Wednesday 27 October 2010
Sang Terpilih (7)
Keterangan gambar: George Soros dan Wapres Boediono
Subagyo tidak habis pikir bagaimana Sri Mulyati masih mendapatkan banyak pendukung di masyarakat, terutama setelah belangnya terbongkar dalam kasus Bank Centurion. Yang lebih mengherankan Subagyo lagi adalah, sebagian besar pendukung Sri Mulyati justru berasal dari kalangan kelas menengah yang berpendidikan tinggi. "Memang bodoh, orang-orang negeri ini," kata Subagyo dalam hati.
Beberapa tahun lalu sebuah perusahaan telekomunikasi Amerika memenangkan gugatan atas pemerintah Indungsia di arbritrase internasional. Gugatan itu dilakukan karena pemerintah Indungsia menghentikan ijin operasional perusahaan itu karena melanggar undang-undang telekomunikasi Indungsia. Memang wajar jika perusahaan itu mengajukan tuntutan karena mengalami kerugian akibat peraturan pemerintah Indungsia yang tidak konsisten. Namun yang tidak wajar adalah mereka mengajukan tuntutan ganti rugi yang kelewat besar, termasuk menghitung peluang keuntungan yang hilang selama beberapa tahun. Artinya mereka menuntut hal yang masih di awang-awang, tanpa melakukan kerja apapun. Dan lebih tragisnya, Sri Mulyati, yang saat itu adalah menteri keuangan, dengan gagah berani mengumumkan kepada media massa: "Kita akan bayar semua."
Seorang pejabat negara yang masih memiliki sedikit nasionalisme setidaknya akan berusaha mengulur-ulur waktu, kalaupun tidak mengajukan perlawanan hukum lainnya. Namun Sri Mulyati justru ngotot untuk membayar tuntutan perusahaan Amerika itu.
Saat kasus Bank Centurion lagi hangat-hangatnya, ia menuduh lawan-lawan-nya yang menyeretnya ke sidang Pansus Parlemen telah melakukan politisasi atas kasus itu. Namun tanpa malu ia memerintahkan jajarannya di kementrian keuangan untuk mengadakan perlawanan politik mendukung Sri Mulyati dalam kasus itu, dengan melakukan aksi-aksi demo dan mengenakan pita bertuliskan "M". Oleh lawan-lawannya simbol "M" itu diplesetkan sebagai "maling". Subagyo setuju dengan itu, terutama terkait dengan puluhan miliar yang didapatkan Sri Mulyati dari "perampokan" Bank Centurion.
Jurus politisasi berikutnya yang dilakukan Sri Mulyati adalah dengan memerintahkan pengusutan pajak atas perusahaan-perusahaan milik para anggota Pansus Parlemen yang mengadilinya. Sepintas perintah ini terlihat positif. Tetapi belakangan berkembang kecurigaan bahwa perintah ini tidak didorong oleh keinginan untuk benar-benar membereskan carut marut dunia perpajakan Indungsia. Kecurigaan ini berdasar pada beberapa kasus perpajakan yang diduga melibatkan Sri Mulyati. Pertama adalah kasus yang melibatkan pengusaha Siti Murbawa yang kebetulan juga adalah penyandang dana kampanye Subagyo, dan kedua adalah kasus penggelapann pajak oleh PT Asean Agro.
Dalam kasus pertama, kontainer berisi puluhan ribu sepatu milik Murbawa yang keluar tanpa izin ditangkap petugas Bea Cukai. Murbawa menemui Dirjen Bea Cukai meminta kontainer itu dilepaskan, namun ditolak. Maka Murbawa membawa kasus itu kepada Mulyati yang merupakan atasan Dirjen Bea Cukai. Maka lepaslah sepatu-sepatu itu dari karantina bea cukai.
Adapun kasus Asean Agro adalah penggelapan pajak yang nilainya mencapai Rp 1,4 triliun. Sampai sekarang, kasus ini pun tidak jelas kabar berita dan nasibnya. Inilah antara lain hal-hal yang membuat kecurigaan begitu kuat, bahwa Sri Mulyati tidak pernah bersungguh-sungguh membenahi perpajakan Indungsia yang korup. Meski demikian tetap saja ia disanjung-sanjung sebagai seorang yang "berintegritas tinggi". Para pendukung kuat Sri Mulyati di antaranya adalah direktur perusahaan listrik negara, seorang wartawan senior, seorang mantan menteri yang menjadi host acara televisi terkenal, seorang ekonom liberal yang menyamar sebagai sosialis, seorang mantan menteri yang menjadi aktifis lingkungan hidup dll. Mereka semuanya binaan "organisasi" melalui George Soros.
Subagyo mencatat setidaknya ada dua hal yang dilakukan Sri Mulyati yang telah menyinggung pribadinya. Pertama saat ia meminta Sri Mulyati menghentikan perdagangan bursa saham yang telah membuat group perusahaan salah satu pendukung utama Subagyo bangkrut. Dengan angkuh Sri Mulyati menolaknya. Bahkan setelah didesak terus oleh Subagyo, Sri Mulati "ngambek" dan mengancam mengundurkan diri dari jabatannya. Mengingat Sri Mulyati adalah "titipan" organisasi yang tidak boleh "disentuh", Subagyo akhirnya mengalah.
Kasus kedua adalah dalam kasus Bank Centurion itu. Sri Mulyati dengan "kurang ajar" berusaha melibatkan diri Subagyo dengan menyeret-nyeret nama asisten pribadi Subagyo dalam kasus itu. Jelas sekali kalau Sri Mulyati hendak menerapkan strategi "tijitibeh", mati siji mati kabeh, alias mati satu matilah semuanya. Maka ketika kondisi semakin di luar kontrol dan "organisasi" meminta Subagyo mengamankan Sri Mulyati ke markas besar "organisasi" di Washington, Subagyo menyambut dengan gembira. Setidaknya ia tidak lagi harus mengelus dada setiap kali melihat Sri Mulyati menunjuk-nunjuk orang dengan tangan kirinya dalam sidang-sidang kabinet, merasa dirinya sebagai "orang paling kuat" di Indungsia melebihi seorang presiden
Bersambung ......
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment