Saturday 16 July 2016

Mengapa Kudeta Turki Gagal?

Indonesian Free Press -- Pada hari Jumat malam (15 Juli) Turki dilanda kudeta militer, yang oleh para pelakunya diklaim untuk menegakkan demokrasi dan tatanan sosial-politik.

Hal ini sebenarnya sudah diprediksi jauh-jauh hari, bahkan blog ini pun telah memperkirakannya, ketika Presiden Erdogan mulai memerintah dengan tangan besi, termasuk kepada militer. Sementara kegagalan politik Erdogan, terutama di Suriah dan langkahnya menindas warga Kurdi, telah membuat Turki terjerembab ke dalam krisis multi dimensi. Hal ini pasti memancing militer untuk melakukan kudeta.

Namun, meski pada awalnya kudeta berjalan sukses, dalam beberapa jam saja situasinya berbalik. Setelah Presiden Erdogan mengadakan wawancara langsung melalui media internet yang menyerukan pendukung-pendukungnya untuk melawan kudeta, ribuan pendukungnya berhasil menggagalkan kudeta.
Dari informasi yang beredar di media massa dan media sosial internasional tentang kudeta tersebut, kita bisa mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan kudeta. Pertama tentu saja kharisma Erdogan yang masih sangat kuat di mata warga Turki sehingga seruannya melalui video internet mampu menggerakkan ribuan pendukungnya untuk melawan kudeta. Selebihnya adalah kesalahan para pelaku kudeta.

Selain personil-personil militer yang tampak gamang menghadapi para pendukung Erdogan, ada beberapa keanehan lain yang terjadi selama terjadinya kudeta, di antaranya adalah tidak adanya pemimpin kudeta yang jelas serta sasaran serangan kudeta yang tidak tepat sehingga media-media massa dan media sosial pendukung Erdogan masih tetap berfungsi dan membuat Erdogan dengan mudah bisa mengkonsolidasikan kekuatan.

"Media-media massa seperti Dogan, Hurriyet dan lain-lainnya tetap beroperasi dan menyebarkan informasi-informasi pro-Erdogan," tulis editor Ian Greenhalgh di situs Veterans Today, Sabtu (16 Juli).

Selama berlangsung kudeta juga tidak tampak adanya kepemimpinan yang menonjol di antara para pelaku kudeta. Hal ini tentu saja membuat para tentara di bawah menjadi gamang ketika harus berhadapan dengan ribuan warga sipil, sehingga akhirnya warga pun bisa melumpuhkan persenjataan para tentara.

Semua kudeta yang sukses membutuhkan pemimpin yang kuat, seperti Jendral Prayuth dalam kudeta Thailand tahun 2014, Jendral al Sisi di Mesir tahun 2013, maupun Jendral Pinochet di Chili tahun 1973. Dengan adanya pemimpin yang kuat para prajurit tidak akan ragu melakukan tindakan kejam sekalipun seperti menembaki para demonstran anti-kudeta. Meski Jendral Prayuth tidak sempat menunjukkan determinasinya karena tidak ada perlawanan demonstran anti-kudeta, Jendral Sisi dan Pinochet menunjukkannya dengan brutal. Ribuan orang tewas ditembak dan dilindas tank-tank Jendral Sisi.

Kegagalan kudeta tersebut tidak urung memunculkan spekulasi bahwa kudeta tersebut hanyalah sebuah 'sandiwara' yang disetting oleh Presiden Erdogan. Alasannya pun masuk akal: mengkonsolidasikan kekuatan setelah popularitas Erdogan merosot karena krisis multidimensi yang dialami Turki karena kegagalan-kegagalan politik Erdogan, terutama di Suriah dan Kurdistan, serta kegagalan menumpas terorisme. Namun, melihat kuantitas gerakan kudeta yang melibatkan ribuan personil militer dengan peralatan beratnya termasuk tank-tank, helikopter dan pesawat tempur, teori tentang 'kudeta setingan' itu tampak sangat lemah.

Tentang kudeta tersebut, sebuah tulisan sangat menarik ditulis oleh Kevin Barrett pada Sabtu (16 Juli) di Veterans Today. Menurut Barrett, kegagalan kudeta tersebut disebabkan oleh kepemimpinan Erdogan yang inspiratif, khususnya di mata para pendukungnya yang merupakan mayoritas di Turki, serta keberhasilannya membangun jaringan inteligen yang canggih melampaui jaringan inteligen militer Kemalis (pengikut Kemal Attaturk yang sekuler dan anti-Islam) maupun inteligen Fethullah Gullen yang menjadi saingan Erdogan dalam gerakan Islam-demokratis Turki.

Meski Erdogan bukanlah tokoh ideal, setidaknya ia masih menjadi pilihan terbaik di antara pesaing-pesaingnya

"Anda boleh bertaruh, tidak hanya para Kemalis maupun Gullenis, atau kombinasi keduanya, jika kudeta tersebut berhasil, akan mencoba membebaskan Gaza. Sebaliknya, keduanya jauh lebih pro-zionis daripada Erdogan," tulis Barrett.

"Jadi, proyek anti-Erdogan di Turki adalah sebuah proyek kecil dari proyek besar anti-Islam. Orang-orang yang mencoba menghancurkan demokrasi Islam di Turki melalui jebakan Suriah dan kudeta kemarin, adalah orang-orang yang sama yang melakukan serangan WTC 2001 yang melancarkan perang melawan Islam dengan kedok “perang melawan teror”, dan yang menciptakan “ISIS” (Israeli Secret Intelligence Service) sebagai senjata propaganda untuk melegitimasi upaya memulihkan kesatuan politik mereka.

Dan saya yakin kita semua tahu siapa orang-orang itu: para bankir yang menguasai dunia melalui kerajaan Zionis-NATO, dan yang akan dilemparkan ke dalam kotak sampah sejarah saat Islam muncul untuk meraih kekuasaan dalam kebudayaan global," tambah Kevin Barrett.

Kini blogger memahami mengapa pemerintahan Islam Iran masih mempertahankan hubungan baik dengan Erdogan dan membela Mohammad Moersi yang dikudeta militer Mesir.(ca)

1 comment:

Unknown said...

Itulah ke cerdasan politik Iran mereka memikirkan dan mengedepankan akhlak dalam berpolitik bukan emosi dan hawanapsu kesulitan yg di hadapi merupakan cobaan dari Allah untuk memudahkan jalan ke depan rahbar yakin kalau selalu jalan yg di tuntun Allah dan Allah yg akan memenangkan setiap rong ro
ngan musuh Iran sigap membantu rakyat yg tertindas dari palestina Yaman Suriah dan Irak Afganistan walau Iran di embargo juga dalam kesulitan keyakinan dan ketakwaan juga kesabaran rakyat Iran sudah teruji dan terbukti masa masa sulit pasti akan terlewati tinggal musuh yg ke capeaan