Monday, 16 April 2018

Bagaimana Suriah Mengalahkan Rudal-rudal Amerika

Indonesian Free Press -- Pada Jumat tengah malam dan Sabtu dinihari (13 dan 14 April), Amerika, INggris dan Perancis melancarkan serangan udara terhadap sejumlah sasaran sipil dan militer Suriah.

Kapal-kapal perang Amerika di Laut Merah dan Laut Tengah dan pesawat-pesawat pembom B-1B Lancer, F-15 dan F-16 meluncurkan rudal-rudal jelajah ke ibukota Suriah, sebuah pangkalan udara di luar Damaskus, gudang bahan-bahan kimia di Homs, serta sebuah pusat komando di HOms. B1-B dilengkapi dengan rudal jelajah JASSM yang memiliki jarak jangkau 370 km dan hululedak 450 kg. Sedangkan kapal-kapal perang Amerika menembakkan rudal-rudal Tomahawks, yang berhulu-ledak 450 kg dengan jarak jangkau antara 1.300 dan 2.500 km.


Sementara itu Inggris mengerahkan empat pesawat Tornado GR4 yang masing-masing dilengkapi dengan rudal jelajah Storm Shadow yang berdaya jangkau 400 km. Dan terakhir Perancis, mengerahkan kapal perang frigat Aquitaine dan sejumlah pesawat pembom-tempur Dassault Rafale. Kedua jenis alutsista ini dilengkapi dengan rudal jelajah SCALP (sama dengan Storm Shadow-nya Inggris). sementara Rafale juga dilengkapi dengan rudal jelajah Apache.

Kementerian pertahanan Rusia menyebut, pesawat-pesawat pembom strategis B-1Bs juga menembakkan rudal GBU-38. 

Menghindari resiko ditembak jatuh oleh sistem pertahanan Suriah, yang terbukti cukup ampuh menembak jatuh pesawat F-16 Israel, semua alutsista tersebut melakukan serangan di luar wilayah Suriah dan sebagian besar melalui wilayah udara Lebanon. Sementara seluruh sasaran hanya berjarak 70-90 km dari pantai Laut Tengah.

Namun meski telah melalui perencanaan matang, secara mengejutkan Suriah ternyata mampu meluluh-lantakkan serangan tersebut. Sistem pertahanan udara Suriah mampu menembak jatuh sekitar 70% dari 103 rudal yang ditembakkan koalisi Amerika. Dari seluruh rudal yang ditembak jatuh itu, 20 di antaranya adalah yang ditembakkan ke arah pangkalan udara Al-Dumyar di timur-laut Damaskus. Sistem pertahanan udara Suriah menembak jatuh seluruh rudal yang ditembakkan ke fasilitas militer tersebut.

Yang lebih mengetkan lagi, sebagian besar rudal yang jatuh itu ditembak oleh senjata-senjata yang relatif 'kuno', seperti Buk, S-125 dan S-200 yang telah digunakan oleh Uni Sovyet pada dekade 1960-an.

Rusia-lah yang telah berjasa besar meningkatkan kemampuan pertahanan udara Suriah. Sebagai sekutu strategis, pada tahun 2016, Rusia melakukan analisis terhadap kemampuan pertahanan udara Suriah. Hasilnya, sistem pertahanan udara Suriah masih cukup kuat. Pada saat itu pertahanan udara Suriah mencakup 36 Pantsir-S1 yang dikirim Rusia antara tahun 2008 dan 2013, 3-6 batalion Buk-M1 dan Buk-M2 Medium-range SAM Systems (Rusia mengirim delapan Buk-M2 antara 2010 dan 2013), 5 resimen (total 25 batere) Kvadrat Medium-range SAM Systems, dan 8 resimen S-200VE Long-range Missile System.

Selain itu sejumlah besar senjata 'kuno' juga masih memperkuat pertahanan udara Suriah: 53 resimen Dvina dan Volga (varian dari rudal S-75 yang digunakan Sovyet menembak jatuh pesawat mata-mata U-2 di tahun 1960-an). 4.000 meriam penangkis udara berbagai kaliber juga masih memperkuat pertahanan udara Suriah, meski sedikit demi sedikit dikurangi jumlahnya. Sebagai tambahan, Angkatan Darat Suriah memiliki rudal-rudal jarak rendah OSA, Strela-1, dan Strela-10 Mobile, masing-masing 61, 100 dan 60 unit.

Menyusul kekalahan Suriah dalam perang udara melawan Israel dalam perang udara Lembah Bekaa, Lebanon tahun 1982, Rusia mengirimkan rudal-rudal S-200, lebih dahulu dibandingkan sekutu-sekutu Rusia di Pakta Warsawa. Dan dipacu oleh ancaman Israel di perbatasan, Suriah pun terus mengembangkan sistem pertahanan udaranya. Makara, meski relatif ketinggalan dibandingkan negara-negara Barat dan Rusia sendiri, sistem pertahanan udara Suriah masih lebih kuat dibangkan Yugoslavia, Irak dan Libya, ketika negara-negara itu diserang Amerika dan NATO tahun 1999, 2003 dan 2011.

Kekuatan utama pertahanan udara Suriah adalah Pantsir dan BuK-M1-2 serta Buk M-2E, yang bisa menembak jatuh pesawat-pesawat F-15 dari jarak 45 km dan secara simultan bisa melacak dan menghancurkan 24 sasaran sekaligus. S-125 Pechora juga menjadi batu sandungan bagi musuh meski umurnya yang tidak muda lagi. Pada Maret 2015, Suriah menembak jatuh sebuah drone Predator Israel di Latakia. Dan terakhir tentu saja adalah S-

200 yang mampu menembak sasaran udara pada jarak 300 km. Rudal inilah yang telah menembak jatuh F-16 Israel pada Februari lalu.

Masih belum jelas apakah Amerika akan mengulangi kembali serangan udaranya ke Suriah, meski para pejabat Amerika mengancam akan melakukan hal itu. Amerika dan para sekutunya tentu akan berhitung ulang, mengingat besarnya biaya yang telah mereka keluarkan dalam operasi ini. Dalam serangan yang telah lalu Amerika Cs diperkirakan telah menghabiskan lebih dari Rp2 triliun untuk rudal-rudal yang ditembakkan saja dan belum termasuk biaya operasi. Sementara hasil yang didapatkan sangat tidak signifikan. 70 persen dari 103 rudal-rudal yang ditembakkan itu ditembak jatuh dan sasaran yang terkena tembakan relatif kurang penting nilainya bagi militer Suriah karena sudah ditinggalkan sebelumnya. Apalagi jika ancaman Rusia untuk mengirimkan S-300 ke Suriah, kerugian Amerika tentu akan jauh lebih besar mengingat senjata ini adalah yang terbaik di dunia setelah S-400.(ca)

1 comment:

Kasamago said...

Strategi Rusia terbukti efektif dg alutsista yg lebih inferior dari lawan nya..

The rises of red bears