Tuesday 28 September 2010

INFILTRASI DI SEMUA LINI


Sekitar dua tiga tahun yang lalu saya mendapatkan kesempatan untuk turut serta dalam gerakan dakwah pengembangan ekonomi syariah di Indonesia. Di antara yang telah saya lakukan adalah menjadi organiser acara “Syariah Fair” di Kota Medan tahun 2007 yang cukup sukses. Meski agak heran pada fakta bahwa gerakan ini justru banyak didominasi oleh para pelaku ekonomi ribawi, dengan ikhlas saya menjalani aktifitas ini. Termasuk waktu saya berusaha mendorong teman-teman Masyarakat Ekonomi Syariah Batam untuk mengikuti jejak teman-temannya di Medan mengadakan kegiatan yang serupa dengan “Syariah Fair”, meski untuk itu saya harus mengalami kerugian finansial yang cukup besar.

Saya baru berfikir untuk menghentikan aktifitas ini dan menggantinya dengan “dakwah” lainnya yang lebih “realitistis”, yaitu menulis opini di media massa dan membuat blog ini, setelah saya berkesempatan berdiskusi secara langsung dengan seorang “tokoh nasional” ekonomi syariah Indonesia yang tidak akan saya sebutkan namanya. Pertemuan ini terjadi di sela-sela acara diskusi ekonomi syariah yang diselenggarakan di Hotel Grand Antares, Medan, tahun 2008.

Berbanding 180 derajat dengan keyakinan saya bahwa pemerintah memegang peran sentral dalam menggerakkan perekonomian, sang tokoh nasional ekonomi syariah ini justru berpendapat sama dengan pendapat para penggagas ekonomi kapitalis neoliberal yang mengharamkan peran pemerintah dalam perekonomian. Sang tokoh bahkan berani menyebutkan dasar hukumnya, yaitu sebuah hadits shahih yang anehnya ia sendiri tidak hafal. Setelah menyaksikan bahwa gerakan ekonomi syariah Indonesia dikuasi oleh gank Bank Indonesia teman-teman-nya Aulia Pohan dan Miranda Goeltom yang akhlak dan moralnya jauh dari Islami, pendapat tokoh nasional ini, yang saya tahu juga alumnus “pesantren” perbankan ribawi, membuat saya memutuskan untuk “out”.

Saya ingin memberikan ilustrasi yang masuk akal tentang pentingnya peran pemerintah dalam pere-konomian. Dalam sebuah negara yang perekonomiannya terbelakang, kewajiban pertama pemerintah adalah “menggerakkan” perekonomian dengan menggali potensi ekonomi yang belum diberdayakan dan membangun infrastruktur agar potensi-potensi ekonomi yang ada bisa diolah. Dalam kasus di Indonesia misalnya, dengan membangun infrastuktur di daerah-daerah yang kaya potensi alamnya untuk diolah, seperti Kalimantan dan Irian. Dengan adanya infrastruktur masyarakat secara otomatis akan menggerakkan perekonomian dengan mengolah sumber daya alam yang selama ini terpendam karena isolasi. Bahkan meski pemerintah kemudian berdiam diri, masyarakat sendiri yang akan “bergerak” mengolah sumber daya ekonomi yang ada, apalagi jika pemerintah juga aktif “bergerak”, misalnya membangun unit-unit usaha yang melibatkan masyarakat seperti perkebunan dengan pola PIR, atau minimal mendorong sektor perbankan untuk mencurahkan kreditnya bagi usaha masyarakat. Di sinilah dimulai peran pemerintah selanjutnya, yaitu melakukan “penataan” atau regulasi. Dimulai dengan menata sektor perbankan yang pro-usaha kecil masyarakat, pemerintah selanjutnya berkewajiban menata sistem distribusi agar produksi barang dan jasa yang dihasilkan masyarakat (pengusaha kecil dan besar) bisa didistribusikan secara merata sehingga tidak timbul gejolak harga, atau adanya kekurangan barang dan jasa pada waktu-waktu tertentu.

Di sini peran yang lebih besar pemerintah sangat diperlukan. Selain memelihara infrastuktur yang layak sehingga barang dan jasa bisa didistribusikan dengan lancar, pemerintah juga harus bisa menjadi stock buffer, yang mampu menyerap dan mendistribukan barang dan jasa dengan lancar dan merata. Ini bisa dilakukan dengan membangun pusat-pusat pergudangan di beberapa daerah, bahkan jika perlu membangun jaringan toko terutama di daerah-daerah terpencil yang masyarakatnya masih sangat terbelakang demi menjamin semua masyarakat bisa mendapatkan barang dan jasa dengan harga yang terjangkau.

Selama ini kita menyaksikan adanya disparitas harga barang dan jasa yang tinggi antar daerah. Sebagai contoh di daerah pegunungan Jayawijaya Papua, masyarakat beberapa kabupaten di daerah ini harus mengeluarkan uang hingga Rp 1,5 juta hanya untuk membeli satu sak semen. Luar biasa ketidak adilan yang terjadi karena pemerintah telah membiarkan daerah ini terpencil. Selain itu kita juga menyaksikan fenomena kenaikan harga barang-barang yang tidak wajar karena adanya praktik spekulasi (penimbunan barang) oleh para distributor. Dengan adanya peran pemerintah sebagai stock buffer, praktik-praktik penimbunan yang menyengsarakan masyarakat ini dijamin tidak akan terjadi.

Saya ingin sedikit membuka mata masyarakat mengenai hal ini. Indonesia adalah negara penghasil minyak sawit terbesar di dunia. Para petani sawit menerima pembayaran sawit mereka dengan harga yang relatif murah. Tapi sebaliknya mereka kemudian harus membayar minyak goreng yang diproduksi dari sawit yang mereka tanam dengan harga sangat tinggi. Dan meskipun produksi sawit para petani tidak pernah anjlok, minyak goreng di pasaran seringkali menghilang dari peredaran. Hal serupa juga terjadi di produk-produk lainnya. Semua ini terjadi tidak lain karena adanya praktik spekulasi yang dibiarkan pemerintah bagitu saja sehingga masyarakat menderita sementara para spekulan, distributor yang biasanya berafiliasi dengan produsen besar, mendapatkan keuntungan berlipat-lipat.

Dengan majunya masyarakat, peran pemerintah mungkin saja dikurangi secara gradual. Toko-toko di daerah terpencil boleh saja diprivatisasi kepada masyarakat daerah tersebut. Tapi memprivatisasi unit-unit usaha atau jaringan distribusi yang strategis (berskala besar dan keberadaannya sangat vital) perlu melalui kajian mendalam dan pengawasan ketat yang bisa menjamin semua itu tidak jatuh ke tangan orang-orang serakah yang mendapatkan keuntungan dari penderitaan masyarakat.

Saya baru saja searching di internet dan melihat sebuah gambar yang mengagetkan saya. Paus Paulus II mengenakan simbol salib terbalik (inverted cross) dan salib bengkok (bent cross) dalam upacara-upacara keagamaan. Padahal kedua simbol tersebut adalah simbol anti-kristus (penyembah setan) yang selama ratusan tahun diperangi oleh para pengikut kristen. Dengan simbol-simbol itu terbukalah fakta bahwa gereja tertinggi kristen pun telah jatuh ke tangan para penyembah setan.

Bila saat ini Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) dipimpin oleh orang-orang Bank Indonesia, saya tidak heran jika suatu saat nanti organisasi ini dipimpin oleh Aulia Pohan, Miranda Goeltom, atau bahkan Boediono sang dalang skandal Bank Century. Ini karena orang-orang yahudi penyembah setan pun telah menginfiltrasi gerakan ekonomi syariah Indonesia.

Oh ya, mengenai Miranda Goeltom kita melihat satu hal yang menyayat rasa keadilan. Bagaimana mungkin KPK mendakwa dan bahkan menahan orang-orang dengan tuduhan menerima suap darinya, sementara mereka membiarkan Miranda tetap “tak tersentuh”. Setelah keberhasilan Sri Mulyani dan Boediono melepaskan tang¬gung¬jawab hukum dalam kasus Bank Century, sekali lagi ini menunjukkan besarnya pengaruh yahudi di Indonesia.

Siapa bilang KPK itu bersih bak malaikat?

No comments: