Wednesday, 25 January 2012

PERKEMBANGAN MESIR KUATIRKAN ISRAEL


"Adalah jelas bagi kita semua bahwa Mesir di bawah kepemimpinan Mubarak tidak akan lagi berjadi di masa depan, dan ada banyak dampak keamanan yang harus ditanggung," kata PM Israel Benjamin Netanyahu di hadapan komisi pertahanan dan luar negeri parlemen Israel, Senin (16/1).

"Israel tengah mengadapi ancaman keamanan di perbatasan selatan akibat perubahan yang diakibatkan oleh gerakan Revolusi Arab (Arab Spring) yang sepertinya tidak akan menghilang dalam waktu dekat mendatang," tambahnya.

Menurut Netanyahu ancaman keamanan tersebut semakin meningkat saat ini dan akan terus berlangsung dalam waktu yang cukup lama, sehingga, "Israel perlu memperkuat pertahanannya dan meningkatkan kemampuan serangnya dengan segera yang akan membutuhkan dana yang sangat besar," serunya.

Menurut Netanyahu, Revolusi Arab yang terjadi di Libya telah mengakibatkan banyak senjata regim Khadafi yang mengalir ke Gaza melalui Sinai. Menurut Netanyahu kelompok-kelompok perlawanan Palestina di Gaza kini memiliki sekitar 10,000 rudal dan roket yang sebagian memiliki daya jangkau lebih dari 40 km.

Menurut Netanyahu Iran telah memanfaatkan Sinai sebagai pintu masuk senjata-senjata kirimannya ke Gaza. "Elemen-elemen terror telah memasuki wilayah itu, mereka menggunakannya sebagai basis terror, Sinai telah menjadi daerah tujuan Iran," kata Netanyahu seraya mencontohkan kasus tertembaknya helikopter Israel oleh rudal anti-pesawat buatan Iran tahun lalu yang ditembakkan dari Gaza.

Prose rekonsiliasi antara Fatah dan HAMAS juga dipandang sebagai ancaman Israel. Menurutnya Israel akan menuntut Palestina untuk melucuti senjata gerilyawan di Gaza jika terbentuk pemerintah persatuan Palestina antara Fatah dan HAMAS.

Pada bulan Agustus tahun lalu sekelompok milisi bersenjata menyusup dari perbatasan Sinai Mesir, menyerang kota pariwisata di pinggir Laut Merah, Eilat, menewaskan 8 orang dan melukai 25 lainnya.

Netanyahu juga menyinggung perjanjian damai dengan Mesir yang menurutnya merupakan aset penting bagi Israel, namun terancam oleh iklim politik di Mesir saat ini. Pada bulan September tahun lalu, misalnya, Ikhwanul Muslimin yang kini menjadi kelompok politik terbesar Mesir dengan menjadi pemenang pemilu parlemen dua putaran, menyatakan akan mengevaluasi hubungan dengan Israel meski tidak menyebut tentang pembatalan perjanjian damai kedua negara.

IKhwanul Muslimin merupakan kelompok politik berpengaruh di kawasan Timur Tengah. Didirikan oleh Hasan al Banna, kelompok ini pada awalnya didirikan untuk membebaskan Palestina dari pendudukan zionisme bahkan aktif terlibat dalam pertempuran melawan Israel dalam Perang Arab-Israel pertama tahun 1940-an. Namun dalam kasus Syria saat ini, Ikhwanul Muslimin tampak "bermain mata" dengan zionisme dan menuntut pembubaran pemerintahan Bashar al Assad.



Sumber: almanar.com.lb

No comments: