Sunday 4 April 2010

PPATK, BI, Kepentingan Siapa?


Nama PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) menjadi sangat populer menyusul terkuaknya skandal Bank Century akhir tahun lalu, dan kini semakin populer saja karena menjadi whistle blower mega-kasus makelar pajak Gayus Tambunan.

Kasus terakhir ini berawal dari informasi yang diberikan PPATK kepada Polri mengenai transaksi keuangan mencurigakan pada rekening Gayus Tambunan, seorang petugas muda Dirjen Pajak golongan IIIA yang memiliki rekening puluhan miliar rupiah. Diduga kasusnya diatur oleh mafia kasus (markus), kasus ini menjadi mencuat ke permukaan dan menjadi perhatian publik setelah mantan kabareskrim Polri, Komjen Susno Duaji, membongkar kasus ini ke media massa.

Seandainya saja PPATK tidak memberikan informasi tentang rekening Gayus Tambunan ke Polisi tentu kasus ini tetap tersembunyi. Lalu benarkah hanya ada satu rekening mencurigakan milik Gayus Tambunan di antara jutaan transaksi keuangan yang terpantau PPATK? Dan seandarinya saja PPATK berkehendak untuk tidak melaporkan kasus Gayus ke penyidik, mungkinkah penyidik (polisi, jaksa dan KPK melakukan tindakan terhadap Gayus?

Pertanyaan ini perlu karena seperti diketahui, PPATK, terkesan tidak terbuka kepada Pansus Bank Century DPR (dengan alasan UU hanya membolehkan PPATK memberikan laporan kepada penyidik polri dan kejaksaan jika diminta) beberapa waktu lalu sehingga penyelesaian kasus ini menjadi tidak tuntas. Padahal PPATK, dengan dana anggaran triliunan rupiah, dibentuk untuk mencegah terjadinya terjadinya kejahatan keuangan. Lalu jika kepada DPR saja yang notabene adalah lembaga perwakilan rakyat PPATK tidak terbuka dan di sisi lain tidak ada kewajiban memberikan laporannya secara lengkap dan dan rutin kepada penyidik, untuk apa PPATK dibentuk? Untuk siapakah data-data yang diperoleh PPATK itu disimpan?

PPATK adalah lembaga inkonstitusional. Meski dibentuk dengan UU, tidak ada satu pasal pun dalam konstitusi yang menyebutkan perlunya dibentuk sebuah lembaga baru di luar jangkauan eksekutif dan legislatif yang berhak "menyembunyikan" data transaksi keuangan dari lembaga-lembaga pilihan rakyat karena rakyat adalah pemilik kekuasaan tertinggi di negeri ini.

Menjadi pertanyaan adalah, apa urgensi dibentuk lembaga tersendiri seperti PPATK yang berwenang melakukan pemantauan transaksi keuangan namun tidak memiliki kewenangan penyidikan dan penindakan? Mengapa wewenang pengawasan transaksi keuangan ini tidak diberikan kepada lembaga penyidik yang sudah ada sehingga setiap terjadi pelanggaran transaksi keuangan bisa langsung dilakukan penyidikan dan penindakan hukum? Siapa sebenarnya yang mempunyai kepentingan terhadap PPATK, DPR dan pemerintah, atau kepentingan asing? Jika DPR dan pemerintah yang mempunyai kepentingan dengan mengeluarkan UU tentang PPATK rasanya tidak mungkin. Karena bagaimana mungkin mereka mengeluarkan kebijakan yang justru mengamputasi kekuasaan mereka sendiri?

Pertanyaan serupa bisa diajukan perihal UU Bank Indonesia. Mengapa DPR dan Pemerintah membiarkan BI memiliki kekuasaan di luar kontrol mereka? BI berhak mencetak uang sesuka mereka. BI berhak menentukan besarnya gaji pegawai mereka jauh lebih tinggi dari gaji pegawai lembaga lain termasuk menteri dan Presiden. BI berhak menentukan besarnya suku bunga SBI sesuka mereka (dalam kondisi krisis keuangan tahun 2008 lalu BI bahkan tidak peduli untuk menurunkan suku bunga meski pemerintah dan dunia usaha berteriak-teriak meminta perbankan menurunkan suku bunga). Bahkan ketika para pemimpin BI terindikasi melakukan korupsi dalam skandal Bank Century, mereka bisa berdalih melakukan "kebijakan" yang tidak bisa dipidanakan. UU BI itu aspirasi siapa, DPR, pemerintah atau asing?

No comments: