Monday 25 December 2017

Pengkhianatan Jokowi Dan Para Menterinya Dalam Negosiasi Freeport

Oleh: Salamuddin Daeng


PEMBERIAN status Ijin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) kepada PT Freeport Indonesia (PT FI) adalah manipulasi terbesar terhadap konstitusi dan UU sepanjang Era Reformasi.

Pemberian IUPK ini dilakukan melalui PP  No 1 tahun 2017 dan peraturan menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Bagaimana mungkin Freeport diberikan perlakuan khusus, sementara perusahaan ini melakukan kegiatan pertambangan yang sama yakni emas perak dan tembaga sama seperti perusahaan perusahaan lainnya di Indonesia. "Freeposr khusus dalam hal apa? Freeort Khusus karena menambang apa ? tidak ada yang khusus dengan pertambangan ini, kecuali dia sedang menambang bahan bahan untuk membuat sejata pemusnah massal". Kalau demikian maka mengapa Menteri EDSM tidak sekalian saja memberikan izin super khusus?


Pemberian IUPK merupakan bentuk pengkhianatan dan manipulasi yang sangat fatal. Mengapa disebut pengkhinatan? karena sebetunya izin khusus ini melanggar konstitusi UUD 1945. Mengapa disebut manipulasi? Karena IUPK melanggar kewajiban yang paling minimum bagi Freeport sebagaimana Kontrak Karya (KK) antara PT Freeport dengan Pemerintah Indonesia.

Adapun kesepakatan dalam Kontrak Karya (KK) tersebut yang dimanipulasi oleh pemerintah adalah kontrak PT FI berakhir pada tahun 2021 sesuai dengan ketentuan dalam KK. Sehingga tanpa diberikan izin khusus maka Freeport akan berakhir 2021 yang secara otomatis perusahaan tidak dapat beroperasi lagi, kecuali dengan persetujuan pemerintah dengan pertimbangan kepentingan nasional.

Pasal 22 angka 2 tentang pengakhiran kontrak menyatakan bahwa setelah berakhirnya jangka waktu persetujuan ini maka seluruh kekayaan perusahaan yang bergerak maupun yang tidak bergerak yang terdapat di dalam wilayah proyek dan wilayah pertambangan harus ditawarkan untuk dijual kepada pemerintah dengan atau nilai pasar yang mana yang lebih rendah tetapi tidak lebih rendah dari nilai buku dalam bentuk dollar AS selambat-lambatnya 90 hari sejak penawaran kepada pemerintah.

Jika dalam waktu 30 hari setelah penawaran tersebut maka perusahaan dapat menjual kepada pihak lain. Semua kekayaan yang tidak terjual dipindahkan atau dengan cara lain disingkirkan akan menjadi milik pemerintah tanpa ada suatu kompensasi pada perusahaan.

Dengan demikian maka berdasarkan KK, maka Freeport akan segera menjadi milik Indonesia jika pemerintah tidak melakukan perpanjangan. Sebaliknya jika Freeport diperpanjang maka harus dipastikan menguntungkan pemerintah Indonesia. Sementara pemberiaan izin pertambangan khusus telah menghilangkan kesempatan paling besar yang dimiliki Indonesia untuk melakukan nasionalisasi Freeport.

Sementara PP No 1 tahun 2017 dan peraturan Menteri ESDM justru memberikan berbagai macam insentif kepada Freeport yang tentang terdesak karena melanggar UU dan KK. Adapun insentif tersebut adalah:

Di dalam PP No 1 Tahun 2017 dinyatakan; Perubahan jangka waktu permohonan perpanjangan untuk izin usah pertambangan (IUP) dan izin usah pertambangan khusus (IUPK), paling cepat 5 tahun sebelum berakhirnya jangka waktu izin usaha. Artinya seluruh KK sudah bisa langsung berubah menjadi IUPK hari ini juga. Sementara menurut KK Freeport baru dapat memperoleh perpanjangan konsesi pada 2021.

Dengan demikian, pemerintah Jokowi telah mencuri sesuatu yang seharusnya bukan merupakan hak pemerintahan ini, akan tetapi menjadi hak presiden terpilih pada Pemilu 2019 mendatang.

Dengan mengubah status Freeport menjadi Izin Pertambangan Khusus (IUPK), maka perusahaan pemegang KK pertambangan tersebut terlepas dari semua kewajiban sebagaimana yang disepakati dalam KK tahun 1991 yang lalu.

Perubahan KK menjadi IUPK telah disetai dengan insentif lain seperti perpanjangan jangka waktu divestasi 51 persen saham dalam waktu 10 tahun lagi. Perpanjangan waktu pembangunan smelter 5 tahun lagi  dan insentif bea keluar ekspor bahan mentah yang sangat rendah dibandingkan waktu waktu sebelumnya.

Padahal menurut UU ekspor bahan mentah minerba sudah harus berakhir pada Januari 2014 lalu.

Pemberian IUPK kepada Freeport merupakan kejahatan yang sangat besar terhadap konstitusi negara yakni UUD 1945 pasal 33 ayat 1, 2 dan 3, dan merupakan manipulasi yang sangat licik terhadap kontrak karya (KK) yang selama ini diagung-agungkan oleh pemerintah, serta meruakan pelanggaran yang sangat kasar terhadap UU Mineral dan Batubara.

(2) Skandal Terkait Kewajiban Divestasi 51 Persen Saham Freeport Kepada Indonesia

Freeport-McMoran Copper and Gold Inc melayangkan surat ketidaksepakatan terkait proposal divestasi yang diajukan pemerintah pada 28 September 2017 lalu. Padahal divestasi saham Freeport kepada pemerintah Indonesia adalah sebuah keharusan sebagaimana yang termuat dalam KK dan berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia.

1) Divestasi saham merupakan kesepakatan yang telah termuat dalam Kontrak Karya (KK) dan berbagai peraturan perundang undangan yang berlaku. Pasal 24 angka 2 KK menentukan sewaktu-waktu selama jangka waktu yang telah ditetapkan dalam pasal ini, perusahaan akan menawarkan untuk dijual atau menyuruh menawarkan untuk dijual saham-saham dari modal saham perusahaan guna mendukung kebijaksanaan Pemerintah Indonesia dalam mendorong kepemilikan perusahan Indonesia oleh pihak nasional Indonesia sebagaimana diatur dalam angka 2 Pasal 24 ini.

2) Dalam KK pasal 24 angka 2 huruf b mengharuskan perusahaan untuk menjual atau berusaha menjual pada penawaran umum di Bursa Efek Jakarta atau dengan cara lain kepada pihak nasional Indonesia dengan saham-saham yang cukup pada tahun ke 5 sebesar 10 persen; Setelah ulang tahun ke-10 secara periodik menawarkan kepada pihak nasional sehingga pada ulang tahun ke-20 (tahun 2011) mencapai 51 persen terhitung sejak tanggal persetujuan ini pada tanggal 30 Desember 1991.

3) Dalam MOU 25 Juli 2014 berdasarkan butir butir kesepakatan amandemen KK antara Pemerintah Indonesia dengan PT FI hanya diwajibkan melakukan divestasi saham kepada pihak Pemerintah Indonesia sebesar 30 persen sampai tahun 2019.

4) PP Nomor 77 Tahun 2014 tentang Perubahan ketiga atas PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba. Pasal 97 ayat (1) menentukan Pemegang IUP dan IUPK dalam rangka penanaman modal asing setelah lima tahun sejak berproduksi wajib melakukan divestasi saham secara bertahap.

Perubahan ayat (1a) menentukan kewajiban divestasi saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1a) menentukan bagi pemegang IUP dan IUPK yang tidak melakukan sendiri kegiatan smelter, setelah akhir tahun kelima sejak berproduksi paling sedikit sebagai berikut: tahun keenam sebesar 20 persen, tahun ketujuh sebesar 30 persen, tahun kedelapan 37 persen, tahun kesembilan 44 persen; dan tahun kesepuluh sebesar 51 persen dari jumlah saham.

Ayat (1b) menentukan Jika pemegang IUP/IUPK melakukan kegiatan tambang terintegrasi dengan pengelolaan pemurnian maka divestasi saham ditentukan setelah akhir tahun kelima sejak berproduksi paling sedikit sebagai berikut: tahun keenam 20persen, tahun kesepuluh 30 persen tahun kelima belas 40 persen dari jumlah seluruh saham. Ayat (1c) jika pemegang IUP/IUPK melakukan kegiatan penambangan bawah tanah (underground) setelah akhir tahun kelima sejak berproduksi sebagai berikut tahun keenam 20 persen tahun kesepuluh 25 persen dan tahun kelima belas 30persen dari jumlah seluruh saham.

Ayat (1d) menentukan jika pemegang IUP/IUPK melakukan kegiatan penambangan bawah tanah (underground) dan terbuka setelaah akhir tahun kelima sejak berproduksi sebagai berikut tahun keenam 20 persen tahun kedelapan 25 persen dan tahun kesepuluh 30 persen dari jumlah seluruh saham.

Mencermati berbagai kebijakan di atas maka dapat disimpulkan adanya skandal Pengkhianatan Yang Besar dalam kasus divestasi saham Freeport.

Kebijakan Presiden Jokowi yang menerbitkan PP Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan keempat PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan KUP Minerba justru mememberikan perpanjangan jangka waktu divestasi hingga 10 tahun ke depan. Kebijakan Jokowi adalah sebuah pengkhianatan yang besar. Divestasi yang seharusnya sudah selesai malah diperpanjang jangka waktunya.

Sebagaimana diketahui bahwa PP No 1 Tahun 2017 Pasal 97 ayat (1) menentukan Pemegang IUP dan IUPK dalam rangka penanaman modal asing, setelah 5 (lima) tahun sejak berproduksi wajib melakukan divestasi sahamnya secara bertahap, sehingga pada tahun kesepuluh sahamnya paling sedikit 51 persen (lima puluh satu persen) dimiliki peserta Indonesia. Ayat (2) kepemilikan peserta Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam setiap tahun setelah akhir tahun kelima sejak produksi tidak boleh kurang dari presentase sebagai berikut: a. tahun keenam 20 persen (dua puluh persen); b. tahun ketujuh 30 persen (tiga puluh persen); c. tahun kedelapan 37 persen (tiga puluh tujuh persen); d. tahun kesembilan 44 persen (empat puluh empat persen); dan e. tahun kesepuluh 51 persen (lima puluh satu persen) dari jumlah seluruh saham.

Dari data di atas telah terjadi perubahan peraturan yang sangat cepat, sarat dengan kepentingan segelintir elite, sehingga dalam prakteknya peraturan perundangan sulit diimplementasikan. Sementara Freeport sendiri melihat inkonsistensi kebijakan para penyelenggara negara. Akibatnya proses divestasi tidak terlaksana sesuai dengan batas waktu dan prosentse yang ditetapkan.

(3) Skandal Terkait Kewajiban Pemurnian/SmelterIisasi Oleh Freeport

Pengkhianatan pemerintahan Jokowi dan omong kosong Menteri ESDM dalam masalah kewajiban pemurnian atau smelterisasi PT Freeport Indonesia sungguh memalukan. Berikut uraiannya:

1. adanya fakta bahwa pada dasarnya pemurnian dan smelterisasi telah disepakati dalam Kontrak Karya (KK). Namun sejak tahun 1967 sampai dengan saat ini pengolahan dan pemurnian di dalam negeri hanya sebagian kecil dilaksanakan.

2. selain itu UU 4/2009 mengatur kembali kewajiban perusahaan pertambangan termasuk PT FI untuk melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri. Kewajiban perusahaan tambang melakukan pemunian termaktub dalam Pasal 102 yang menyatakan Pemegang IUP dan IUPK wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batubara.

Pasal 103 ayat (1) Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri. Ayat (2) Pemegang IUP dan IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengolah dan memurnikan hasil penambangan dari pemegang IUP dan IUPK lainnya. Ayat (3) ketentuan lebih lanjut mengenai peningkatan nilai tambah sebagaimana dimaksud dalam pasal 102 dan pemurnian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Selanjutnya batas waktu pengolahan dan pemurnian diatur dalam pasal 170 yang menentukan pemegang KK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian sebagaimana dimaksud dalam pasal 103 ayat (1) selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak UU ini diundangkan.

Maka dengan demikian Freeport seharusnya telah selesai membangun smelter atau melakukan pemurnian sejak 2014 lalu. Kewajiban tersebut tidak dapat ditawar-tawar lagi karena merupakan mandat dari UU Minerba, kecuali kalau UU minerba diubah.

Dengan demikian maka kebijakan pemerintah terhadap Freeport adalah sebuah kecurangan yang besar. Berikut uraiannya:
1. Pemerintah Jokowi menerbitkan PP 1/2017 yang memberikan tenggang waktu atau toleransi lebih lama kepada PT. Freeport untuk menjalankan kewajibanya membangun smelter.

2. Pasal 112C ayat (1) pemegang KK sebagaimana dimaksud dalam pasal 170 UU 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara wajib melakukan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri. Ayat (2) Pemegang IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 angka 4 huruf a Peraturan Pemerintah ini wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri.

3. Pemerintah telah menerbitkan Permen ESDM 5/2017 tentang peningkatan nilai tambah mineral melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral di dalam Negeri sebagaimana telah diubah Permen 28/2017 dan Permen 6/2017 tentang Tatacara dan Persyaratan Pemberian Rekomendasi Pelaksanaan Penjualan Mineral ke Luar Negeri Hasil Pengolahan dan Pemurnian untuk melaksanakan PP 1/2017.

4. Munculnya permasalahan disebabkan pemerintah melalui berbagai peraturan perundangan di atas secara tidak langsung mengisyaratkan kepada seluruh pemegang KK termasuk PT FI bersedia mengubah KK menjadi IUP dan IUPK agar tetap mendapatkan ijin ekspor konsentrat, namun PT FI menganggap bahwa regulasi tersebut menimbulkan ketidakpastian. Perubahan menjadi IUPK inilah yang menjadi dasar toleransi kepada Freeport terkait pembangunan smelter hingga lima tahun ke depan.

5. Terbitnya PP 1/2017, Permen ESDM 5/2017 dan Permen 6/2017 yang justru memberikan kelonggaran ekspor konsentrat dan tenggang waktu pembangunan smelter. Karena ketentuan penerbitan IUPK Sementara dalam Revisi Permen ESDM tersebut makin tumpang tindih dan bertentangan dengan UU Minerba.

Pengkhianatan
1. Tidak hanya pelonggaran tentang waktu pembangunan smelter yang diberikan kepada Freeport. Pemerintah Jokowi juga memberikan izin ekspor bahan mentah yang seharusnya telah dilarang berdasarkan UU Minerba.

2. Tidak sampai di situ, pemerintah Jokowi juga memberikan kelonggaran nilai bea keluar atas ekspor Freeport. PT FI dari yang seharusnya 7,5 persen menjadi hanya 5 persen. Kebijakan ini melanggar peraturan Menteri Keuangan. Pemberian kelonggaran ini didasarkan pertimbangan adanya kemajuan fisik kemajuan smelter, padahal tidak ada sama sekali kemajuan dalam pembangunan smelter.

3. Kebijakan tersebut jelas bertentangan dengan UU Minerba. Terlihat bahwa PT FI mendapatkan keistimewaan yang luar biasa dari Pemerintah Indonesia. Seharusnya pemerintah konsisten untuk menegakkan UU Minerba sebagai dasar dalam negoisasi dengan PT FI (KK/keberlanjutan operasi, kewajiban divestasi saham, dan pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian/smelter dan kewajiban pajak Freeport).

Di depan media massa pemerintah Jokowi dan Menteri ESDM Ignasius Jonan memperlihatkan wajah nasionalis, sok keras dan sok tegas kepada Freeport. Namun faktanya pemerintah justru memberikan toleransi kepada Freeport untuk tidak menjalankan kewajiban kepada Negara Indonesia sebagaimana UU yang berlaku.
Lebih menjijikkan lagi sudah mendiscount berbagai kewajiban yang harus dilakukan oleh perusahaan tambang tersebut, eh malah Freeport menolak tindakan murahan pemerintah. Malu kan?

(4). Skandal Terkait Pajak Freeport, Ini Negosiasi Atau Tipu-Tipu?

Kata Presiden Jokowi sudah tiga tahun negosiasi dengan Freeport, akan tetapi sampai dengan saat ini belum membuahkan hasil sama sekali. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) diganti dengan yang baru, eks Menteri Perhubungan yang dipecat, berharap  proses negosisiasi berjalan melewati jalan TOL yang lancar.

Namun apa mau dikata, macet juga. Ini sudah lama sekali pak Presiden, sementara Freeport jalan terus, pengerukan jalan terus, ekspor jalan terus. Lebih parah lagi adalah didepan publik pemerintah membawa Jargon Nasionalisme, nasionalisasi Freeport, dll, faktanya tidak ada satupun dari yang di negosiasikan sesuai dengan harapan.

Penting diulangi ada empat hal yang menjadi poit krusial dalam negosiasi dengan Freeport, yakni (1) terkait dengan perubahan Kontrak Karya (KK) menjadi Ijin Usaha Pertambangan Khsus (IUPK). (2) Terkait divestasi saham 51 persen. (3) terkait pembangunan smelter sebegai alat pemurnian bahan mentah konsentrat. (4) terkait dengan peningkatan pajak Freeport. Point satu (1) sampai dengan tiga (3) telah kami bahas dalam artikel sebelumnya. Ketiganya gagal menjadi alat untuk memperjuangkan kepentingan nasional.

Harapan terakhir adalah peningkatan penerimaan negara dari bea keluar
(tarif) dan dari pajak yang harus dibayarkan Freeport kepada negara Indonesia. Tapi apa yang terjadi? Sebelumnya ada baiknya kita memahami beberapa kewajiban pajak Freeport dalam Kontrak Karya (KK) dan peraturan perundangan di Indonesia.

1. KK pasal 13 mengatur kewajiban perusahan untuk membayar kepada pemerintah 13 jenis pajak dan lain kewajiban keuangan perusahaan meliputi: pajak/ iuran tetap/ royalty/ biaya materai/ bea masuk/ pungutan-pungutan/pembebanan dan bea-bea yang dikenakan oleh Pemda dan pungutan-pungutan administrasi umum serta pembebanan untuk fasilitas atau jasa dan hak-hak khusus yang diberikan oleh pemerintah. Penghitungan kewajiban keuangan tersebut diatur secara rinci dalam Pasal 13 dari angka (1) sampai dengan angka (13).

2. Pasal 131 UU Minerba menyebutkan, besarnya Pajak dan PNBP yg dipungut dari pemegang IUPK ditetapkan berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan. Dengan demikian maka PT FI harus mengikuti aturan pajak yang berlaku dengan perubahannya (prevailing) sesuai Pasal 131 UU 4/2009 tentang Minerba.

Tapi apa yang terjadi? Harapan rakyat Indonesia khsusnya masysrakat Papua untuk mendapatkan kenaikan pajak dari Freeport, malah hasilnya terbalik 180 derajat. Pemerintah melalui menteri ESDM dan teman-temannya justru memberikan keringanan kepada Freeport. Berikut faktanya :

1. Sampai Oktober 2017, PT Freeport Indonesia (PTFI) diperbolehkan untuk pengenaan bea ekspor sebesar 5 persen dengan mengantongi kesepahaman bersama (memorandum of understanding/MoU) yang telah disepakati pemerintah dan PTFI. Padahal, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 13/PMK.010.2017 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar, untuk mendapatkan bea keluar 5 persen, kegiatan pembangunan fisik fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) sudah harus 30 persen. Sementara, sejak membangun smelter di Gresik, Jawa Timur pada 2014 silam, pembangunan smelter berkapasitas 2 juta ton konsentrat itu baru mencapai 14 persen sampai saat ini. Karena itu, merujuk pada PMK yang ada, PTFI harus membayar bea keluar 7,5 persen untuk ekspor konsentrat.

2. Pemerintah berencana menerbitkan ancangan peraturan pemerintah (RPP). Berdasarkan bocoran dalam BAB VII Pasal 14 menyebutkan, tarif pajak penghasilan badan (PPh) Freeport hanya 25 persen. Turun dibandingkan dengan PPh badan Freeport dalam rezim KK, yakni 35 persen.

Ini negosiasi macam apa? Kalau semua poin yang dinegosiasikan bersifat merugikan negara dan rakyat Indonesia, maka tidak dapat dikatakan sebagai negosisiasi, tetapi zero sum game, nol besar atau omong kosong saja.

Kalau di zaman pemerintahan sebelumnya seorang menteri yang neoliberal mengaku neoliberal, bahkan berani mengatakan 'kantongi nasionalismemu!' sekarang para penjual negara mengaku nasionalis. Kira-kira lebih baik mana ya? Lebih berbahaya mana orang munafik atau musuh di depan mata?

Sekadar mengingatkan kembali, jangan sampai ada pesta pora di atas penderitaan lahir batin rakyat Indonesia.[***]


Keterangan:
Penulis adalah Direktur Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia.
Dicopas dari situs Merdeka Online. Judul asli tanpa kata 'Pengkhianatan'.

No comments: