Saturday 2 December 2017

Ketika Para Pengusaha Cina Membantu Pemberontakan Westerling

Oleh: Petrik Matanasi


Indonesian Free Press -- Pemberontakan APRA yang dipimpin Westerling ternyata melibatkan para pengusaha yang dengan antusias mengucurkan duit.

Tjia Pit Kay adalah pengusaha Tionghoa asal Makassar. Hidupnya tak pernah jauh dari dunia dagang. Sebelum jadi direktur sebuah perusahaan dagang dan transportasi perkebunan bernama In Hoa, Tjia pernah jadi verkoper alias sales keliling yang menawarkan barang dagangan sebuah perusahaan Belanda sebelum 1942. Perusahaan tempatnya bekerja juga milik orang Belanda.

Tjia sering berpergian ke daerah-daerah sekitar Padang. Di sana, dia bertemu dengan perempuan yang kemudian jadi istrinya. Sang istri adalah anak dari Jap Kwae Eng, pengusaha Tionghoa asal Padang Panjang. Ketika balatentara Jepang menduduki Indonesia (1942-1945), Tjia tinggal di Padang.


“Tatkala [tentara] Belanda mendarat di situ, ia seketika itu juga menawarkan diri untuk bekerja sebagai spion. Pekerjaannya menjadi satu dengan Westerling.... Waktu Westerling pulang dari Padang, maka Tjia Pit Kay datang di Jakarta, di mana ia dapat prioritas untuk naik pesawat terbang kemana-mana,” tulis sebuah Laporan Jawatan Kepolisian kepada Presiden pada 21 Februari 1950 tentang aksi Westerling.

Tjia Pit Kay menjadi pintu yang membuka akses Westerling terhadap pengusaha-pengusaha Tionghoa lain seperti Tjie Yoek Moy dan Nio Peng Liang. Juga seseorang yang diduga dalam laporan polisi sebagai “seorang Tionghoa komunis yang paling terkenal di Jakarta, bertempat tinggal di Taman Sari, raja dari segala permainan judi gelap di seluruh Indonesia dan yang sering mengadakan perdagangan gelap,” dan kolega Tjia Pit Kay yang belakangan main mata dengan Westerling dalam gerakannya.

Ketika Tjia Pit Kay mulai eksis lagi di dunia bisnis, Westerling pun menjadi kepercayaan dari panglima tertinggi tentara Belanda di Indonesia, Simon Hendrik Spoor. Kapten Raymond Paul Piere Westerling saat itu diakui reputasinya sebagai pemimpin pasukan khusus di Indonesia, Korps Speciale Troepen (KST). Dalam autobiografinya Challenge to Terror (1953), Westerling menyebut pasukannya berjumlah 1.200 personel

Namun, pada pertengahan 1948, Westerling keluar karena dia menolak perintah untuk menyerang Yogyakarta dalam Agresi Militer Belanda II. Meski begitu, dia masih menjalin hubungan dengan mantan pasukan elitnya di KST.

Lepas dari dunia militer, Westerling kawin dengan seorang janda bernama Yvone Portier. Mereka tinggal di Pacet. Untuk mengganjal perut dan hidup enak, Westerling menjadi pengusaha transportasi onderneming. Ia menyewakan truk-truk bekas milik militer untuk mengangkut hasil bumi di sekitar Priangan. Tidak sulit bagi Westerling untuk berbisnis. Dia punya jaringan pengusaha-pengusaha di kalangan orang-orang bule dan Tionghoa. Tjia Pit Kay salah satunya.

Menjelang akhir 1949, setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag yang makin menguntungkan Indonesia, pengusaha-pengusaha perkebunan yang rata-rata bule itu mulai pening. Belanda terancam angkat kaki dan Republik Indonesia bukan kabar bagus bagi usaha mereka. Mereka tak mau kehilangan usaha mereka seperti di masa pendudukan Jepang.

Di zaman revolusi kemerdekaan Indonesia (1945-1949), pengusaha-pengusaha itu sudah mulai kembali berbisnis dengan risiko besar. Mereka sering menjadi sasaran gangguan gerombolan-gerombolan bersenjata yang tak jelas ikut Belanda atau Indonesia. Pengusaha-pengusaha perkebunan yang tergabung dalam Landbouwsyndicaat itu akhirnya tak ragu menggelontorkan uang untuk membangun pasukan partikelir—terdiri dari orang-orang pribumi. Tujuannya: agar wilayah bisnis dan diri mereka aman.

Sebagai pengusaha transportasi onderneming, mau tidak mau Westerling sering berhubungan dengan pengusaha-pengusaha bule penguasa perkebunan di Jawa Barat. Westerling yang pernah dilatih sebagai intelijen tentu mampu membaca kegalauan para pengusaha-pengusaha bule itu. Para pengusaha Tionghoa yang dekat dengannya juga merasakan hal yang sama.

Nama Westerling sejak satu tahun sebelumnya tidaklah asing. Menurut laporan polisi, seorang pengusaha perkebunan Inggris di Bandung bernama Tom menyebut Westerling sebagai "a Big Fellow." Demikian pula pengusaha perkebunan lainnya dari perkebunan Kertasari bernama Eatonbeath menjulukinya. Big Fellow adalah sebutan bagi Michel Collins si pemberontak Irlandia.

Dalam autobiografinya, Westerling mengaku bahwa pada pertengahan 1949 Spoor mengajaknya membuat gerakan kudeta terselubung menolak kekuasaan Republik Indonesia. Westerling pun mulai menjalani profesi ganda. Ia jadi pengusaha transport onderneming sekaligus komandan tentara bayaran ala CAT Shannon dalam novel The Dog of War (1974) karya Frederick Forsyth.

Gerakan Westerling kemudian menguasai Jakarta dan Jawa Barat. Meski panglima Spoor membatalkan rencananya, Westerling jalan terus. Masih ada pengusaha-pengusaha anti-Republik Indonesia yang mengongkosinya. Layaknya Shannon, Westerling juga mencari senjata di pasar gelap untuk pasukan-pasukan lokal. Shannon dalam novel berhasil mendapatkannya, sedangkan Westerling tidak berhasil mengantongi senjata untuk pasukannya yang dikenal sebagai Angkatan Perang Ratu Adil.

Gerakan militer yang mengerahkan banyak orang tentu butuh uang banyak. Apalagi aksi pengacauan itu tak hanya mengajak kaum militer, tapi juga orang-orang sipil pribumi yang belum punya bedil dan harus digerakkan dari satu tempat ke tempat lain. Ditambah lagi, Spoor telah menarik diri.

“Sumber keuangan untuk membelanjai aksi pengacauan ini ialah The Big Five (Lindeteves, Javastaal, Gio Wehry, Borsumij, dan BPM) dan Landbouwsyndicaat... ikut pula mengongkosi gerekan ini beberapa toko-toko besar kepunyaan perorangan Belanda dan Tionghoa,” tulis sebuah Laporan Jawatan Kepolisian kepada Presiden pada 21 Februari 1950 tentang Aksi Westerling. Uang-uang itu disalurkan diam-diam melalui pegawai-pegawai tinggi perusahaan-perusahaan yang terkenal sebagai perusahaan besar itu.

Ketika Westerling melancarkan gerakan gagalnya itu, “yang dipergunakan sebagai alat perhubungan dan angkutan baik untuk orang-orang maupun senjata oleh golongan APRA ialah, selain kendaraan-kendaraan In Hoa, juga dari transport onderneming Hergalaxtina, Bintang Tiga, Selecta, dan Ie Hian.”

Westerling menggerakkan APRA dan gagal total sejak dicetuskan pada 23 Januari 1950. Setelah kudeta gagal Westerling itu, menurut polisi, Tjia Pit Kay berada di Makassar. Polisi akan menangkapnya jika dia berada di Jawa lagi.

Belakangan, “menurut keterangan Usmansyah dari Landbouwsyndicaat tersebut, dewasa ini di daerah-daerah bagian Cibarusa, Cileungsi, Jongkol, Cicurug, dan lain-lain banyak terorisme yang merusak rakyat kecil akan tetapi membiarkan perkebunan,” tulis laporan polisi kepada Presiden.

Main mata dengan para pengusaha itu membuat gerombolan-gerombolan bersenjata lebih bernafsu mengganggu warga kampung ketimbang merampok pengusaha perkebunan yang tebal isi kantongnya.

Ini pun bukan satu-satunya kasus dunia usaha bermain mata dengan pemberontak. Pejabat perusahaan pelayaran Belanda—Koninklijk Packetvaart Maaatschappij (KPM)—Leon Nicolaas Hubert Jungschlager juga pernah berhubungan dengan kelompok Westerling dan belakangan dengan kelompok Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).

APRA tidak berhasil mengembalikan tatanan kolonial yang diimpikan oleh Westerling. Kegagalan ini juga mengakhiri sepak terjang Westerling di Indonesia. Ia mati pada 26 November 1987, hari ini tepat 30 tahun silam, dalam usia 78 tahun.***


Keterangan: dicopas dari situs tirto.id, 26 November 2017 dengan judul asli 'Westerling Memberontak Bermodalkan Duit Para Pengusaha'.

1 comment:

Kasamago said...

30 Anniversary of Westerling..