Tuesday 14 April 2020

Kebohongan-Kebohongan Seputar Wabah Covid 19 (2)

Indonesian Free Press -- Lembaga penelitian independen Swiss Propaganda Research (SPR) menemukan berbagai kejanggalan menyolok dalam 'fenomena' pandemi Covid 19 yang tengah melanda dunia saat ini sehingga menyebutnya sebagai suatu 'kebohongan total'.

Namun sebelumnya ingin kami ingatkan bahwa kebohongan-kebohongan juga terjadi di Indonesia berkaitan dengan wabah ini. Diawali dengan pengumuman Gubernur DKI Anies Baswedan tentang jumlah pemakaman dengan protokol Covid 19 di wilayahnya yang jauh melampaui angka resmi pemerintah pusat. Akibatnya publik pun heboh dengan validitas jumlah korban Covid 19 yang diumumkan pemerintah pusat. Kemudian, belum usai dengan kehebohan itu Gubernur Jabar Ridwal Kamil pun mempertanyakan jumlah korban Covid 19 setelah mengumumkan jumlah warganya yang dinyatakan 'positif' berdasarkan rapid test, yang juga jauh melampaui laporan resmi pemerintah pusat.


Pemerintah pusat telah menanggapi kehebohan itu dengan penjelasan yang 'rasional'. Bahwa pemerintah hanya menggunakan uji PCR yang lebih valid. Sementara rapid test, sebagaimana juga telah dilaporkan di blog ini, hanya menunjukkan keberadaan 
'antibody' yang diharapkan telah mengeliminir virus Covid 19. Rapid test hanya bisa menduga-duga keberadaan Covid 19. Adapun soal protokol pemakaman Covid 19 yang dilakukan Anies Baswedan, hal itu melingkupi seluruh kematian yang 'diduga' berkaitan dengan wabah Covid 19, termasuk di dalamnya orang-orang yang hanya berstatus 'orang dalam pengawasan', atau bahkan orang-orang tanpa status namun dikait-kaitkan dengan wabah ini. Akibatnya, angkanya pun melampaui angka resmi kematian oleh 
Covid 19 yang dilaporkan pemerintah pusat.

Meski pun demikian, karena tekanan publik yang terlanjur 'parno' yang sangat kuat, dan tentunya juga tekanan kepentingan 'setan besar', pemerintah pusat pun harus menyesuaikan dengan angka-angka 'parno' dengan melambungkan angka korban Covid 19. Sebagai perbandingan, saat wabah 'swine flu' tahun 2009 lalu Direktur WHO sampai harus memberikan pernyataan kontroversial demi memenuhi tuntutan kepentingan 'setan besar', dengan menyebut wabah tersebut bakal menjangkiti 2 milyar penduduk dunia. Ketika pernyatan itu tidak terbukti, sang Direktur pun ditendang dari jabatannya.

Kembali ke laporan SPR yang dirilis di situsnya tanggal 14 Maret lalu, disebutkan: 

"Menurut data yang diperoleh dari studi mendalam di sejumlah negara seperti Korea Selatan, Islandia dan Jerman, termasuk kasus di kapal Diamond Princess, tingkat kematian akibat Covid19 adalah sangat rendah, 10 kali lebih rendah dari laporan awal WHO. Sebuah penelitian oleh Nature Medicine menunjukkan hasil yang sama, bahkan untuk kasus di Wuhan City Cina. Tingkat kematian yang tinggi di Wuhan awalnya diakibatkan oleh penderita ringan dan tanpa gejala yang tidak dihitung (sebagai faktor pembagi).

50% hinga 80% dari mereka yang positive megidap Covid 19 tidak menunjukkan gejalan sama sekali. Bahkan di antara penderita berusia 70 sampaia 79 tahun sekitar 60%-nya tidak menunjukkan gejala, yang lainnya hanya menunjukkan gejala sakit ringan.

Usia median (rata-rata) dari mereka yang meninggal karena Covid 19 di banyak negara termasuk Italia adalah di atas 80 tahun dan hanya 1% di antaranya yang tidak memiliki riwayat penyakit bawaan serius. Usia dan tingkat resiko di atas secara umum berkaitan dengan kematian normal.

Banyak laporan media tentang kematian korban Covid 19 berusia muda telah terbukti palsu setelah dilakukan penelitian lebih mendalam. Banyak dari mereka yang ternyata tidak meninggal karena Covid 19 dan lainnya karena menderita penyakit bawaan serius, seperti leukaemia yang sebelumnya tidak terdeteksi.(ca)

Bersambung

No comments: