Monday, 2 March 2009

Ada Soros di Balik Hillary


Pertemuan yang digelar di Gedung Arsip Nasional, 18 Februari 2009 antara Menlu Amerika Hillary Rodham Clinton dengan sekitar 50 undangan, disinyalir diatur oleh George Soros, tokoh "filantropi" yang dikenal dekat dengan Partai Demokrat di AS.

Adalah Suciwati, istri mendiang "pejuang HAM" Munir Said Thalib yang menjadi bagian dari tamu yang diundang pada pertemuan tersebut. Suciwati adalah salah satu anggota Program Team Tifa Foundation, yayasan yang mendanai sejumlah LSM Indonesia yang mendapat dana dari George Soros.

Konon saat pertemuan tersebut Suciwati mendapat kesempatan khusus untuk menyampaikan aspirasinya terkait kasus Munir kepada Hillary. Kepada Menlu AS itu, Suci meminta Hillary agar menanyakan perkembangan proses kasasi kasus Munir ke Presiden SBY.

Meski akhirnya Hillary urung meneruskan permintaan Suciwati itu saat diterima Presiden SBY di Istana Negara, terangkatnya kasus Munir dalam acara kunjungan kenegaraan itu telah menimbulkan spekulasi. Apakah ini memang telah didisain untuk memojokkan pemerintah Indonesia yang menjadi bagian dari smart power rejim Obama?

Indonesia menjadi penting di mata Obama. Sebagai negara muslim terbesar di dunia, Indonesia dipandang bisa menjadi simpul penting dalam diplomasi rejim Obama yang berniat "memperbaiki" hubungan dengan dunia Islam. Maklum, paska agresi Israel yang membantai lebih dari 1300 warga Palestina di Gaza, dunia Islam mengecam kebijakan luar negeri AS yang lebih memihak Israel.

Peran Indonesia untuk kampanye "smart power" rejim Obama bertambah penting, mengingat posisi Indonesia yang masih berseberangan dengan Israel dalam menyikapi konflik di Gaza tempo hari. Bahkan bersama Iran dan Turki, Indonesia termasuk negara yang memotori penuntutan terhadap Israel ke Mahkamah Internasional atas kejahatan rejim zionis itu.

Atas desakan lobi Israel (AIPAC), diplomasi luar negeri AS akan diarahkan untuk mamasukkan Indonesia ke dalam "poros Arab" yang menjadi benteng Israel. Dengan masuk ke dalam poros ini, Indonesia akan diberi peran lebih besar dalam menengahi perundingan damai konflik Israel-Palestina, dengan syarat keluar dari pemrakarsa tuntutan atas Israel ke Mahkamah Internasional.

Sumber Intelijen menyebut, jaringan Soros yang dikenal mendunia melalui wadah Open Society Institute (OSI), ambil bagian dalam menyukseskan agenda AIPAC tersebut. Soros yang lebih dikenal di Indonesia sebagai spekulator pasar uang dan dituding pernah ikut menenggelamkan perekonomian Indonesia pada tahun 1998, akan memainkan peran penting dalam diplomasi luar negeri Obama.

Di Indonesia jaringan Soros mendanai dua lembaga non pemerintah (NGO), yaitu Tifa Foundation dan International Transperancy. Peran OSI tidak kalah dengan lembaga pendanaan Amerika lainnya seperti USAID dan the Asia Foundation. Sejumlah LSM utama di Indonesia dibiayai OSI. ---sisanya dibiayai oleh USAID dan Asia Foundation.

Sebut saja Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jaringan Islam Liberal (JIL), Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), Wakhid Institute, Komunitas Utan Kayu, JPPR, dan banyak lembaga lainnya. (Tifa Foundation menjadi semacam LSM induk dimana LSM-LSM mendapat dana dari OSI melaluinya. Habibie Center memilih negara-negara Uni Eropa sebagai sumber dana. Tidak mengherankan jika para tokoh LSM dan tokoh-tokoh demokrat-liberal negeri ini ramai-ramai mendemo pemerintah terkait pencekalan Sydney Jones, wanita lesbian Yahudi aktivis LSM yang dicekal pemerintahan Megawati --- atas saran Badan Inteligen Nasional--- karena menjadi agen rahasia asing, pen).

"Memberdayakan masyarakat adalah menjadi tujuan OSI di seluruh dunia, namun pada intinya adalah menggiring opini masyarakat sehingga pada akhirnya menekan pemerintah suatu negara," kata sumber tersebut.

Melalui jaringan OSI ini konon Soros menggalang apa yang disebut "humanitarian intervention", yakni suatu pendekatan untuk menembus psikologis masyarakat, khususnya dalam hubungannya dengna negara. Dengan hadirnya tekanan masyarakat itu membuat pemerintah relatif lemah dan akhirnya mau mengikuti apa yang diinginkan "sponsor".

OSI yang dikenal karena reputasinya mengacak-acak sejumlah negara Eropa Tengah, Eropa Timur, dan Uni Sovyet paska Perang Dingin, disinyalir akan kembali memainkan konflik di Papua dan Aceh.

Lihat saja di Aceh, paska bencana tsunami dan perjanjian Helsinskib 2005, kehadiran jaringan Soros begitu semarak. Soros sendiri secara pribadi telah beberapa kali mengunjungai Aceh.

Sumber Intelijen menyebut, untuk persiapan Pemilu Lokal 2009 di Aceh, Soros telah membiayai Partai Aceh yang merupakan wadah perjuangan politik Gerakan Aceh Merdeka. Sebelumnya perundingan RI-GAM juga tak lepas dari campur tangan sang "predator berbulu filantropi" yahudi ini.

Untuk kasus Aceh, Soros menggunakan jasa perunding ulung, Damiens "spin doctor" Kingsbury yang juga berdarah Yahudi (dan Marthi A, mantan presiden Finlandia "another jew ass sucker goy", blogger). Hasan Tiro? Pengaruh Yahudi dapat dilacak dari istrinya yang berdarah Yahudi. Sang "spin doctor" adalah arsitek pelepasan Timor Timur dari Indonesia. Tidak heran jika Habibie kemudian tidak nyaman tinggal di Indonesia dan memilih Jerman sebagai "pengasingannya". (Namun komunitas Indonesia di Jerman mengaku tidak begitu dekat dengan keluarga Habibie yang lebih banyak bergaul dengan kalangan jet set Eropa, bogger).

Meski banyak negara menyadari akan bahaya yang ditimbulkan oleh jarinan Soros, kenyataannya tidak banyak yang bisa dilakukan oleh pemerintah yang bersangkutan. Selain karena faktor keterpurukan ekonomi dan kemiskinan masyarakat, faktor lainnya adalah sifat kegiatan yang "bermanfaat" bagi masyarakat lokal.

Bisa dibayangkan dengan aktivitas pemberdayaan masyarakat atau penggunaan istilah-istilah "halus" lainnya seperti slogan "transparansi", "HAM", "demokrasi", "persamaan gender", dan lain-lainnya, menjadikan kegiatan jaringan Soros ini sulit ditolak. Dalam istilah inteligen disebut sebagai "positive inteligent activity".

Belum lagi dari segi keterpurukan ekonomi dan kemiskinan masyarakat, menjadikan sedikit saja bantuan materi yang dilakukan yayasan Soros, sebagai sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat. Hal ini sekaligus membuat peran pemerintah menjadi lemah (karena rakyat melihat Soros lebih bisa berbuat sesuatu ketimbang pemerintah).

(Betapa ironisnya, setelah merampok, Soros datang sebagai dewa penolong, dan masyarakat percaya padanya, blogger).

Dalam kasus Indonesia misalnya, kehadiran jaringan Soros semakin mencolok setelah kejatuhan rejim Soeharto tahun 1998. Didahului oleh krisis krisis ekonomi parah yang dipicu oleh aksi spekulatif Soros di pasar uang Asia, Soeharto akhirnya mundur dari jabatan presiden.

Pada tgl 18 September 2000, usai mengeruk keuntungan dari hasil spekulasi valas miliaran dollar, Soros melalui OSI mendanai terbentuknya Tifa Foundation. Tujuannya untuk mendorong Indonesia dan masyarakatnya menjadi "lebih terbuka" yang menghormati keragaman, menjunjung tinggi penegakan hukum, keadilan dan persamaan. Dengan dukungan dana Soros, dalam waktu singkat Tifa berkembang pesat. Yayasan ini mengklaim sebagai sebuah komunitas yang meliputi segala lapisan penduduk, baik unsur pemerintah hingga sektor bisnis.

Dukungan luas diberkan atas hak-hak individu, khususnya hak dan pandangan kaum perempuan, kelompok minoritas dan kelompok marginal lainnya. Dengan dukungan atas hak-hak individu itu, Tifa punya target memupuk solidaritas dan terciptanya tata pemerintahan yang baik, tentu menurut definisi mereka sendiri.

Karena itu secara umum misi Tifa adalah memberdayakan dan memperkuat masyarakat sipil vis a vis berhadapan dengna otoritas negara. Negara diposisikan sebagai "nature enemy" oleh rakyat. Maka sangat wajar jika bentuk akhir dari kehadiran jaringan Soros melalui perlawanan LSM yang dibiayainya itu membuahkan bentuk negara yang lemah (mudah didikte untuk kepentingan kelompok Soros). Inilah target Soros yang membonceng proses demokrasi.

KASUS MUNIR

Mencuatnya kasus Munir di sela-sela kunjungan Hillary disinyalir memang merupakan sebuah disain inteligen. Entah apa tujuannya, yanga jelas terangkatnya kasus Munir dapat mempengaruhi jalannya proses hukum yang kini tengah memasuki tahap kasasi di Mahkamah Agung.

Seperti diketahui Tifa melalui release yang dimuat di situsnya menyatakan keputusan Majelis Hakim PN Jakarta Selatan yang memvonis bebas Muchdi Pr sebagai "awan hitam" dalam penegakan hukum dan HAM di Indonesia. Majelis hakim seperti disebut Direktur LBH Jakarta Asvinawati dinilai mengabaikan logika inteligen dalam memaknai fakta di persidangan. Ini memang aneh. Sebab bagaimana mungkin sebuah keputusan persidangan harus memaksakan sebuah pandangan yang didasarkan semata-mata pada logika inteligen?

Misal, hasil rekaman percakapan yang menggunakan kata sandi dalam beberapa penyebutan nama dan istilah. Apakah serta-merta kata-kata sandi itu dapat diartikan sebagai sebuah rencana pembunuhan? Tentu ranah hukum berbeda dengan analisis inteligen. Logika hukum membutuhkan pembuktian yang rigid dan pasti, bukan tafsir. Kenyataannya memang pengadilan tidak dapat menhadirkan bukti-bukti material yang dapat dijadikan alat bukti. Dengan kondisi itu hakim membebaskan terdakwa yang amar putusannya dibacakan 31 Desember 2008.

Kini proses hukum kasus ini sudah berada di tingkat kasasi di MA. Pihak-pihak yang bersengketa dikabarkan telah mengajukan memori kasasi maupun kontra memori kasasi.

Perjalanan kasus Munir sempat terhenti dengan bebasnya terdakwa Pollycarpus pada tahun 2006 setelah hanya terbukti melakukan pemalsuan surat. Namun atas gencarnya tuntutan LSM Kontras dan dukungan Congress AS pada awal tahun 2008, dalam putusan PK di MA dinyatakan Pollycarpus bersalah. Ia diganjar hukuman 20 tahun penjara.

Kuatnya desakan Congress AS terhadap proses hukum kasus Munir yang tertuang dalam sebuah surat, juga berhasil mendorong dilakukannya penyidikan terhadap kemungkinan adanya "dalang" kasus tersebut. Maka diseretlah Muchdi Pr yang mantan komandan Kopassus itu ke pengadilan.

Kubu Munir membantah kalau penuntutan Muchdi Pr atas desakan Congress AS meski pihak Muchdi menunjukkan bukti surat Congress AS tersebut. Konyolnya permintaan Suciwati kepada Hillary untuk menanyakan kasus Munir kepada Presiden SBY justru mempertegas adanya korelasi tersebut.

Sumber: tabloid Intelijen edisi 25 Februari - 10 Maret 2009.

No comments: