Saturday 28 January 2017

Pelajaran dari Rusia (2)

Indonesian Free Press -- Tulisan ini dibuat sebagai bentuk keprihatinan IFP atas kondisi yang terjadi di tanah air yang nyaris sama dengan apa yang terjadi di Rusia pra-revolusi Bolshevik tahun 1917 yang menumbangkan pemerintahan Tsar Dinasti Romanov yang mengawali berkuasanya komunisme.

Yang terjadi di Rusia kala itu adalah sebuah konspirasi pemberontakan agen-agen asing bekerjasama dengan para komprador lokal, untuk menguasai sebuah negara besar berdaulat yang menolak tunduk pada tekanan asing. Bedanya dengan Indonesia saat ini adalah bila di Rusia agen-agen asingnya adalah pemberontak-komunisme, di Indonesia saat ini agen asingnya justru pemerintah. Namun, modus-modus dan sasaran penghancurannya sama. Baik di Rusia kala itu dan juga di Indonesia saat ini, yang dihancurkan adalah spirit nasionalisme-religius: di Rusia adalah spirit Kristen-Monarkhi, di INdonesia adalah Islam-Republik Demokrasi.

Sampai pergantian abad 19 ke abad 20 Rusia menjadi satu-satunya negara Kristen Eropa besar yang masih belum dikuasai kekuatan uang (money power) yahudi internasional setelah Inggris (melalui Perang Sipil yang menewaskan Raja Charles di abad 15) dan  Perancis (melalui Revolusi Perancis tahun 1789) dan disusul oleh negara-negara Eropa lainnya, takluk. Maka upaya sistematis dan massif pun dikerahkan kekuatan uang yahudi untuk menundukkan Rusia.

Terima kasih pada sebagian kelas menengah Rusia yang korup dan kelas bawah yang masih idiot, pada akhir abad 19 kekuatan uang yahudi berhasil menancapkan kekuatan di Rusia melalui gerakan komunisme (di Inggris mereka menggunakan gerakan Jesuit dan di Perancis menggunakan gerakan Freemasons, ketiganya adalah gerakan revolusioner yang didukung kekuatan asing).

Namun ketika kaum komunis memberontak tahun 1905, kekuatan nasionalis-religius Rusia yang menopang Kekaisaran Romanov masih terlalu kuat sehingga pemberontakan pun mengalami kegagalan. Maka zionis-komunis terpaksa memutar haluan. Sasaran mendudukkan komunisme sebagai penguasa Rusia untuk sementara ditunda dan menggantikannya dengan proksi lain yang lebih moderat, yaitu gerakan sosialisme yang diusung oleh Partai Mensheviki.

Kegagalan komunisme dalam pemberontakan tahun 1905 membuktikan bahwa rakyat Rusia belum menerima komunisme yang serba 'revolusi mental': anti agama dan anti-tatanan sosial. Namun dengan sosialisme yang lebih moderat, rakyat Rusia relatif masih bisa menerima.

Maka terlaksanalah apa yang direncanakan. Sosialisme berhasil menduduki kursi kekuasaan di Rusia melalui Pemerintahan Transisi yang dibentuk pada bulan Maret 1917 setelah Tsar Nicholas II mengundurkan diri akibat rongrongan komunisme, namun komunisme sendiri masih belum bisa diterima sepenuhnya oleh publik.

Tujuan sebenarnya Pemerintahan Transisi adalah untuk mempersiapkan komunisme merebut kekuasaan, setelah sebelumnya kekuatan-kekuatan nasionalis-religius dihancurkan. Dan selanjutnya yang terjadi di Rusia adalah seperti apa yang terjadi di Indonesia saat ini ketika kekuatan nasionalis-religius terlibat 'dialektika politik' dengan agen-agen kepentingan asing yang menguasai pemerintahan.(ca)


Tulisan terkait (Pelajaran dari Rusia (1)) silakan klik di sini

(Bersambung)

1 comment:

kasamago said...

Rakyat Rusia saat itu msih mempercayai Dinasti Romanov, Syang Kaum Globalis dg proxy paham sosialis, Komunis brhsil mmpreteli sendi2 ekonomi, Budaya, dll. Shngga digunakan kaum pemberontak utk memojokan dan mnggulingkan Tsar Nikolas

Agar nasionalisme bangsa Rusia tak bangkit lagi serta mencegah rakyat dan prajurit yg msh setia pada Tsar merusak kmenangan globalis mka dibunuhlah seluruh keturunan Tsar. Kiamat bagi Kerajaan terbesar di eropa timur.

Stlh seluruh kekuatan Eropa takluk, Globalis sgera mewujudkan New World Order via Perang Dunia II


Semoga Indonesia selalu dlm lindungan Allah SWT