Friday 22 July 2016

Pelajaran dari Turki untuk Indonesia

Indonesian Free Press -- Upaya kudeta yang gagal di Turki pekan lalu menimbulkan reaksi luas di masyarakat Indonesia. Sebagian masyarakat mendukung kudeta tersebut dan menolak kepemimpinan Presiden Tayyep Erdogan, sementara sebagian lainnya menentang kudeta dan mendukung Presiden Erdogan.

Menariknya adalah, mayoritas pendukung Presiden Erdogan adalah mereka yang dalam Pilpres 2014 lalu menolak Jokowi, sementara yang menentang Presiden Erdogan adalah mereka yang umumnya pendukung Jokowi. Meski untuk golongan yang kedua ini banyak juga orang-orang yang anti-Jokowi, mengingat banyaknya kontroversi yang melingkupi Erdogan, terutama keterlibatannya dalam rencana zionis dalam menyerang Suriah dan bersekutu dengan teroris ISIS.

Hal yang menarik lainnya terkait dengan kudeta di Turki tersebut adalah munculnya pemikiran di masyarakat tentang hal yang sama, yaitu kudeta militer, di Indonesia. Beberapa pihak mencoba mengetahui pandangan masyarakat Indonesia tentang 'pilihan' kudeta militer terhadap pemerintahan Jokowi yang dianggap telah memimpin negara ini secara 'tidak baik'.

Hasilnya, mayoritas masyarakat Indonesia mendukung kudeta militer di Indonesia sebagai solusi permasalahan bangsa yang dianggap justru semakin membesar paska terpilihnya Presiden Jokowi. Kami tidak ingin menampilkan beberapa jajak pendapat yang digelar sejumlah masyarakat, termasuk aktifis PKS Jonru Ginting. Namun cukup kiranya jajak pendapat yang digelar Indonesia Development Monitoring, yang dimuat di situs Rakyat Merdeka, 1 April tahun lalu.

"Joko Widodo sudah tidak layak memimpin Indonesia karena kebijakan ekonomi yang dibuatnya terbukti menyulitkan masyarakat ekonomi kelas menengah dan bawah. Jika Jokowi tetap dipertahankan, kehidupan masyarakat akan semakin sulit dan tidak akan menghasilkan kesejahteraan bagi masyarakat.

Begitu antara lain kesimpulan hasil jejak pendapat yang dirilis Indonesia Development Monitoring terkait kinerja pemerintahan Jokowi selama lima bulan ini. Direktur Bidang Ekonomi dan Bisnis Indonesia Development Monitoring, Iwan Sumule menjelaskan pengumpulan hasil pendapat dilakukan secara metode kualitatif dengan wawancara tatap muka kepada masyarakat yang dalam jejak pendapat ini dijadikan sebagai informan," tulis Rakyat Merdeka.

Isyu kudeta beberapa waktu lalu sempat menyembul ke permukaan, setelah munculnya surat terbuka seorang perwira menengah TNI kepada Ketua Lemhanas Letjend (Pur) Agus Wijoyo yang dianggap mendukung kemunculan kembali PKI. Hal ini menyusul kontroversi kebangkitan PKI yang justru dimobilisir oleh pemerintah. Selain Agus Wijoyono yang menggelar 'Simposium Nasional Kebangkitan PKI', Menkopolhukam juga membuat langkah kontroversi untuk mendukung kebangkitan PKI dengan rencananya membongkar makam-makam korban kerusuhan sosial paska G-30-S/PKI.

Presiden Jokowi sendiri diketahui turut mengeluar pernyataan yang dianggap mendukung kebangkitan PKI dengan melarang aparat keamanan melakukan sweeping terhadap para aktifis neo-PKI.

Namun, masyarakat dan TNI merespons isyu kebangkitan PKI itu dengan keras, sehingga memaksa regim Jokowi mundur ke belakang karena ketakutan isyu ini menjadi bola salju yang bisa menggulung kekuasaan Jokowi.

Ada beberapa catatan tentang respons keras TNI ini. Setidaknya Kepala Staff TNI-AD, Pangkostrad dan Menhan Letjend Ryamizard Ryacudu mengecam pernyataan pernyataan pejabat regim Jokowi yang dianggap sebagai biang kerok isyu kebangkitan PKI.

Senada dengan TNI, Kapolri juga menolak perintah Jokowi untuk membiarkan aktifitas neo-PKI. Jendral Polisi Badrodin Haiti yang berasal dari Jawa Timur tentu memahami sejarah kekejaman PKI dan bahaya dari isyu kebangkitan PKI. Dengan tegas ia menindak penyebaran simbol-simbol PKI.

Jika dibiarkan tanpa perlawanan, isyu PKI selain menyakitkan perasaan rakyat Indonesia yang pernah merasakan kekejaman PKI, juga akan menyandera bangsa Indonesia dalam kondisi yang sangat tidak menguntungkan dan akan menghabiskan energi bangsa untuk mensejahterakan rakyat Indonesia.

Tanpa bermaksud memperpanjang masalah isyu PKI, TNI yang juga 'jengkel' dengan pemerintahan Jokowi yang jelas-jelas telah mengancam keamanan nasional dengan kebijakannya membuka pintu lebar-lebar bagi pekerja Cina, juga memperlihatkan pembangkangan terhadap pemerintah dalam isyu terorisme. Mengabaikan polisi yang mendapat jatah penanganan teroris, TNI menembak teroris Santoso yang selama berbulan-bulan menjadi 'komoditi politik' isyu terorisme. Tidak berhenti di situ, TNI juga mengumumkan akan meningkatkan operasi penanganan teroris di Poso.

Selain daripada itu, TNI juga telah cukup berpengalaman dalam masalah kudeta terhadap pemerintah. Pada jaman Presiden Soekarno, sekelompok prajurit TNI pernah mengancam presiden dengan mengarahkan meriam-meriam ke Istana Negara. Tumbangnya Presiden Abdurrahman Wahid juga ditentukan oleh pengerahan tank-tank TNI ke depan Istana Negara. Pemberontakan PRRI/Permesta semasa pemerintahan Soekarno sepenuhnya juga dilakukan oleh para tentara.

Lalu, jika TNI benar-benar melakukan kudeta, 'skenario' seperti apakah yang akan terjadi.

Kudeta di Turki mengalami kegagalan setidaknya karena tidak adanya dua faktor, yaitu kepemimpinan yang tidak kuat dan sasaran yang tidak efektif. Ketidak adanya kepimpinan yang menonjol, para prajurit mengalami kegamangan untuk menindak gerakan-gerakan anti-kudeta dari regim penguasa yang akhirnya bisa berujung fatal bagi para pelaku kudeta. Sementara tidak adanya sasaran yang tepat memungkinan regim yang dikudeta mampu melakukan konsolidasi kekuatan dan melakukan serangan balik.

Dalam kasus Turki, para pelaku kudeta membiarkan sarana-sarana vital, terutama media massa, telekomunikasi dan internet, tetap berfungsi. Hal ini memungkinkan Presiden Erdogan menggalang kekuatan pendukung-pendukungnya melalui media internet. Media-media massa yang tetap berjalan juga membuat para pendukung Erdogan tetap mengetahui situasi terakhir untuk menentukan langkah-langkah berikutnya.

Biarkan kami membayangkan bagaimana kudeta militer terjadi di Indonesia. Sebelum melakukan kudeta, Panglima TNI atau pejabat militer di bawahnya yang akan memimpin kudeta jika pejabat militer yang lebih tinggi tidak mendukung kudeta, akan meminta dukungan pada tokoh-tokoh nasional. Dalam kondisi saat ini, Prabowo Subiyanto, mantan presiden SBY dan mantan presiden Habibie adalah tokoh-tokoh utama yang akan dimintai dukungannya, sebagaimana tokoh-tokoh agama terutama Islam.

Kami tidak yakin SBY dan Habibie akan mendukung kudeta, tapi dukungan Prabowo dan tokoh-tokoh Islam, sudah cukup. Selanjutnya, setelah merasa cukup dukungan, TNI segera mengerahkan kekuatannya untuk menguasai sarana-sarana vital seperti bandara dan jalan-jalan utama ibukota, juga media massa milik pemerintah maupun swasta. Sasaran utamanya tentu saja adalah Istana Negara dengan TNI berusaha mengambil alih penanganan keamanan Istana dari Paspampres. Boleh jadi Paspampres melawan dan terjadi tembak-menembak, namun TNI tetap bisa menguasai istana dengan memblokadenya dari dunia luar dan memotong jalur komunikasi keluar. Dengan kata lain, presiden menjadi tahanan rumah.

Selanjutnya, TNI akan mengumumkan negara dalam kondisi darurat perang dan pengambil alihan kekuasaan untuk diserahkan kepada dewan pemerintahan peralihan yang terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat sipil dan militer yang akan menjalankan pemerintahan sementara sampai diselenggarakannya pemilu.

Untuk mendapatkan dukungan internasional, TNI juga mengumumkan kecurangan-kecurangan pemilu 2014 lalu selain alasan pemerintahan Jokowi yang tidak becus. Jokowi baru saja melakukan langkah blunder dengan melakukan campur tangan penegakan hukum dengan melarang penyidik memperkarakan 'kebijakan' Gubernur. Tujuannya apa lagi kalau bukan untuk melindungi Gubernur DKI Ahok yang terjerat dalam beberapa perkara korupsi. Namun hal ini menjadi preseden sangat buruk bagi bangsa ini karena selain merusak sistem hukum, presiden telah menjadi pelindung para koruptor, karena sebagian besar pelaku korupsi adalah aparat pemerintah termasuk kepala daerah seperti Gubernur.

Bila seruan presiden itu dituruti aparat penegak hukum, maka para kepala daerah yang lebih rendah seperti Bupati, Camat dan Lurah, tentu juga berhak mendapatkan perlindungan hukum.

Saya setuju bahwa mayoritas rakyat INdonesia mendukung kudeta. Karena itu, dengan kepemimpinan TNI yang solid dan dukungan publik yang kuat maka hampir pasti kudeta ini akan berjalan lancar. Dunia internasional pun, demi melihat kenyataan ini, akan mendukung.

Kudeta memang tidak menyenangkan karena mencerminkan adanya masalah serius di sebuah negara. Tapi kudeta tetap dibenarkan bila memang didukung rakyat, karena rakyatlah pemilik sebenarnya sebuah negara.(ca)

3 comments:

Anonymous said...

setau saya, ketua lemhanas agus widjojo, bukan agus wijoyono

Kasamago said...

harapannya tak ada kudeta, coup de etat adalah solusi terakhir bila negara sudah diambang alarm merah.

Saya percaya, para senopati bangsa dan pasukan patriotisnya akan senantiasa menjaga Negeri ini dari berbagai angkara murka

Jayalah NKRI

Anonymous said...

Sepertinya sudah layak presiden yang sarat dengan kebohongan, sarat janji janji manis, penipuan yang terus menerus dan didukung media media pembohong ini di turunkan..