Saturday, 21 March 2009
Pembunuhan Ritual Yahudi (1)
Damascus Affair adalah kasus penculikan dan pembunuhan terhadap seorang pendeta Kristen dan muridnya dengan motif ritual agama, di kota Damaskus Syria pahun 1840. Pelaku adalah orang-orang Yahudi setempat. Kasus ini kemudian menjadi masalah internasional yang melibatkan negara-negara Eropa, Amerika, Turki dan Mesir dan memicu terjadinya aksi-aksi kekerasan anti Yahudi di Eropa dan Timur Tengah selama bertahun-tahun.
Tentang kasus ini Wikipedia menulis: Pada tgl 5 Februari 1840, Pendeta Thomas, pemimpin agama Kristen Franciscan setempat asal Perancis, hilang bersama seorang pembantunya. Pendeta yang juga merangkap dokter tersebut dikenal luas di kalangan masyarakat Yahudi, Kristen dan Muslim setempat. Beberapa hari sebelum hilang Pendeta Thomas terlibat perselisihan dengan seorang muslim Turki yang marah karena pendeta Thomas telah menghina nabi Muhammad. Muslim Turki tersebut dikabarkan mengeluarkan ancaman, "Anjing kristen itu harus mati di tangan saya."
Setelah kabar menghilangnya pendeta Thomas menyebar, Konsul Perancis di Damaskus, Ratti Menton yang dekat dengan kalangan Kristen dan bersama orang-orang kristen tengah berupaya menguasai akses ekonomi yang sebelumnya dikuasai keluarga Farhi yang Yahudi, melakukan investigasi di daerah pemukiman Yahudi sehingga menimbulkan kecurigaan masyarakat bahwa orang-orang Yahudi berada di balik hilangnya pendeta Thomas.
Gubernur setempat, Sherif Pasha, demi mendapatkan simpati Perancis, turut berperan menambah kecurigaan masyarakat dengan mengijinkan praktik penyiksaan terhadap para tersangka yang warga Yahudi. Pengakuan melalui penyiksaan diperolah dari seorang tersangka tukang cukur Yahudi bernama Negrin dan delapan tersangka lainnya yang merupakan tokoh-tokoh utama masyarakat Yahudi setempat. Di antara mereka adalah Joseph Lanado, Moses Abulafia, Rabi Jacob Antebi, dan Farhi. Mereka dipenjara dan disiksa dengan keji. Gigi dan janggut mereka dicabut, dibakar, dan terakhir diguyur dengan emas panas, untuk membuat mereka mengaku melakukan perbuatan kriminal yang tidak dilakukan. Lanado, seorang yang sudah lanjut usia meninggal akibat penyiksaan. Moses Abulafia pindah agama menjadi muslim untuk menghindari penyiksaan.
Kasus ini menarik perhatian masyarakat internasional, khususnya setelah konsul Austria di Aleppo (Syria), Eliahu Picotto, menghadap ke penguasa Mesir, Ibrahim Pasha (saat itu Mesir adalah penguasa Damaskus) untuk meminta penghentian penyelidikan. Dalam sebuah aksi yang luarbiasa sebanyak 15 ribu warga yahudi melakukan aksi protes di enam kota di Amerika menentang penangkapan orang-orang Yahudi dalam kasus tersebut. Konsul Amerika di Mesir menyampaikan protes presiden Amerika Matin Van Buren kepada Mesir. Sir Moses Haim Montefiore, dengan didukung oleh tokoh-tokoh barat termasuk Lord Palmrston dari Inggris, pengacara terkenal Perancis Adolphe Cremieux, Konsul Austria Marlatto, misionaris John Nicolayson dan Solomon Munk, memimpin satu delegasi menemui pemimpin Syria, Mehemet Ali.
Negosiasi atas nasib para tersangka dilakukan di Alexandria dari tgl 4 Agustus sampai 28 Agustus dan berakhir dengan dibebaskannya para 9 tersangka tidak bersalah yang masih hidup (dari total 13 tersangka yang ditangkap). Selanjutnya di Konstantinopel, Montefiore berhasil mendesak Sultan Abdulmecid mengeluarkan maklumat kerajaan Turki Ottoman (firman) yang isinya membantah tuduhan kasus ritual murder untuk mencegah terjadinya kerusuhan massal menyusul dibebaskannya para tersangka.
Catatan atas tulisan Wikipedia
Wikipedia berusaha menimbulkan opini seolah pembunuh pendeta Thomas adalah orang muslim Turki yang telah mengancam membunuhnya karena telah menghina nabi Muhammad. Hal ini sangat tidak beralasan karena sebagai seorang terpelajar yang mengetahui reaksi kaum muslim terhadap penghinaan nabinya, pendeta Thomas tidak akan gegabah melakukan hal tersebut. Apalagi jika penghinaan itu dilakukan di Syria, dimana ummat Islam merupakan mayoritas.
Wikipedia (kalangan aktivis pembela hak-hak kulit putih menyindirnya dengan istilah kikepedia. Kike adalah panggilan ejekan untuk orang-orang Yahudi askenazhi) berusaha mengalihkan fakta bahwa para pelaku telah terbukti bersalah dan dijatuhi hukuman mati, dengan menyoroti aksi penyiksaan yang telah membuat pelaku membuat pengakuan palsu. Faktanya adalah penyiksaan yang dilakukan penyidik Mesir dan Syria masih dalam batas kewajaran. Alat penyisa berupa alat pemukul yang disebut bastinado merupakan alat interogasi yang biasa di pakai di sebagian besar negara untuk mengorek keterangan tersangka. Tidak ada konvensi internasional saat itu yang melarang penggunaan alat ini. Selain itu para pelaku yang dapat menunjukkan dengan tepat lokasi pembuangan jenasah korban telah menjadi bukti yang tidak dapat disangkal bahwa mereka benar melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap pendeta Thomas.
Adapun motif pembebasan para pelaku adalah karena penyuapan dan tekanan lobi Yahudi internasional kepada penguasa Mesir dan Syria serta Turki. Mereka melihat Damascus Affair dapat menjadi sebuah bola liar yang dapat menghancurkan kekuasaan Yahudi sebagaimana pernah terjadi di masa lalu. Sebagaimana tercatat dalam sejarah, Raja Inggris Edward I mengusir semua orang Yahudi dari Inggris tahun 1290 menyusul terjadi kasus-kasus pembunuhan ritual di Inggris. Hal yang sama terjadi dengan pengusiran orang Yahudi dari Spanyol tahun 1492.
Pun demikian dampak Damascus Affair bagi Yahudi. Berbagai aksi kekerasan termasuk pembantaian terhadap orang-orang Yahudi terjadi di beberapa tampat di Eropa dan Timur Tengah menyusul terbongkarnya Damascus Affair. Namun orang-orang Yahudi sudah belajar banyak dari kasus-kasus terhahulu. Mereka sudah mengorganisir diri, selain dengan kekuatan uangnya, mereka juga sudah menguasai media massa sehingga dampak destruktif terhadap mereka dapat dikurangi drastis.
Pembunuhan untuk upacara ritual (ritual murder) oleh orang-orang Yahudi merupakan suatu hal yang tidak masuk di akal manusia modern saat ini. Bahkan bagi sebagian besar orang-orang yang anti-Yahudi hal tersebut dianggap sebagai sebuah dongeng belaka. Padahal ratusan kasus pembunuhan ritual oleh orang-orang Yahudi telah tercatat di berbagai penjuru negara. Lukisan-lukisan dan plakat-plakat yang menggambarkan ritual tersebut masih banyak ditemui di Eropa hingga sekarang. Paper karya Arnold Leese berjudul “Jewish Ritual Murder” merupakan karya tulis ilmiah terbaik tentang topik ini. Paper ini mendokumentasikan ratusan peristiwa pembunuhan ritual di Eropa dan Timur Tengah sejak abad 12. Paper ini dapat diakses di sini: http://www.churchoftrueisrael.com/streicher/jrm
Hal ini tidak lain karena Yahudi yang menguasai media massa dan informasi telah berhasil menanamkan sebuah tabu terhadap masalah ini. Coba saja melakukan searching di dunia internet dengan keyword “ritual murder”. Maka sebagian besar data yang keluar adalah blood libel (fitnah berdarah). Ya, sebagaimana istilah anti-semit, istilah blood libel secara efektif membungkam setiap pembahasan terhadap masalah ritual murder. Bagi siapa saja yang berani membicarakan hal ini, kecuali di negara-negara di mana kekuasaan Yahudi belum begitu kuat seperti di Indonesia, akan dicap sebagai anti-semit dan harus menjalani hukuman yang terkadang jauh di luar pikiran manusia.
Di Amerika, negeri di mana Yahudi sedemikian kuat menguasai segala sendiri negara, isu blood libel bisa menjadi hal yang sangat fatal sebagaimana terjadi dalam kasus pembunuhan ritual di Chicago tahun 1955.
Kasus Pembunuhan Ritual di Chicago, Amerika
Selama tahun 1955 di kota Chicago, Illinois, Amerika, terjadi lima kasus penculikan dan pembunuhan bermotif agama terhadap 5 orang anak. Mereka adalah kakak beradik John dan Anton Schuessler, Robert Peterson, dan kakak beradik perempuan Barbara dan Patricia Grimes. Kelima korban menunjukkan tanda-tanda kematian yang sama: telanjang dan kehabisan darah oleh luka sayatan.
Segera saja kota Chicago dilanda desas-desus tentang pembunuhan ritual berantai oleh orang-orang Yahudi. Orang-orang tua melarang anak-anaknya pergi ke perkampungan Yahudi dan tempat-tempat Yahudi berkumpul. Namun meski menjadi kasus pembunuhan paling menarik perhatian masyarakat Amerika, kasus ini tidak terpecahkan sampai sekarang. Dan bagi keluarga Schuessler, penderitaan masih belum berakhir setelah kematian kakan beradik John dan Anton.
Para ahli forensik menyimpulkan kelima korban masih hidup selama beberapa hari setelah dikabarkan hilang. Kelima jenasah menunjukkan bekas ikatan di tangan dan kaki. Di tubuh mereka terdapat bekas luka-luka sayatan dan pukulan yang sebenarnya tidak mematikan, namun menjadi fatal bila tidak diberi pertolongan. Penyidik menyimpulkan mereka meninggal karena kehabisan darah dan kedinginan. Para ahli forensik juga menemukan bekas-bekas di tubuh yang menunjukkan para korban diangkut dengan mobil sedan Packard, mobil yang populer di kalangan kelas atas Amerika saat itu.
Demi mengejar oplah, media lokal The Chicago Sun Times segera mempublikasikan edisi khusus sore hari yang menulis secara detil tentang motif pembunuhan ritual dalam kasus tersebut. Namun hanya dalam hitungan menit, edisi tersebut ditarik kembali.
Sebanyak delapan kopian edisi tersebut berhasil didapatkan oleh Mrs. Lyle Clark Van Hyning, seorang aktifis wanita kulit putih yang kemudian mempublikasikannya dalam jurnal Women's Voice. Mrs. Lyle menanyakan kepada The Chicago Sun Times perihal penarikan edisi khusus. Jawaban yang diperoleh adalah akibat edisi tersebut redaksi telah mendapatkan protes dari beberapa pihak dan adanya ancaman terjadinya kerusuhan rasial.
Mrs. Lyle Clark yang curiga dengan motif pembunuhan ritual mengirimkan kopian edisi khusus Chicago Sun Times serta paper karya Arnold Leese berjudul "Jewish Ritual Murder" kepada Anton Schuessler Sr., ayah dari John dan Anton Schuessler Jr yang menjadi korban. Schuessler terkesima membaca kiriman Mrs. Lyle. Segera ia membuat laporan ke kantor polisi setempat untuk menyelidiki kemungkinan motif ritual murder dalam kematian kedua putranya.
Sheriff Cook County dimana keluarga Schuessler tinggal dijabat oleh seorang Yahudi bernama Joseph Lohman justru menangkap Anton Schuessler Sr dengan tuduhan pembunuhan terhadap anak-anaknya sendiri. Sheriff Lohman kemudian menunjuk detektif Harry Gloss untuk menyelidiki kasus tersebut. Selain itu seorang deputi sheriff yang juga berdarah Yahudi dikirim ke rumah keluarga Schuessler. Dengan dalih mencari bukti-bukti pembunuhan, deputi sheriff Horowitz menteror keluarga Schuessler dan secara efektif mengenakan status tahanan rumah kepada Mrs Schuessler dan keluarganya.
Dua orang detektif kepolisian Chicago yang kemudian dikirim untuk membantu memecahkan kasus ini, James Lynch dan James McMohan, keduanya kulit putih, menemukan kenyataan bahwa bukti-bukti justru telah hancur oleh penyelidikan yang dilakukan sheriff Lohman dan aparatnya.
Sementara itu Anton Schuessler Sr, alih-alih dibebaskan, justru dikirim ke klinik kejiwaan di Des Plaines, Illinois yang dioperasikan oleh seorang dokter Yahudi, Dr. Leon Steinfeld. Dan di klinik ini nasib Anton Schuessler Sr berakhir tragis. Ia meninggal dunia secara misterius di hari pertama kedatangannya.
Kematian tragis tersebut menyulut demonstrasi besar-besaran menuntut Dr. Steinfeld membuat kesaksian. Dr Steinfeld berkukuh bahwa Anton Schuessler Sr menderita penyakit "hallucinations" dan "paranoid delutions" yang kemudian memicu sakit jantung perenggut nyawa. Padahal Anton adalah seorang laki-laki sehat berumur 42 tahun yang tidak pernah menderita sakit jantung.
Kepala coroner Cook County Dr Thomas McCarron sadar bahwa Dr Steinfeld melakukan kebohongan. Ia menyerahkan bukti-bukti medis terkait kepada jaksa wilayah untuk menyidiki Dr Steinfeld dengan tuduhan pembunuhan dan pemberian keterangan palsu. Jaksa wilayah menolak permintaan Dr Thomas dan kemudian seseorang meledakkan bom di muka rumah Dr Thomas.
Namun kemudian nasib buruk menimpa Dr Steinfeld. Ia terkena kasus kriminal dengan tuduhan sengaja menghindarkan para pemuda yahudi dari kewajiban mengikuti wajib militer. Yang ia lakukan adalah memberikan beberapa obat-obatan yang merangsang beberapa penyakit yang dapat dikontrol namun cukup kuat untuk membuat penderita menghindari wajib militer. Untuk setiap kepala pemuda Yahudi yang ia "selamatkan" dari wajib militer, ia mendapat imbalan $2.000.
Orang-orang Yahudi kemudian merasa "sudah cukup" dengan Steinfeld. Steinfeld pun, yang merasa terancam jiwanya, melarikan diri ke Swiss. Namun vonis mati sudah terlanjur dijatuhkan. Steinfeld ditemukan tewas gantung diri di sebuah hotel di Swiss.
Kembali ke kasus ritual murder di Chicago. Untuk mengurangi ketegangan sosial yang berpotensi menimbulkan kerusuhan anti-Yahudi di seluruh Amerika, seorang kolumnis berdarah Yahudi, Irv Kupcinet, menggelar program "sympathy fund" dengan menghadirkan janda Anton Schuessler. Komunitas Yahudi Chicago pun memberikan sumbangan senilai $100.000 (saat ini nilainya sama dengan beberapa juta dolar atau setara beberapa puluh miliar rupiah). Tidak ada motif lain, kecuali menyuap janda Anton Schuessler untuk menghentikan tuntutannya.
Sementara itu kemisteriusan sekitar kasus pembunuhan ritual di Chicago ini masih belum berhenti. Arnold Leese, ahli sejarah yang menghabiskan waktunya untuk meneliti kasus-kasus ritual murder dan terlibat secara mendalam dalam kasus ini, meninggal secara tiba-tiba pada tahun 1956.
Kini, 55 tahun sudah kasus yang menggemparkan bangsa Amerika itu terselubung dalam kabut misteri. Tempat dimana mayat-mayat itu ditemukan kini menjadi salah satu tempat paling "berhantu" di Amerika. Masyarakat setempat membangun sebuah batu monumen di tempat tersebut. Orang-orang Yahudi menuntut monumen itu disingkirkan.
Keterangan gambar: Lukisan yang menggambarkan pembunuhan ritual terhadap Agnes Hruza, remaja Polandia berumur 19 tahun pada tahun 1899. Sorang Yahudi bernama Hilsner terbukti menjadi salah satu pelaku. Lukisan ini sempat beredar luas di Polandia sebelum kaum komunis melarangnya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment