih pro-Amerika. Program tersebut meliputi pemberian dukungan inteligen dan militer kepada kelompok-kelompok pemberontak Iran. Namun pada tahun 2008 program itu juga meliputi pengembangan software untuk mengacak-acak situs-situs pemerintah Iran dan software anti-sensor untuk melumpuhkan sensor terhadap situs-situ anti pemerintah Iran.

Pada tgl 24 Mei 2007, Brian Ross, seorang wartawan investigatif ABC News membocorkan cerita tentang program-program sofware yang digunakan CIA atas seijin Presiden Bush untuk melumpuhkan pemerintah Iran. "Beberapa pejabat dan mantan pejabat CIA mengaku kepada kami bahwa CIA telah mendapat persetujuan rahasia dari presiden untuk melancarkan propaganda dan operasi inteligen untuk meruntuhkan regim Iran, dan operasi ini masih berlangsung." kata Ross seraya menambahkan bahwa operasi rahasia tersebut juga meliputi penulisan artikel-artikel negatif tentang Iran di media-media massa serta mempermainkan mata uang Iran untuk melemahkan sendi ekonomi Iran.

Sementara itu pada tgl 27 Mei lalu koran Inggris Daily Telegraph menulis tentang operasi inteligen CIA untuk mendestabilisasikan Iran. Rencana yang mendapat ijin presiden Bush itu juga meliputi perekrutan dan penggalangan data inteligen dari komunitas keturunan Iran yang tinggal di Amerika, tindakan yang selama ini hanya boleh dilakukan oleh kepolisian federal FBI. Dalam artikel Daily Telegraph tersebut seorang pejabat CIA mengatakan, "Warga keturunan Iran yang tinggal di Amerika masih memiliki hubungan dengan keluarga mereka di Iran, dan mereka merupakan sumber informasi dua arah yang menguntungkan."

Salah satu bagian dari program CIA tersebut adalah menyuplai dana dan persenjataan kepada kelompok-kelompok pemberontak Sunni Iran seperti Jundullah yang sering melakukan aksi serangan melalui basis mereka di Pakistan.

Sejak tahun 2007 pemerintah Iran telah menangkap belasan anggota kelompok pemberontak ini. Namun menjelang pemilu tgl 12 Juni lalu mereka secara intensif melakukan berbagai aksi kekerasan, termasuk pemboman yang menewaskan 20 orang dua minggu sebelum pemilu, juga aksi pemboman terhadap markas kampanye presiden Ahmadinejad.

Selain Jundullah, kelompok pemberontak lain yang mendapatkan bantuan CIA adalah Mujahidin Khalq yang oleh Amerika mendapat "perlindungan" di Irak meski ironisnya organisasi ini masuk dalam daftar organisasi teroris versi Amerika sejak tahun 1997. Artikel tersebut juga mengutip pernyataan mantan pejabat deplu Amerika yang sekarang bekerja untuk lembaga kajian Inggris, International Institute for Strategic Studies, yang mengatakan bahwa sabotase adalah pilihan strategis untuk menghambat program nuklir Iran. "Tanpa aksi militer, tanpa jejak terlihat."

Daily Telegraph juga mengutip pernyataan pejabat tersebut yang mengatakan bahwa CIA juga menyediakan perlengkapan komunikasi canggih yang mampu mengorganisir kelompok-kelompok oposisi Iran sekaligus mengatasi program sensor internet yang dilakukan pemerintah. Perlu dicatat bahwa program inteligen CIA ini di luar anggaran kementrian luar negeri yang khusus ditujukan untuk menangani masalah di Iran yang mencapai $400 juta tahun ini. Sejak tahun 2006 program destabilisasi Iran mencapai $1 miliar lebih.

Selama dasawarsa 1980-an pemerintah Amerika dan CIA sangat aktif terlibat dalam gerakan "demokrasi" di Eropa timur yang berujung pada penggulingan pemerintah untuk digantikan dengan pemerintahan baru yang pro-Amerika. Fenomena ini telah banyak ditulis dalam berbagai buku kajian politik maupun biografi tokoh-tokoh politik yang terlibat. Mantan penasihat keamanan Amerika, Dr. Zbigniew Brzezinski, dalam sebuah wawancara dengan televisi CNN tahun 2009 mengakui tentang keterlibatan Amerika dalam gerakan "Solidarity" yang dipimpin oleh Lech Wallesa di Polandia. "I was up to my ears in dealing with it and trying to steer it and manipulate it," katanya tentang hal itu. Mengenai keterlibatan Amerika di Iran, Brzezinski mengatakan bahwa Amerika menginginkan perubahan rejim di Iran karena hal itu akan memberikan keuntungan bagi Amerika. Namun untuk itu diperlukan "manipulasi inteligen".

Pada tgl 28 Juni lalu, CNN mewawancarai mantan pejabat senior CIA Bob Baer tentang keterlibatan Amerika dalam konflik di Iran. Bob mengatakan, "Sudah tentu (Amerika terlibat). Ada program inteligen di Iran yang tengah berjalan, yang dilakukan dari Iran dan Afghanistan."

Melalui LSM-LSM bentukan pemerintah Amerika seperti National Endowment for Democracy (NED) ataupun USAID, Amerika terlibat aktif sebagai tulang punggung gerakan "demokrasi" di Eropa timur dan Asia yang berhasil menggulingkan beberapa pemerintahan melalui beberapa revolusi: Revolusi Oranye (Ukraine), Revolusi Mawar (Georgia), Revolusi Tulip (Kyrgyzstan), dan Revolusi Cedar (Lebanon). Amerika juga menggerakkan Revolusi Saffron (Burma) sebagaimana juga Revolusi Hijau di Iran yang keduanya mengalami kegagalan.

Media massa Inggris the Guardian menyebutkan keterlibatan USAID, National Endowment for Democracy (NED), International Republican Institute (IRI), National Democratic Institute for International Affairs, dan Freedom House terlibat langsung dalam revolusi-ravolusi ini. Media massa utama Amerika seperti Washington Post dan New York Times juga menyebutkan hal yang sama.

Menurut pengakuan Saeed Behbahani, tokoh opososan Iran yang tinggal Amerika dan pendiri televisi Mihan TV di Washington D.C. pemerintah Amerika menjalin komunikasi intensif dengan kandidat presiden dari kubu oposisi yang pro-Amerika, Mir Hossein Mousavi awal Juni lalu. Menurut pengakuannya menjelang pemilu Iran, seorang utusan menlu Hillary Clinton telah bertemu dengan tim sukses Mousavi, Mehdi Khazali di Dubai. Sehari kemudian Khazali mendapatkan sesi wawancara di Voice of America yang mengklaim dilihat oleh 15 juta pemirsa di seluruh Iran.

Campur tangan media massa dalam politik Iran terutama menjelang dan setelah pemilu tgl 12 Juni lalu sangatlah gamblang. Di sisi lain mereka juga secara gamblang telah melakukan standar ganda dalam peliputannya. Mereka diam seribu bahasa melihat kecurangan dalam pemilu di Mesir, misalnya, yang sangat jauh dari demokratis. Sebaliknya mereka gencar menuduh pemilu di Iran, negara paling demokratis di timur tengah, berlangsung curang.

Pada bulan November 2005 lalu Mesir menyelenggarakan pemilu setelah puluhan tahun negeri ini dipimpin oleh seorang diktator Hosni Mubarak. Ketika kubu oposisi yang dimotori oleh partai Gerakan Kefaya (cukup) dan Ihwanul Muslimin memenangkan tahap pertama pemilu (di Mesir pemilu dilakukan tiga tahap untuk memungkinkan pemerintah leluasa mengatur hasilnya), pemerintah melakukan aksi penangkapan besar-besaran terhadap para kandidat oposisi. Ribuan rakyat turun ke jalan memprotes aksi-aksi barbar pemerintah dan pemerintah menumpasnya dengan keras, dan media massa barat diam seribu bahasa.

Lebih jauh lagi ketika Israel melakukan aksi biadabnya selama penyerbuan ke Gaza yang menelan nyawa 1.400 rakyat sipil dan melukai 5.000 lainnya (sepertiganya adalah anak-anak) hingga memicu aksi demonstrasi besar-besaran di seluruh dunia, media massa barat tidak begitu antusias memberitakannya sebagaimana mereka memberitakan aksi-aksi demonstrasi kubu oposisi di Iran.

Salah satu bias pemberitaan media massa barat atas pemilu di Iran adalah masalah tingkat pemilih yang lebih tinggi dari jumlah penduduk di beberapa wilayah. Kubu oposisi mengklaim hal itu menunjukkan adanya penambahan suara yang sengaja dilakukan pemerintah untuk memenangkan diri. Namun sebenarnya tidak demikian yang terjadi. Tidak seperti di negara lain yang menganut sistem distrik, di Iran seseorang tidak diwajibkan melakukan pemilihan di tempat tertentu. Mereka berhak melakukan pemilihan di mana saja di seluruh wilayah Iran dengan menggunakan kartu pemilihan yang diberikan panitia pemilu. Setelah memilih buku pemilihan distempel dan dicap jempol untuk mencegah adanya pemilihan dobel. Di daerah-daerah tertentu di mana banyak terdapat pendatang yang melakukan kegiatan bisnis, atau wisatawan yang berlibur di musim panas, angka peserta pemilu jelas lebih tinggi dari jumlah penduduknya.

Sebenarnya masalah ini telah dijelaskan dengan gamblang pada tgl 22 Juni oleh Abbas Kadkhodaei, juru bicara Guardian Council (GC), lembaga yang menangani masalah pertikaian pemilu di Iran. Namun media massa barat mengabaikan penjelasan tersebut dan tetap menyebut-nyebut kecurangan pemilu.

Kadkhodaei juga telah menjelaskan kelemahan klaim Mousavi yang menyebutkan terjadi kesalahan penghitungan di 170 kota dengan jumlah yang cukup signifikan untuk mengubah hasil akhir dan memenangkan pihaknya atas kubu Ahmadinejad. Menurut Kadkhodaei "kesalahan" hanya terjadi di 50 kota dengan jumlah suara hanya 3 juta suara yang tidak cukup signifikan untuk mengubah hasil akhir dimana Ahmadinejad memenangkan 63% suara dan Mousavi hanya 37%. Masih menurut Kadkhodaei jumlah 3 juta suara itu adalah milik para pemilih yang tidak memilih di tempat tinggal atau distriknya.

Apa yang kemudian dilaporkan oleh media massa barat dari penjelasan tersebut di atas? German News Agency diikuti Reuters dalam hitungan menit langsung mengabarkan bahwa Guardian Council mengakui adanya kesalahan penghitungan di 50 kota sehingga menimbulkan kesan bahwa pemilu di Iran memang berlangsung penuh kecurangan. Sehari kemudian semua koran di barat memberitakan hal sama dengan Reuters.

Kelompok oposisi dengan dukungan barat membanjiri yahoo messanger, Facebook, Twitter, YouTube, dan blog-blog politik dengan pesan-pesan tentang "kecurangan pemilu Iran". Menlu Amerika Hillary Clinton pun menelepon administrator Twitter untuk mengubah waktu peng-up date-an situsnya demi menyesuaikan dengan waktu Iran dan kalangan oposisi dapat memanfaatkannya secara maksimal.

Namun hal yang paling menyolok yang menunjukkan peranan barat dalam aksi aksi demonstrasi di Iran adalah: sebagian besar spanduk yang dibawa para demonstran adalah berbahasa Inggris: "Where is my vote?". Mungkin bahkan spanduk itu dicetak di Amerika dan dibagi-bagikan untuk para demonstran.

Menurut studi yang dilakukan situs www.chartingstocks.net, dalam masa tiga hari setelah pemilu, mayoritas pengguna Tweeter (lebih dari 30.000), adalah berasal dari barat mencapai 99,4% (Amerika mencapai 44%), dan pengguna dari Iran sendiri hanya 0,6%.

Dalam satu wawancara dengan BBC tgl 19 Juni, mantan menlu AS yang aktif dalam lembaga-lembaga LSM "demokrasi", Henry Kissinger, mengungkapkan peranan mendalam para politisi Amerika atas Iran. Ia mengatakan, "If it turns out that it is not possible for a government to emerge in Iran that can deal with itself as a nation rather than as a cause, then we have a different situation." Dapat diterjemahkan sebagai, "Jika kandidat yang kita sukai tidak muncul sebagai pemenang setelah kita dukung dengan kekuatan lunak kita, maka kita mungkin harus mengupayakan pergantian regim Iran dengan menggunakan kekuatan militer."

Kemudian ia menambahan, "Namun saya tahu presiden kita dengan baik. Beliau tidak menginginkan keterlibatan kita tampak nyata."

No comments: