Tuesday 3 March 2020

Mengapa Rusia Mundur Saat Suriah Diserang Turki-Israel?

Indonesian Free Press -- "Hari ini, drone-drone Israel dan Turki membom Bandara Hama di tengah Suriah, yang juga menjadi pangkalan bagi militer Rusia.  Suriah menembak jatuh 6 drone hari ini, namun 20 drone lebih diterbangkan Israel untuk melawan Suriah dan  Russia, dikendalikan dengan satelit-satelit Amerika di bawah perjanjian keamanan antara Tel Aviv dan Washington.

"Israel terlibat penuh dalam krisis di Idlib dan wilayah-wilayah lain di Suriah melawan Suriah, Russian dan Iran, bukan yang pertama kalinya. Ini adalah bagian dari rencana luas untuk mendestabilisasikan wilayah-wilayah yang lebih luas mencakup Serbia dan Caucusus, Azerbaijan dan kepentingan Rusia di Laut Caspia. Israel dan Turki juga bekerjasama melawan Kurdi.

Rusia kini mengijinkan pesawat-pesawat F-16 Turki terbang di atas Idlib dan menyerang pasukan Suriah. Rusia bahkan tidak mengijinkan Suriah menggunakan rudal-rudal S-300-nya. Para pejabat tinggi Suriah sangat kecewa dengan apa yang tampak sebagai Rusia yang menyerah kepada Turki dan Israel," tulis Gordon Duff dalam analisisnya di Veterans Today, Ahad petang (1 Mar).


Veterans Today juga menyebutkan lemahnya Vladimir Putin saat berurusan dengan Israel, meski negara terakhir ini seringkali mempermalukan Rusia. Yang paling telak adalah insiden jatuhnya pesawat intai Rusia yang menewaskan 15 awaknya tahun lalu setelah Israel memanfaatkan pesawat itu sebagai 'tameng' bagi sistem pertahanan Suriah. Saat itupun tidak ada reaksi yang cukup signifikan oleh Rusia terhadap Israel dan Israel hanya cukup meminta maaf.

Apa yang terjadi di Suriah, menurut Duff, selain lemahnya logistik Rusia adalah kesalahan strategis Rusia yang telah mengabaikan kerjasama Israel dengan Turki. Sebagai contoh, pada Februari 2016, ahli-ahli nuklir Israel dan Amerika bertemu dengan pilot-pilot pilihan Turki dan Saudi di pangkalan udara Incirlik di Turki. Yang mereka lakukan adalah melatih pilot-pilot tersebut menerbangkan pesawat-pesawat F-16 yang telah dimodifikasi untuk membawa bom nuklir. Saat opeasi ini selesai bulan April 2018, Saudi dan Turki telah memiliki pilot-pilot terlatih yang siap menembakkan bom nuklir untuk dipergunakan terhadap Iran dan Rusia.

Kerjasama militer Turki-Israel yang lebih serius dimulai sejak tahun 2008 ketika mereka bekerjasama membantu Georgia melawan Rusia dalam Perang Osettian Selatan. Bahkan ketika hubungan kedua negara berada di titik terendah ketika Israel menyerang kapal Mavi Marmara dan membunuhi warga Turki di dalamnya pada tahun 2010, Israel membantu Turki mengembangkan senjata drone dan membagikan data-data inteligen penting yang sebagian didapat Israel dari Amerika. Imbalannnya, Turki mengijinkan Israel menggunakan wilayahnya untuk latihan perang menghadapi Iran dan mengijinkan militer Israel menggunakan Turki sebagai basis militernya saat konflik dengan Iran terjadi terjadi.

Tidak hanya itu, keduanya juga telah membuat rencana bersama menghadapi Iran dengan memanfaatkan Azerbaijan yang berbatasan langsung dengan Iran.  Selain itu Israel dan Turki juga aktif membangun jaringan perlawanan terhadap Rusia di Crimea dan Donbass-Ukraina Timur.

Namun Andrew Korybko dalam artikelnya di Veterans Today, Selasa (3 Maret) memberi alasan menarik tentang 'mundurnya' Rusia di Idlib. Bahwa Rusia sudah memberikan segalanya untuk Suriah sementara tujuan utamanya hanya untuk menjaga agar Suriah tidak jatuh ke tangan teroris yang pada akhirnya menjadikan Suriah sebagai hub para teroris untuk menyerang Rusia. Di sisi lain Rusia tidak ingin kehilangan Turki sebagai mitra bisnis yang strategis. Ketika 'si gila' Erdogan tidak bisa digertak untuk meninggalkan Idlib, Rusia 'terpaksa' mengikuti kemauan Erdogan terkait konflik di Idlib. Hal ini sekaligus 'peringatan' Putin kepada Bashar Al Assad untuk sedikit berkompromi dengan Turki perihal Idlib.(ca)

1 comment:

Kasamago said...

sekelas Rusia pun takluk pada Israel karena kekuatan zionisme nya..