Tuesday, 21 September 2010

MENJADI NEGARA FASIS


Suatu hari di bulan Juli tahun 2006 Christopher Bollyn, wartawan independen yang intens menginvestigasi Tragedi WTC dan sering menulis sepak terjang zionis Israel dan konspirasi Yahudi di Amerika, tertegun melihat pemandangan yang tidak wajar. Beberapa mobil patroli polisi mondar-mandir di sekeliling rumahnya di sebuah kawasan perumahan yang cukup elit di Chicago. Mobil patroli polisi yang biasanya tampak satu dua kali seminggu melintas, sejak saat itu tampak mondar-mandir di kompleks perumahan yang tenang. Pada tanggal 14 Agustus keanehan semakin menjadi-jadi. Kali ini sebuah mobil berlapis baja yang tidak bertanda mondar-mandir di sekeliling rumahnya, mirip mobil patroli pasukan Amerika di jalanan kota Baghdad. Iseng-iseng ia melambaikan tangannya ke arah pengemudi mobil tersebut yang juga mengenakan rompi anti peluru. “Hello FBI,” katanya. Sang pengemudi melambaikan tangannya balik.

Pada saat itu Bollyn tengah menulis sebuah tulisan tentang Tragedi WTC. Hari itu misalnya, ia baru saja mewawancarai Shalom Yoran, mantan perwira AU Israel yang membuka usaha penyewaan pesawat terbang di New York. Secara aneh perusahaan Yoran menghentikan operasional pesawatnya menjelang dan setelah Tragedi WTC.

Kesal dengan ulah patroli polisi rahasia di sekitar rumahnya, Bollyn melaporkan hal itu ke layanan panggilan darurat 911. Ia mendapat jawaban bahwa seorang perwira polisi akan segera tiba di rumahnya. Beberapa saat kemudian mobil patroli yang dilaporkannya berhenti tepat di depan rumahnya. Ia dengan ditemani istri dan anak perempuannya keluar untuk mengklarifikasi apa yang menyebabkan para polisi tersebut melakukan patroli secara mencolok di sekitar rumahnya. Namun saat Bollyn menanyakan identitas mereka, para polisi itu memperlihatkan sikap permusuhan. Kemudian pada saat ia membalik untuk masuk ke rumahnya, para polisi tersebut menjegal kakinya, memiting tubuhnya dan menyentuhkan senjata kejut untuk menjatuhkannya. Pada posisi yang sudah tidak berdaya seorang polisi memukul kepalanya dan polisi lainnya menghantam tangannya. Kemudian dalam hitungan menit tiba-tiba saja puluhan polisi, termasuk beberapa perwira berdatangan ke tempat kejadian.

Pada saat Bollyn tak berdaya, istrinya bermaksud mengambil gambar untuk digunakan sebagai bukti panganiayaan, namun seorang perwira polisi mengancam menangkapnya. Padahal hukum Amerika membolehkan masyarakat mengambil gambar polisi yang tengah beraksi.

Menyaksikan ayahnya dianiaya di depan mata, putri Bollyn menangis keras. Seorang polisi membentak dan menyuruh Ny Bollyn menghentikan tangisan putrinya. Dengan marah Ny Bollyn menangis sembari berkata, “Inilah Amerika yang dibanggakan itu?” Seorang polisi membentak sembari menghinanya: “Kembalilah ke negara asalmu.” Memang Ny Bollyn adalah seorang wanita warga negara Swedia.

Selanjutnya dalam kondisi terborgol Bollyn diseret ke dalam mobil di tengah-tengah umpatan dan pukulan para polisi. Penghinaan itu terus diterima Bollyn hingga di kantor polisi. Di depan kantor polisi 12 polisi bersarung tangan sudah menunggunya. Seorang polisi yang mengawal Bollyn mengatakan kepada kumpulan polisi itu, “Orang ini bilang polisi adalah sekumpulan bandit. Kalian bereskan ia.”

Saat ia digeret keluar dari mobil, Bollyn berusaha menggertak dan mengancam akan menulis kejadian yang dialaminya di media. Namun umpatan dan pukulanlah yang diterimanya. Di kantor polisi Bollyn dilucuti pakaiannya hingga tinggal pakaian dalam saja. Saat ia menanyakan alasan penangkapannya, seorang perwira polisi menjawab Bollyn telah menolak penahanan dan mengancam polisi dengan kepalan tangan. Bollyn ingat ia hanya melambaikan tangan kepada polisi beberapa waktu sebelum dirinya diserang. Selama enam jam ia menjalani interogasi yang penuh dengan penghinaan. Akhirnya dalam keadaan cedera, ia dijebloskan dalam sel penjara tanpa air. Saat ia meminta air minum, polisi menjawab, “Minum dari air toilet!”

Penderitaan Bollyn baru berakhir di tengah malam saat saudaranya menebusnya dengan uang senilai $100. Kasusnya sendiri kemudian menguap begitu saja. Namun itu semua cukup membuat Bollyn dan keluarganya trauma sehingga kemudian memutuskan pindah keluar kota. Padahal nenek moyang Bollyn adalah seorang perintis, orang yang pertama tinggal di daerahnya.

Mungkin cerita itu cukup mengiris hati, bagaimana sebuah negara maju seperti Amerika bisa memperlakukan warganya seperti itu. Kita berbicara tentang Amerika, bukan negara berkembang seperti Uganda, atau Indonesia misalnya. Namun faktanya memang demikian. Amerika tidak lebih adalah negara fasis. Nasib Bollyn bahkan masih termasuk ”mujur”. Ia tidak seperti Bobby Fischer, mantan juara dunia catur legendaris yang dipukuli polisi di pinggir jalan karena tuduhan perampok, passportnya ditahan dan hartanya disita, sementara ia harus hidup di pengasingan di luar negeri hingga meninggal. Ia tidak seperti puluhan pengikut sekte agama kristen Branch Davidian, sebagiannya wanita dan anak-anak, yang dibakar hidup-hidup oleh tentara dan polisi federal dalam Tragedi Waco. Ia juga bukan salah satu dari 3.000 korban Tragedi WTC yang sengaja dikorbankan pemerintah Amerika untuk menjustifikasi serangan ke Afghanistan dan Irak sementara para kriminal yahudi pemilik WTC mendapatkan asuransi senilai miliaran dolar.

Para yahudi memang berkepentingan membuat Amerika menjadi negara fasis, yaitu demi menjaga dominasi mereka dari rakyat Amerika yang sadar dan menggugat dominasi yahudi terhadap negaranya. Itulah sebabnya Amerika menerapkan Patriot Act, yaitu undang-undang yang mengijinkan aparat keamanan melakukan sensor, pengintaian dan mata-mata terhadap rakyatnya sendiri. Lebih jauh Amerika bahkan telah merencanakan menerapkan Real ID Act, undang-undang yang mewajibkan semua warga negara ditanami chip di tubuhnya agar semua gerak-geriknya bisa diketahui. Seperti film fiksinya Steven Spielberg bukan? Yah, ini karena Steven Spielberg dan sineas-sineas semacamnya serta para perancang Real ID Act itu adalah orang-orang yang sama.

Hal lebih ”mengerikan” telah terjadi di Kanada. Eropa dan Australia-pun pelan namun pasti jatuh dalam jeratan ”fasisme yahudi”. Semua negara di mana orang-orang yahudi menjadi penguasa bayangan, pelan namun pasti akan mengalami nasib yang sama.

Bagaimana dengan Indonesia? Sayangnya saya percaya hal yang sama tengah terjadi di Indonesia dengan melihat perlakuan aparat keamanan terhadap para tersangka ”terorisme” yang ditembaki sampai mati tanpa diberi kesempatan untuk membela diri. Bagaimana dengan penangkapan terakhir Ustadz Abu Bakar Ba’asyir setelah terjadi pertemuan rahasia antara George Soros dengan presiden? Suatu saat nanti sangat boleh jadi aparat keamanan akan digunakan untuk menindas rakyat Indonesia yang kritis terhadap dominasi yahudi di negaranya.

Sekedar tambahan, pemerintah Amerika, setelah gagal menjelaskan secara ilmiah runtuhnya WTC oleh pesawat teroris, terlebih lagi gedung WTC 7 yang runtuh meski tanpa pernah ditabrak oleh pesawat teroris, kini mencoba mengembangkan teori baru, yaitu keterlibatan jin Aladin sebagai penyebabnya. Di sisi lain, polisi Indonesia, setelah dikritik terlalu mengekor kebijakan anti-teroris Amerika-Australia sampai-sampai nama detasemen khusus anti teroris yang dibentuk diberi nama sesuai nama pesanan Australia selaku penyandang dana, kini mencoba mengaitkan kemungkinan keterlibatan Kusni Kasdut, Eddy Sampak, dan Robot Gedek dalam jaringan Jemaah Islamiah. Sementara jaringan kejahatan pedhopilia dan perdagangan organ manusia yang melibatkan Robot Gedek dan bermuara di Israel, tidak pernah disentuh.

Islam adalah kekuatan yang selama ini menjadi resistensi bagi pengaruh yahudi di Indonesia. Itulah sebabnya yahudi selalu berupaya melemahkannya. Setelah misi ”Islam liberal” dengan ikonnya Cak Noer, JIL, Tempo, Gus Dur, serta misi penerbitan majalah Playboy gagal (pimred Playboy Indonesia bahkan menjadi buron), kini mereka menggunakan isu terorisme, Ahmadiyah, dan terakhir pembangunan gereja HKBP. Lihat saja sampai nanti mereka hancur sebagaimana kehancuran pendahulu mereka, PKI.

”Tidak tahukan kau, moron, bahwa komunisme adalah yahudi?”

Tadi malam saya melihat acara talkshow tentang perampokan bank niaga Medan dan terorisme di televisi dengan host-nya mantan penyanyi organ yang gagal. Narasumber acara itu adalah seorang yang mengaku atau digembar-gemborkan media massa sebagai pengamat inteligen, mantan anggota Jemaah Islamiah atau tepatnya seorang intel, seorang pedagang senjata (bisnis senjata ilegal internasional dikuasai jaringan yahudi dengan Mossad sebagai bandarnya), dan tentu saja seorang dari kepolisian. Saya senang menyaksikan acara semacam itu. Membuat saya terpingkal-pingkal menyaksikan para badut dan idiot berdiskusi.

No comments: