Monday 21 March 2011

KEMBALINYA HAK AZAZI RAKYAT ITALIA


Sebagian besar manusia mengetahui bahwa Italia adalah pusatnya agama Katholik sebagaimana kota Mekkah adalah pusatnya agama Islam. Orang Islam tidak bisa membayangkan mengumandangkan adzan di kota Mekkah dianggap sebagai perbuatan "terlarang". Tapi mengapa hanya sekedar menggantungkan salib di Italia bisa dianggap sebagai perbuatan yang "tidak patut" dan kemudian harus dilarang?

Namun demikian kenyataannya. Demi mengikuti "prinsip" sekulerisme, rakyat Italia sejak tahun 2009 dilarang menggantungkan salib di tempat-tempat publik seperti kantor-kantor pemerintah, fasilitas umum, universitas dan sekolah-sekolah negeri. Hal yang sama tentunya juga berlaku di negara-negara sekuler lainnya, terutama di Amerika dan Eropa.

Namun larangan tersebut baru saja dicabut setelah Pengadilan HAM Eropa, Jumat (18/3), menetapkan bahwa salib tidak mengganggu hak-hak orang non-Katholik di Italia dan karenanya diperbolehkan dipasang di tempat-tempat publik. Keputusan itu sekaligus membatalkan keputusan institusi sebelumnya tahun 2009 yang melarang salib dipasang di tempat-tempat publik yang membuat gereja Vatican marah dan mengecamnya.

Keputusan baru tersebut disambut hangat oleh pemerintah Italia dan gereja Vatican. "Keputusan tersebut menggarisbawahi pentingnya hak-hak masyarakat untuk mempertahankan nilai-nilai dan identitasnya," kata Menlu Italia Franco Frattini kepada koran Italia "La Repubblica". "Saya harap menyusul keputusan ini UNi Eropa mulai mengevaluasi isu-isu terkait toleransi dan kebebasan beragama dengan semangat yang sama," tambahnya.

Vatikan juga menyambut hangat keputusan itu. Juru bicara Vatican, Federico Lombardi, menyebut keputusan tersebut sebagai keputusan yang "penting dan bersejarah".

Kontroversi pemasangan salib ini dimulai setelah seorang warga Italia non-Katholik asal Finlandia, Soile Lautsi, melakukan gugatan ke pengadilan dengan alasan tanda salib di tempat publik telah "melanggar prinsip sekularisme". Menurut Soile dan suaminya, Massimo Albertin, pemasangan salib di tempat publik telah telah melanggar "kebebasan beragama, kebebasan dari diskriminasi, dan kebebasan menentukan pilihan".

Albertin menyatakan kekecewaannya dengan keputusan pengadilan HAM Eropa tersebut. Ia menuduh pengadilan tidak menghormati prinsip-prinsip yang dibangun oleh rakyat Italia.

Namun keeputusan tersebut hanya berlaku di Italia dan negara-negara Uni Eropa lainnya tidak berkewajiban mematuhinya dan tetap memberlakukan larangan pemasangan salib di tempat-tempat publik.


CATATAN BLOGGER:


Pelarangan simbol-simbol keagamaan di negara-negara yang mayoritas masyarakatnya masih memegang teguh nilai-nilai agama, dalam hal ini rakyat Italia yang mayoritas pemeluk Katholik yang ta'at, tidak mungkin dilakukan oleh pemerintah dan lembaga yudisial negara itu sendiri karena akan memancing kemarahan rakyat terhadap pemerintah atau lembaga yudisialnya. Namun hal ini tidak berlaku di sebuah "negara super" seperti Uni Eropa. Keputusan "pemerintah" dan "pengadilan" Uni Eropa bisa mementahkan hukum nasional negara-negara anggotanya.

Dalam kasus tersebut di atas kita juga melihat bagaimana "orang asing" seperti Soile Lautsi bisa menghancurkan hukum dan nilai-nilai sosial masyarakat Italia yang telah terbentuk selama ratusan tahun, hanya dengan "sekali tepuk".

Ide tentang "negara super" hingga saat ini bahkan masih dianggap sebagai "teori konspirasi" oleh kebanyakan orang liberal idiot, meski sudah mewujud nyata seperti Uni Eropa. Pada saatnya nanti PBB pun akan menjadi "negara global" dan sebelumnya ASEAN akan menjadi negara super lainnya seperti Uni Eropa. Pada saat itu terjadi, mungkin suara adzan akan dilarang terdengar karena "keberatan" orang-orang Katholik Filipina, atau orang-orang Budha Thailand, orang-orang Khong Hu Chu Singapura, atau orang-orang liberal Indonesia.

No comments: