Friday 12 February 2016

Konflik Hizbollah vs Israel tahun 1985–2000

Indonesian Free Press -- Konflik Hizbollah-Israel terjadi sejak terbentuknya Hizbollah tahun 1985, yang memang didirikan untuk mengusir Israel dari Lebanon setelah invasi Israel atas negara itu tahun 1982.

Selama konflik ini Israel harus mengalami kekalahan yang tidak pernah mereka alami sebelumnya selama konflik dengan negara-negara Arab, yang puncaknya adalah harus menarik diri dari wilayah Lebanon yang didudukinya pada tahun 2000.

Selama konflik itu Israel harus kehilangan 559 prajuritnya yang tewas dan 840 lainnya luka-luka. Ini belum termasuk korban di pihak sekutunya, kelompok milisi Kristen South Lebanon Army (SLA) yang kehilangan lebih dari 1.000 pasukan dan 600 lainnya luka-luka. Hizbollah sendiri harus kehilangan sekitar 1.200 pasukan dan 1.000 lainnya luka-luka. Ini semua adalah angka 'resmi' wikipedia. Masing-masing pihak yang terlibat dalam pertikaian mengklaim angka yang berbeda, namun tidak mengubah fakta bahwa Israel dan sekutunya SLA telah mengalami kekalahan melawan Hizbollah.

Dengan mengabaikan konflik Perang Sipil Lebanon dan invasi Israel ke Lebanon sejak tahun 1982, konflik ini diawali setelah terbentuknya Hizbollah secara resmi pada tahun 1985 pada masa pendudukan Israel. Sebelum resmi terbentuk, para pejuang Shiah Lebanon yang kemudian bergabung dengan Hizbollah, telah terlibat konflik intensif melawan Israel dan sekutu-sekutu baratnya terutama Amerika.

Merekalah yang membom markas pasukan Israel di Tyre yang menewaskan 103 tentara Israel. Mereka juga membom markas pasukan Amerika dan Perancis pada bulan April 1983 yang menewaskan ratusan pasukan 'perdamaian' (pengaman pendudukan Israel) kedua negara dan memaksa Amerika dan Perancis menarik pasukannya dari Lebanon. Mereka diduga juga yang melakukan pemboman yang menewaskan Presiden Amien Gemayel yang sekaligus menjadi faktor utama batalnya perjanjian perdamaian Lebanon-Israel yang sangat merugikan Lebanon.

Karena serangan-serangan intensif itu memaksa Israel menarik diri ke wilayah yang diklaim sebagai 'zona penyangga' antara Israel-Lebanon, di Lebanon selatan.

Pada bulan Februari 1985 Israel menarik pasukannya dari Sidon di Lebanon utara. Selama penarikan, pasukan Israel harus menghadapi serangan-serangan kelompok-kelompok perlawanan Lebanon hingga harus kehilangan 15 pasukannya dan lebih dari 100 lainnya terluka. Pasukan Israel juga menarik diri dari Lembah Bekaa pada bulan April dan Tyre pada bulan yang sama, dengan diwarnai serangan-serangan gerilya oleh para pejuang Lebanon.

Pada tahun 1985 Hezbollah mendeklarasikan diri sebagai organisasi yang berjuang melawan 'penindasan' Israel dan Amerika. Sejak saat itu Hizbollah aktif melancarkan serangan-serangan gerilya terhadap Israel dan SLA di wilayah Lebanon Selatan.

Pada tahun 1987 Hizbullah melancarkan serangan heroik terhadap markas pasukan SLA di Bra’shit. Sejumlah personil SLA dan sisanya menjadi tawanan. Setelah mengibarkan bendera Hizbollah di markas tersebut, para pejuang menghancurkan sebuah tank milik SLA dan membawa sebuah kendaraan pengangkut lapis baja dalam konvoi kemenangan menuju Beirut.

Pada bulan Mei 1988, Israel melancarkan operasi militer bersandi 'Operation Law and Order' dengan mengerahkan sekitar 2.000 pasukan untuk menyerang desa Madyun yang menjadi markas perlawanan Hizbollah. Dalam pertempuran sengit selama dua hari Israel akhirnya merebut desa tersebut dan menewaskan sejumlah pejuang dengan kehilangan 3 tentara dan 17 tentara lainnya terluka.

Setelah Israel menyerang markas Hizbollah di Marrakeh, pejuang Hezbollah menghancurkan sebuah kendaraan pengangkut pasukan Israel di perbatasan. Israel membalas dengan menyerang dua kendaraan Hezbollah dan menewaskan 8 pejuang Hizbollah.

Pada 28 Juli 1989, pasukan komando Israel menculik pemimpin Hizbollah Sheikh Abdul Karim Obeid. Hal ini mendorong PBB mengeluarkan resolusi nomor 638, yang mengutuk aksi penculikan tersebut dan aksi-aksi yang sama oleh kedua pihak.

Pada tahun 1989 Perang Sipil Lebanon resmi berakhir setelah tercapainya Perjanjian Thaif, namun konflik bersenjata Israel-Hizbollah masih terus berlanjut karena Israel masih mempertahankan pendudukannya di wilayah zona penyangga.

Pada 16 Februari 1992, pemimpin Hezbollah Abbas al-Musawi tewas bersama istri, anak dan empat pengawalnya oleh serangan helikopter AH-64 Apache Israel. Serangan ini dilakukan sebagai balasan atas serangan Hizbollah yang menewaskan 3 tentara Israel dua hari sebelumnya. Atas kematian pemimpinnya, Hizbollah membalas dengan melancarkan serangan roket ke wilayah Israel. Israel membalas lagi dengan mengirim dua konvoi pasukan menyerang Kafra dan Yater.

Abbas al-Musawi digantikan oleh Hassan Nasrallah, yang dalam pidato pertamanya mendeklarasikan kebijakan 'pembalasan', dimana setiap serangan oleh Israel akan dibalas oleh serangan Hizbollah ke wilayah Israel. Selain itu, Hizbollah juga terus melancarkan serangan gerilyanya terhadap pasukan Israel dan SLA.

Pada tahun 1993 konflik memuncak lagi. Setelah sebulan penuh Hizbollah melancarkan seragan-serangan roketnya Israel membalas dengan melancarkan operasi militer bersandi 'Operation Accountability' untuk memukul Hezbollah. Selama seminggu penuh Israel melancarkan operasinya, namun gagal melumpuhkan Hizbollah.

Setelah operasi ini, Amerika menjembatani gencatan senjata kedua pihak dan perjanjian untuk tidak saling melakukan serangan ke sasaran sipil.

Pada bulan Mei 1994, pasukan komando Israel menculik pemimpin kelompok Amal yang merupakan sekutu Hizbollah, Mustafa Dirani, dilanjutkan dengan serangan terhadap kamp pelatihan Hezbollah yang menewaskan sejumlah besar kader Hezbollah. Hizbollah membalas dengan melancarkan serangan roket Katyusha ke wilayah utara Israel.

Tiga minggu setelah gencatan senjata yang dimediasi oleh Amerika dan perjanjian untuk tidak saling menyerang sasaran sipil, gerilyawan Hizbollah membunuh 9 tentara Israel dan dibalas Israel dengan menyerang pusat pelatihan Hizbollah di Lembah Beqaa yang menewaskan sekitar 30 anggota Hezbollah.

Pada tanggal 14 Desember 1996 komandan pasukan Israel di wilayah zona pengaman, Brigjen Eli Amitai, terluka oleh sergapan para pejuang Hizbollah saat ia melakukan inspeksi pasukan. Kurang dari seminggu kemudian ia kembali terluka karena serangan mortar Hizbollah terhadap pos SLA di dekat. Saat itu ia bersama Mayjend Amiram Levine, komandan tentara Israel untuk wilayah utara mengunjungi pos tersebut. Inteligen Hizbollah diduga berhasil mengetahui rencana kunjungan itu, meski gagal membunuh kedua jendral penting Israel itu.

Pada tahun 1996 Israel melancarkan operasi militer besar-besaran bersandi 'Operation Grapes of Wrath' yang menjadi terkenal karena kasus pemboman Israel terhadap penampungan pengungsi PBB di Qana yang menewaskan lebih dari 150 pengungsi. Gagal menghancurkan Hizbollah dan sebaliknya mendapatkan kecaman keras dari masyarakat dunia, Israel pun menyetujui gencatan senjata yang dimediasi PBB. Namun pertempuran sporadis masih terus terjadi selama dua bulan dengan korban tewas mencapai 18 orang, termasuk tiga tentara Israel dan seorang tentara Suriah.

Pada 4 Februari 1997 dua helikopter militer Israel bertabrakan di dekat She'ar Yashuv di utara Israel, menewaskan 73 tentara Israel. Pada tanggal 28 Februari bentrokan senjata menewaskan lima orang dari Hizbollah dan Israel. Disusul kemudian pada tanggal 4 Augustus 1997 pasukan Israel membunuh 5 pejuang Hezbollah.

Pada tanggal 5 September 1997, Israel mengalami kekalahan paling menyakitkan selama konflik dengan Hizbollah, ketika 12 anggota pasukan khusus Shayetet 13 tewas disergap gerilyawan Hizbollah yang berhasil mengetahui rencana operasi pasukan tersebut. Di antara yang tewas adalah komandan pasukan khusus Letkol Yossi Korakin. Mayat seorang anggota pasukan khusus, Itamar Ilyah, terpaksa ditinggalkan setelah tim penyelamat diserang Hizbollah.

Dalam pernyataan yang dibuat tahun 2010 Hassan Nasrallah mengklaim pihaknya berhasil mencuri data inteligen dari pesawat tanpa awak Israel yang terbang di atas Lebanon, sehingga bisa melakukan rencana sergapan maut tersebut.

Tidak lama setelah insiden tersebut, Israel membunuh Hadi Nasrallah, pejuang Hizbollah yang juga putra dari Hasan Nasrallah. Jasadnya ditahan oleh Israel dan baru diserahkan melalui pertukaran tawanan dan jenasah antara Israel dan Hizbollah pada tanggal 25 Mei 1998. Saat itu 65 tahanan dan 40 mayat pejuang Hezbollah yang ditahan Israel ditukar dengan mayat tentara Israel.

Pada 2 Desember 1998 Israel membunuh Zahi Naim Hadr Ahmed Mahabi, ahli bom Hezbollah. Selama tahun 1998, 21 tentara Israel tewas oleh serangan Hizbollah.(ca)


Bersambung ............

3 comments:

Anonymous said...

nampaknya isil takkan di musnahkan kecuali melalui tentera syiah--
tentera sunni tiada kemampuan

Unknown said...

Para Pejuang luarbiasa..

Www.kasamago.com

Anonymous said...

bersama tak terkalahkan dari qusayr ke Allepo sunni devisi 4 rejimen tank-sunni syiah bergabung