Monday, 18 October 2010
Sang Terpilih (4)
Keterangan gambar: Poster film Hollywood tentang organisasi rahasia "Skull and Bones"
Cara yang diusulkan Subagyo adalah berpidato dalam bahasa Inggris sebagai bentuk loyalitas kepada "organisasi". Yah, dengan cara itu tentu tidak akan dicurigai banyak orang. Kecuali, mungkin hanya disindir di media-media massa sebagai "kurang nasionalis".
Bagi yang memahami bagaimana beratnya perjuangan para pendiri bangsa mempersatukan seluruh bangsa Indungsia dengan bahasa Indungsia sebagai bahasa pemersatu, berpidato menyambut kemenangan pemilihan presiden dalam bahasa Inggris adalah terasa bagaikan menyemprotkan dahak di muka. Lagipula darimana logikanya, mengucapkan terima kasih pada rakyat Indungsia yang telah memilih menjadi presiden, tapi menggunakan bahasa Inggris.
Untuk meredam kecaman, Subagyo, meminta "organisasi" untuk "mengamankan" para wartawan senior agar tidak menyinggung-nyinggung soal nasionalisme berkaitan dengan pidatonya itu. Dan ternyata usul itu disetujui.
Beberapa permintaan "organisasi" lainnya di antaranya perubahan undang-undang penanaman modal, undang-undang migas, undang-undang perpajakan, serta pembuatan undang-undang informasi publik. Semua undang-undang itu harus dibuat seliberal mungkin, disesuaikan dengan kepentingan "organisasi" yang menginginkan sumber-sumber alam dan pasar ekonomi dalam negeri semakin dikuasai para bankir kapitalis asing. Adapun undang-undang informasi publik dibuat agar para agen-agen kepentingan asing tidak mendapatkan hambatan untuk memperoleh informasi-informasi inteligen demi kepentingan mereka.
Satu hal lagi yang menjadi catatan Subagyo adalah misi organisasi untuk "memerangi terorisme" di Indonesia. Untuk itu organisasi meminta dibuat undang-undang anti-terorisme yang memberi kekuasaan kepada negara untuk melakukan tindakan-tindakan ekstrim terhadap orang-orang yang dituduh sebagai teroris. Untuk itu organisasi meminta dibentuk sebuah satuan khusus anti-teror yang operasionalnya, termasuk sebagian dananya, dibawah komando Australia, negara boneka "organisasi" yang dipimpin seorang wanita lesbian "penyembah berhala" sesama anggota organisasi sebagaimana Subagyo. Sebagai komandan satuan anti-teror itu organisasi telah menetapkan seorang "kristen fanatik" agar tidak segan melakukan tindakan keras terhadap orang-orang Islam yang bakal dibidik sebagai tersangka teroris.
Yah, pada dasarnya kampanye anti-teroris itu memang ditujukan untuk menghancurkan Islam sebagai kekuatan tersisa yang masih menjadi batu sandungan dominasi "organisasi" di dunia. Selain dendam pada orang-orang Islam yang telah membantai kader-kader komunis binaannya pada tahun 1960-an, "organisasi" juga jengkel pada orang-orang Islam yang terus menghambat program-program liberalisasi yang dikampanyekan "organisasi" melalui agen-agennya, seperti isu kesetaraan gender, Islam Liberal, demokrasi, pornografi dan pornoaksi dan sebagainya. Hanya dalam masyarakat liberal, maksudnya bebas dari nilai-nilai moral, etika dan agama lah "organisasi" bisa berkuasa tanpa terganggu.
Selain itu, "organisasi" juga menghendaki dua BUMN strategis dipimpin oleh agen-agen mereka yang terpercaya, yaitu perusahaan listrik negara dan perusahaan minyak negara. Ini penting demi menjalankan misi "organisasi" yang tertunda beberapa tahun untuk menguasai saham perusahaan-perusahaan tersebut melalui privatisasi karena adanya perlawanan serikat pekerja. Dengan jatuhnya dua BUMN strategis itu maka Indungsia benar-benar dikuasai "organisasi" karena BUMN telekomunikasi telah jatuh ke tangan "organisasi" tiga tahun sebelumnya.
Semua itu disetujui Subagyo tanpa banyak keberatan. Namun yang masih menjadi "ganjalan" Subagyo adalah permintaan "organisasi" agar ia berpasangan dengan Budiloyo, seorang "idiot" yang oleh media-media massa justru disanjung-sanjung sebagai "begawan ekonomi" dan "Ayatollah ekonomi Indonesia". Kurang ajar memang media-media massa itu. Masa seorang penyembah berhala dan "penganut kebathinan yang taat" disamakan dengan ulama besar kaum Shiah.
Awalnya Subagyo agak heran saat beberapa ekonom "oposan", ekonom yang tidak kebagian jabatan di pemerintahan, menjuluki sang "begawan ekonomi" sebagai "teh botol" alias teknokrat bodoh tolol. Itu saat Subagyo menjadi seorang menteri dan Budiloyo menjadi menko perekonomian. Iseng-iseng Subagyo mengetes wawasan ekonomi sang begawan dengan bertanya kepadanya. "Pak, Indonesia adalah negeri yang kaya sumber daya alam dan manusia, mengapa kita tidak pernah bisa maju sebagaimana negara-negara lainnya, dan bagaimana agar kita bisa maju?"
"Anu, eh, begini ...." Lalu Budiloyo nerocos sebagaimana seorang dosen di hadapan mahasiswa fakultas-fakultas ekonomi di Indungsia. Bahwa majunya sebuah negara tergantung pada investasi asing, menjaga suasana kondusif, ........kemiskinan struktural, "rational expectation", ekonometri dan statistik ...... bla bla bla. Tanpa sedikit pun menyentuh kondisi riel.
Meski bukan ahli ekonomi, Subagyo tahu apa yang dikatakan Budilono itu omong kosong semua. Dan itulah yang membuat ia kurang suka padanya. Ia lebih suka orang bodoh tapi menyadari kebodohannya daripada orang bodoh tapi merasa pinter sebagaimana Budiloyo, meskipun di dalam "organisasi" Budiloyo terhitung masih lebih senior dibandingkan dirinya. Ia direkrut setahun sebelum Subagyo. Dengar-dengar dengan umpan seorang tkw bertubuh kurus yang sengaja didatangkan dari Hongkong.
Bersambung ........
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment