Sunday, 22 March 2009

Penjarahan pun Terjadi di Israel


Tidak ada negara yang seberuntung Israel. Memiliki tanah yang paling subur di Timur Tengah, situs-situs sejarah yang mampu menarik jutaan wisatawan untuk datang berkunjung setiap tahun, memiliki SDM yang konon paling genius di seluruh dunia, dan lebih dari semuanya adalah bantuan cuma-cuma senilai $3 miliar setahun dari Amerika (sekitar $500 per-kapita per-tahun). Belum lagi jika dihitung sumbangan dan bantuan dari Yahudi super kaya di perantauan seperti misalnya aliran dana perusahaan asuransi raksasa Amerika AIG untuk membiayai 95% kredit perumahan Israel. Tidak heran jika dikatakan bahwa Israel adalah negara paling makmur di Timur Tengah.

Namun bahkan semua itu tidak dapat menghalangi Israel dari resesi akibat krisis keuangan global. Dan seperti di negara-negara terbelakang, kondisi seperti ini juga diwarnai dengan aksi-aksi penjarahan.

Sebagaimana dilaporkan LA Times 19 Maret lalu, aksi-aksi penjarahan sebagai dampak krisis ekonomi Israel terjadi di berbagai kota selama beberapa hari terakhir, termasuk kota terbesar Tel Aviv. Dan tentu saja hal ini sangat mengejutkan tidak saja masyarakat internasional, namun juga rakyat Israel sendiri yang mengira negaranya sebagai negara paling ideal di dunia.

Meski aksi-aksi penjarahan relatif masih dapat dikendalikan, para aktifis sosial dan pengamat ekonomi Israel mengkhawatirkan, kondisi akan semakin parah di masa-masa mendatang.

"Apa yang kita lihat adalah cerita-cerita kecil tentang bangkrutnya bisnis yang mengancam kehidupan masyarakat. Namun cerita-cerita kecil ini adalah awal dari kebangkrutan yang lebih besar," kata Dafna Cohen, jubir Histadrut, federasi buruh Israel.

Selama beberapa bulan terakhir resesi ekonomi telah dirasakan rakyat Israel, mulai dari turunnya ekspor komoditi pertanian, turunnya jumlah wisatawan asing, tutupnya beberapa pabrik, dan terakhir aksi-aksi penjarahan yang dimotori oleh para pekerja supermarket yang tidak mendapat gaji serta supplier yang tidak mendapatkan pembayaran. Namun ironisnya para elit politik Israel justru sibuk dengan urusan pembagian kekuasaan.

Ekonomi Israel diperkirakan mengalami kontraksi 1,5% tahun ini, demikian estimasi Bank Sentral Israel. Sebelumnya selama lima tahun terakhir ekonomi Israel tumbuh 4% setahun. Bank sentral juga memprediksikan ekspor tahun ini mengalami penurunan hingga 11%.

Di sisi lain saat krisis bergerak dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya, warga Israel saling menyalahkan satu sama lain: para pemodal yang mengalami kerugian di pasar keuangan global dan turut menghilangkan dana masyarakat, bank-bank yang terlalu pelit memberikan kredit, dan para pengusaha yang menunda pembayaran kewajiban.

Sebuah penjarahan di sebuah supermarket di luar kota Haifa merupakan aksi serupa yang banyak diberitakan di Israel akhir-akhir ini. Awalnya perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan untuk membayar tagihan para supplier, menunda pembayaran gaji karyawan. Namun setelah gaji karyawan pun menjadi tidak jelas apakah akah benar-benar dibayarkan atau tidak, para manajer mulai menghindar dan tidak masuk kerja. Maka para karyawan mulai melakukan penjarahan untuk mengganti gaji mereka yang tidak dibayar. Dan aksi penjarahan bertambah ramai setelah para supplier pun turut bergabung. Terakhir yang turut beraksi dalam aksi bar-bar tersebut adalah warga masyarakat yang tinggal di sekitar supermarket.

Di tempat lain di distrik Ramat Yishai, Galilea, sebanyak 200 karyawan pabrik pengolah daging ayam mengunci diri di tempat kerja setelah perusahaan tidak dapat membayarkan gaji mereka. Kemudian untuk mengurangi kerugian, mereka pun mulai menjarah daging-daging ayam yang belum siap diolah yang tersimpan di ruang pendingin. Selanjutnya mereka menjajakan jarahannya di tepi jalan raya di dekat pabrik.

"Ini adalah aksi simbolik," kata Moti Saar, pimpinan serikat pekerja pabrik tersebut. "Menjarah daging ayam tidak dapat mengganti kerugian yang kami alami. Namun ini menjadi isyarat bahwa kami, rakyat, menginginkan pekerjaan," sambungnya.

Galilea dan Haifa adalah daerah utara Israel yang relatif rendah tingkat investasi dan paling parah terkena resesi. Penduduk setempat kecewa karena wacana kebijakan ekonomi pemerintah yang berkembang adalah pemberian talangan kepada pengusaha-pengusaha besar, bukan mereka yang kehilangan pekerjaan.

"Tidak ada wacana tentang penyelamatan para pekerja yang telah bekerja dengan baik, mendapatkan gaji yang rendah, dan tidak mempunyai daya tawar yang memadai," kata Barbara Swirsky, Direktur Eksekutif Adva Center, LSM kajian ekonomi sosial.

Tidak hanya kawasan Israel Utara saja yang merasakan dampak krisis ekonomi. Bahkan Tel Aviv yang merupakan jantung ekonomi Israel di kawasan Israel tengah memiliki cerita unik tentang dampak krisis ekonomi. Pine Garden Banquet, sebuah hall tempat favorit kalangan atas Israel mengadakan pesta dan pertemuan sejak Januari lalu telah ditutup. Pemiliknya melarikan diri dari Israel setelah gagal membayar cicilan bank, pembayaran supplier dan gaji karyawan yang semuanya mencapai $20 juta. Beberapa hari setelah tutup, para supplier dan karyawan yang marah melakukan penjarahan terhadap barang-barang mewah yang ada di tempat itu.

Seorang reporter surat kabar Haaritz mewawancarai seorang gadis yang gagal menikah karena bapaknya turut menjadi korban kebangkrutan Pine Garden. Saat wawancara berlangsung, bapak sang gadis muncul dari belakang dengan sebuah plastik penuh barang-barang porselin jarahan. "Hai, ini bagus untuk tempat daging," kata sang gadis memotong wawancara.

Sebagian warga Israel merasa simpati terhadap para penjarah. Namun tidak dapat dipungkiri aksi-aksi penjarahan tersebut juga memalukan mereka.

"Apa yang kita lihat adalah patahnya batas rasa malu... saat orang melakukan penjarahan di tengah kota di siang hari," kata anchor tv Channel 10 dalam siarannya.

Di tempat lain di Galilee, sebuah supermarket telah lama melayani kebutuhan masyarakat ultra-orthodok yang umumnya berpenghasilan rendah. Mereka mengambil margin keuntungan yang rendah. Namun hal ini pun tidak dapat menghindarkan diri dari penjarahan. Hanya caranya lebih "sopan".

Saat sang pemilik supermarket menghilang, para manager mengijinkan karyawan untuk mengambil barang-barang yang ada di toko senilai dengan gaji yang tidak terbayarkan. Namun karyawan mengambil lebih dari yang semestinya. Akibatnya para supplier hingga para pemeluk yahudi orthodok miskin yang panik, turut melakukan penjarahan. Mereka melarang polisi yang tiba di tempat untuk campur tangan.

Walikota setempat mengakui aksi penjarahan sebagai tindakan berlebihan. "Namun itu tidak mencerminkan kharakter masyarakat ini," tambahnya berupaya menghibur diri.

No comments: